Sriwijayamedia.com – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta para kader Partai Golkar untuk bersabar terkait dengan pilihan koalisi capres dan cawapres di Pemilu 2024.
Partai Golkar terus melakukan komunikasi politik dalam rangka membangun koalisi permanen, tidak saja dalam kepentingan capres dan cawapres. Namun juga koalisi di parlemen.
Ketua Dewan Pembina SOKSI ini mengingatkan bagi bangsa Indonesia yang memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, merawat persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 273 juta jiwa, terdiri dari 1.340 suku yang memiliki 733 bahasa, serta menganut 6 agama serta puluhan aliran kepercayaan, adalah fakta sosiologis yang menempatkan bangsa Indonesia pada posisi yang rentan dari ancaman perpecahan.
“Kebhinekaan dalam negara yang kaya akan keberagaman hanya bisa wujudkan dengan komitmen kuat untuk mengelola kemajemukan dengan baik dan benar. Kegagalan dalam mengelola kemajemukan akan berpotensi mengakibatkan terjadinya gejolak sosial yang dapat mereduksi semangat persatuan dan kesatuan bangsa, menumbuhkan radikalisme, dan menumbuhkan konflik horisontal,” ujar Bamsoet, saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan Halal Bihalal Kader di DPD II Partai Golkar Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Jateng), Minggu (21/5/2023).
Hadir dalam sosialisasi itu antara lain Sekda Kabupaten Kebumen Ahmad Ujang Sugiono, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Kebumen Halimah Nurhayati, pengurus serta kader Partai Golkar Kabupaten Kebumen.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam kehidupan demokrasi, persatuan tidak seharusnya dimaknai sebagai keseragaman yang bersifat simbolis dan atributif, tetapi pada kesatuan paradigma dan visi kebangsaan.
Gagasan ini mengedepankan konsep wawasan kebangsaan sebagai cara pandang yang bersifat holistik, mampu melihat setiap persoalan dari berbagai sudut pandang, dengan tetap menjadikan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai dasar pijakan.
“Kita dapat belajar dari referensi global bahwa pada masanya Uni Soviet dan Yugoslavia adalah representasi negara besar dan maju di kawasan Eropa Timur. Namun kegagalan dalam membangun semangat kebersamaan, dan kelalaian dalam merawat soliditas ikatan kebangsaan telah menyebabkan kedua negara besar tersebut terpecah-belah dan tercerai-berai,” tutur Bamsoet.
Waketum FKPPI ini juga mengingatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, saat ini kita sedang dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang muncul dari faktor internal maupun eksternal, antara lain : melemahnya pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa; kesenjangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat; de-moralisasi generasi muda bangsa; potensi konflik horisontal di tengah kontestasi politik; dan ancaman krisis dan hegemoni ekonomi-politik global.
Tantangan kebangsaan yang paling rawan hari ini adalah, masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat. Hingga September 2022, tingkat kemiskinan di negara kita tercatat sebesar 9,57 persen.
Artinya, masih ada sekitar 26,36 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada periode yang sama, angka ketimpangan distribusi pendapatan atau dikenal dengan istilah rasio gini, tercatat sebesar 0,381, atau masih di bawah target yang ditetapkan pada RPJMN 2020-2024 sebesar 0,374.
Sebagai data pembanding, World In-equality Report tahun 2022 mencatat bahwa meskipun tingkat kekayaan masyarakat Indonesia meningkat signifikan sejak tahun 1999, namun tingkat ketimpangan kekayaan masih cenderung stagnan.
Rasio kesenjangan pendapatan pada tahun 2021 berada di level 1 banding 19. Artinya, jumlah penduduk terkaya memiliki pendapatan rata-rata 19 kali lipat lebih tinggi dari jumlah penduduk termiskin.
“Kesenjangan ekonomi ini tidak boleh kita abaikan begitu saja, karena jika merujuk pada survei Litbang KOMPAS, bahwa 19,2 persen terjadinya aksi radikalisme di Indonesia dipicu oleh faktor ekonomi,” jelas Bamsoet.
Terkait kebhinekaan, Bamsoet menjelaskan, upaya merawat kemajemukan Indonesia harus dilandasi oleh kesadaran bahwa keberagaman adalah fitrah kebangsaan yang harus dijaga bersama. Di sisi lain, kebersamaan sebagai sebuah bangsa juga harus ditopang oleh pondasi yang mengakar kuat, agar tidak mudah goyah oleh berbagai potensi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pondasi tersebut mewujud pada sikap tenggang rasa dan semangat gotong royong.
Sikap tenggang rasa adalah upaya menjaga perasaan, menempatkan situasi dan kondisi diri pada situasi dan kondisi yang dialami orang lain, sebagai cerminan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain.
“Sedangkan gotong royong adalah warisan kearifan lokal yang telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan mengedepankan kerjasama, tolong-menolong, bahu-membahu, serta menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Namun kita juga menyadari, bahwa kedua pondasi tersebut hanya akan benar-benar bermakna, ketika dimanifestasikan dalam tindakan nyata, dan tidak hanya berhenti pada sebatas ide dan gagasan,” pungkas Bamsoet. (*)