OPINI : Mengapa Anak Perempuan Lebih Cepat Menulis, Tapi Anak Laki-Laki Lebih Aktif Online? Ini Kata Riset

Dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Peneliti Bahasa Universitas Teknokrat Indonesia Mutiara Ayu/sriwijayamedia.com-ist

Oleh :

Mutiara Ayu, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Peneliti Bahasa di Universitas Teknokrat Indonesia

Perbedaan cara belajar antara anak perempuan dan laki-laki telah lama menjadi perdebatan dalam pendidikan.

Salah satu yang sering muncul dalam praktik adalah fakta bahwa anak perempuan cenderung lebih cepat menguasai keterampilan menulis sejak usia dini, sementara anak laki-laki tampak lebih aktif dan eksploratif dalam lingkungan digital. Apakah ini soal bawaan biologis, pengaruh lingkungan, atau cara kita mendidik mereka? .

Penelitian dari American Academy of Pediatrics (2020) menyebut bahwa anak perempuan usia dua tahun rata-rata memiliki kosakata lebih banyak dibandingkan anak laki-laki.

Perkembangan bahasa yang lebih cepat ini menjadi fondasi yang membuat anak perempuan lebih mudah mengekspresikan diri melalui tulisan, baik dalam bentuk cerita, puisi, maupun jurnal.

Fenomena ini terlihat jelas di ruang-ruang kelas pendidikan anak usia dini hingga sekolah dasar, di mana anak perempuan lebih cepat mampu menyusun kalimat, memahami bacaan, dan menyampaikan gagasan tertulis. Sebaliknya, anak laki-laki sering kali menunjukkan keaktifan yang lebih tinggi dalam aktivitas visual, gerak, dan eksperimen berbasis teknologi.

Ketika memasuki usia praremaja dan remaja, dinamika tersebut berubah. Laporan dari Common Sense Media (2022) menemukan bahwa anak laki-laki secara signifikan menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas daring seperti bermain gim online, mengeksplorasi konten visual, dan memanfaatkan platform interaktif.

Di sisi lain, anak perempuan cenderung menggunakan ruang digital untuk berbagi cerita, menulis status, atau berinteraksi secara verbal dalam forum atau media sosial. Ini menunjukkan bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama mengembangkan keterampilan literasi digital, tetapi melalui medium dan pendekatan yang berbeda.

Lebih lanjut, studi Campos dan Scherer (2024) mengonfirmasi adanya kesenjangan gender global dalam literasi digital. Anak laki-laki dinilai lebih unggul dalam aspek teknis seperti keamanan siber dan pemrograman, sementara anak perempuan lebih kompeten dalam penggunaan digital sehari-hari dan aspek etika dalam berkomunikasi daring.

Namun, penting dicatat bahwa riset di MTsN Blitar oleh Lafifa dan Rosana (2023) menunjukkan bahwa perbedaan skor literasi digital antara anak laki-laki dan perempuan tidak signifikan, meskipun tren aktivitas digital mereka tetap berbeda.

Di Indonesia, tantangan menjadi lebih kompleks karena ketimpangan akses berbasis gender masih terjadi, terutama di wilayah pedesaan.

Laporan bersama Kemendikbudristek dan UNICEF (2023) mengungkapkan bahwa anak perempuan di banyak daerah memiliki akses lebih terbatas terhadap perangkat digital, baik karena faktor ekonomi maupun norma sosial. Akibatnya, meskipun mereka memiliki potensi kuat dalam literasi berbasis bahasa, perkembangan literasi digital mereka sering terhambat karena keterbatasan sarana.

UNICEF Asia Timur dan Pasifik (2023) menambahkan bahwa norma budaya dan stereotip peran gender juga menjadi penghalang. Banyak anak perempuan yang kehilangan kesempatan mengeksplorasi teknologi karena dianggap tidak “feminin”, sementara anak laki-laki justru lebih didorong untuk menguasai perangkat digital.

Padahal, dunia digital seharusnya menjadi ruang setara di mana anak dapat mengembangkan identitas, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis tanpa hambatan gender.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita memikirkan kembali pendekatan pendidikan literasi yang digunakan di sekolah maupun di rumah. Literasi tak lagi bisa didefinisikan sebatas kemampuan membaca dan menulis teks cetak.

Literasi hari ini mencakup keterampilan memahami informasi visual, mengevaluasi konten digital, berinteraksi secara etis, dan mengekspresikan diri secara multimodal. Semua itu harus dipahami sebagai keterampilan esensial yang dapat dan harus dikembangkan baik oleh anak perempuan maupun laki-laki.

Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam memastikan bahwa perbedaan gaya belajar ini tidak menjadi celah ketimpangan, melainkan jembatan pengayaan. Anak laki-laki bisa diajak menulis melalui pengalaman bermain gim atau eksplorasi visual yang mereka sukai, sementara anak perempuan bisa dikenalkan pada coding, desain digital, dan eksplorasi teknologi dengan pendekatan naratif yang lebih dekat dengan mereka.

Literasi inklusif gender adalah soal membuka jalan belajar yang relevan dan bermakna bagi setiap anak, bukan menyamaratakan, melainkan menyetarakan peluang.

Di tengah dunia yang semakin kompleks dan digital, kemampuan menavigasi informasi dan teknologi adalah bentuk literasi baru yang tak bisa ditunda. Kesenjangan yang kita abaikan hari ini bisa menjelma menjadi jurang ketimpangan masa depan.

Literasi seharusnya bukan hanya tentang membaca dan menulis, tapi bagaimana setiap anak terlepas dari gendernya mampu memahami, mengolah, dan membentuk dunia mereka sendiri. Untuk itu, kita semua bertanggung jawab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *