Sriwijayamedia.com– Kolegium Jurist (KJ) Institute kembali menyelenggarakan Diskusi Publik bertemakan “Eksaminasi Publik terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) RI menyoal pengujian batas daerah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dengan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Provinsi Sumsel, pada Rabu (16/10/2024).
Diskusi publik ini dibuka secara resmi oleh Direktur Eksekutif KJ Institute. Assoc Prof DR Ahmad Redi, SH., MH.
Diskusi Publik ini menghadirkan narasumber Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari, SH., M.Hum., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Prof Dr Faisal Santiago, SH., MM., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof Dr Ibnu Sina Chandranegara, SH., MH., Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi dan Perundang-undangan Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Dr Febrian, SH., M.Si.
Diskusi publik dihadiri dari berbagai elemen yaitu akademisi, Pemerintah Daerah di Provinsi Sumsel, praktisi, jurnalis, dan masyarakat.
Direktur Eksekutif KJ Institute Dr Ahmad Redi menjelaskan bahwa tujuan utama diskusi publik sebagai sebagai bentuk respon atas terjadinya polemik batas wilayah antara Kabupaten Muba dengan Kabupaten Muratara Provinsi Sumsel, pasca terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 76/2014 tentang Batas Daerah Kabupaten Muba dengan Kabupaten Muratara, Sumsel.
“Diharapkan dengan adanya diskusi publik ini dapat pengaturan dan pengelolaan batas daerah. Melalui forum ini, diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif untuk penyelesaian masalah terkait serta perbaikan kebijakan di masa depan,” ujar Ahmad Redi.
Menurut dia, Permendagri No 76/2014 telah mendapatkan 3 (tiga) kali pengujian melalui MA antara lain Putusan MA No 82P/HUM/2014, putusan MA No 3 P/HUM/2015, dan putusan MA No 71 P/HUM/2015.
Melalui paparannya, Guru Besar Unsri Dr Febrian menyebut bahwa pengaturan batas wilayah dari kedua kabupaten tersebut sebelumnya tidak menjadi soal.
Namun menjadi sebuah isu dikarenakan terbitnya Permendagri No 76/2014 yang mengurangi cakupan wilayah Kabupaten Muba dan dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berkaitan penegasan batas wilayah yaitu UU No 16/2013.
“Terdapat satu desa yaitu Desa Sako Suban yang sebelumnya berada di wilayah Kabupaten Muba, setelah perubahan Permendagri menjadi bagian Kabupaten Muratara,” terang Febrian.
Febrian menambabkan bahwa perubahan cakupan wilayah terdapat kekeliruan karena seharusnya pengambilan koordinat dari patok batas utama yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Selain itu, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Ibnu Sina Chandranegara menyampaikan bahwa polemik ini terjadi ada karena perubahan cakupan wilayah Kabupaten Muba yang pelaksanaan perubahannya tidak melibatkan pihak terdampak tidak adanya kepastian hukum, dan tidak melaksanakan asas lex superior derogate legi inferiori.
Ibnu Sina juga menyebut setidaknya terdapat dua isu hukum yang diakibatkan dari Permendagri No 76/2014.
“Pertama adanya perubahan titik koordinat 17 sampai dengan 28 dan hilangnya pilar batas utama 01 sampai dengan 10 yang berdampak berkurangnya cakupan wilayah Kabupaten Muba. Kedua penetapan titik koordinat harus mendapatkan
persetujuan. Ketiga usulan perubahan tidak melibatkan pihak terdampak. Keempat penetapan perubahan dilakukan dalam masa demisioner. dan Kelima perubahan berdampak kepada berbagai izin usaha yang telah ada,” jelas Ibnu Sina.
Mengenai persetujuan titik Koordinat, Ibnu Sina menjelaskan perubahan batas wilayah tidak hanya menimbulkan masalah pemerintahan semata.
Dampaknya jauh lebih luas dan menghantam tata ekonomi serta tata sosial masyarakat.
“Dalam dunia hukum, kita mengenal asas In dubio pro lege fori yang mengandung makna bahwa jika hukum dalam suatu perselisihan tidak jelas, maka hukum forum harus diterapkan atau sebuah prinsip yang semakin relevan di tengah kekacauan ini,” imbuh Ibnu.
Setali tiga uang, Guru Besar Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Aidul Fitriciada Azhari menilai, adanya adanya potensi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) pada perkara batas wilayah daerah Kabupaten Muba dengan Kabupaten Murata, Sumsel.
Berkaitan dengan aspek KEPPH, Aidul Fitriciada menjelaskan terdapat asas res judicata pro veritate habetur, bahwa putusan hakim dianggap benar selama belum ada putusan lain yang membatalkan.
“Pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim merupakan kemandirian hakim, sehingga tidak menjadi yurisdiksi dari KEPPH. Prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme hanya dapat diperiksa oleh MA atau oleh MA dan KY atas usulan KY,” terang Aidul Fitriciada.
Terdapat potensi pelanggaran KEPPH pada perkara batas wilayah daerah
Kabupaten Muba dengan Kabupaten Murata, Sumsel. Pertama pertimbangan yuridis dan substansi putusan tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan KEPPH, terdapat dua putusan dengan pemohon sama dan pertimbangan sama, tetapi amar putusannya berbeda.
Dalam penilainnya Aidul Fitriciada menerangkan bahwa amar putusan
No 71 P/HUM/2015 menunjukkan ada pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi.
“Ini sama menunjukkan ada pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi dan prinsip profesionalisme karena seharusnya jika hanya dipertimbangkan secara formil dan tidak mempertimbangkan pokok perkara, maka seharusnya amar putusan adalah tidak diterima,” ungkap Aidul Fitriciada.
Ditempat sama, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Faisal Santiago menanbahkan bahwa amar putusan dari ketiga upaya hukum melalui hak uji materiil terkait perkara batas wilayah tidak ada satupun yang diterima oleh
Majelis Hakim dengan berbagai pertimbangan hukum.
“Putusan MA No 3 P/HUM/2015 dan putusan MA No 71 P/HUM/2015 amar putusannya adalah ditolak, lalu putusan MA No 82 P/HUM/2014 amar putusannya tidak diterima,” ucap Faisal Santiago.
Faisal Santiago menilai putusan MA No 3 P/HUM/2015 pertimbangan hukumnya yaitu objek Hak Uji Materiil tidak terdapat pertentangan idealistik hukum dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya karena telah dikomunikasikan secara intens, sehingga telah dipertimbangkan aspek filosofis, historis, sosiologis, dan yuridis.
“Hal tersebut sama sekali tidak mengundang cacat formal pembentukan maupun substansi muatannya. Lalu alasan-alasan permohonan Hak Uji Materiil tidak beralasan, hanya berasumsi akan menurunkan Penerimaan Asli Daerah (PAD) pemohon, sehingga tidak dapat dibenarkan,” papar Faisal Santiago
Selain itu, Faisal Santiago melanjutkan pada putusan MA No 82
P/HUM/2014, bahwa objek HUM yang dimohonkan oleh pemohon sama dengan putusan MA No. 3 P/HUM/2015. Menurut dia, amar putusan tidak diterima dan putusan ini bersifat erga omnes sehingga berlaku secara umum. Sedangkan pada putusan MA No 71 P/HUM/2015 pertimbangan hukumnya bahwa yang dimohonkan Uji Materiil oleh pemohon ternyata sudah pernah diajukan dengan register perkara No 03 P/HUM/2015 (dengan amar putusan menolak permohonan Hak Uji Materiil Pemohon). Oleh karena itu, permohonan Hak Uji Materiil oleh pemohon tidak beralasan dan patut untuk ditolak.
“Melihat dari ketiga putusan yang berkaitan dengan perkara batas wilayah putusan tersebut seyogyanya mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat dari putusan tersebut. Kami berharap hasil dari diskusi ini dapat memberikan dampak positif bagi keamanan di wilayah kerja masingmasing,” urai Faisal.(wan)