Sriwijayamedia.com – Pakar hukum pidana Choirul Huda, menyampaikan usulan agar aspek penyelidikan tidak perlu dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengingat sifatnya yang teknis dan berbeda-beda tergantung jenis tindak pidana.
Hal itu disampaikan Choirul Huda dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, yang membahas sejumlah poin krusial dalam penyusunan RUU KUHAP, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).
Huda menekankan bahwa pembaruan hukum acara pidana tidak boleh terjebak dalam dikotomi antara dua pendekatan hukum, yakni diferensiasi fungsional dan dominus litis.
Menurutnya, kedua pendekatan tersebut justru harus diperkuat secara bersamaan.
“Yang berkembang saat ini adalah diferensiasi fungsional versus dominus litis. Menurut saya ini bukan pilihan, dua-duanya harus diperkuat,” ujarnya.
Dia menjelaskan, penguatan diferensiasi fungsional dapat dilakukan dengan memastikan independensi penyidik, sementara dominus litis perlu diperkuat melalui perluasan kewenangan penuntut umum dalam menyelesaikan perkara di luar pengadilan.
“Diferensiasi fungsional harus diperkuat, terutama dengan memastikan agar penyidik kita jauh lebih independen dari keadaan sekarang. Dominus litis diperkuat dengan cara memberi wewenang yang lebih besar kepada penuntut umum untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan supaya bisa mengurangi beban pengadilan juga,” ungkapnya.
Dalam konteks penyidikan, Huda mengusulkan agar penyelidikan tidak perlu diatur secara eksplisit dalam KUHAP. Dirinya menilai pengaturannya sebaiknya diserahkan pada masing-masing institusi penegak hukum karena bersifat teknis dan situasional.
“Usul saya, pimpinan penyelidikan tidak perlu diatur dalam KUHAP. Karena penyelidikan itu sifatnya teknis, dan masing-masing tindak pidana pasti ada sisi-sisi teknis yang berbeda. Kalau kita atur dalam KUHAP, pertama jadi redundant. Misalnya, penyelidik saat penyelidikan mengambil berita acara atau keterangan interogasi jadi berkas. Begitu naik ke penyidikan, diulang lagi, hanya diganti namanya jadi berita acara pemeriksaan saksi. Padahal itu juga yang dikerjakan. Ini menurut saya kurang efektif,” urainya.
Huda juga menyoroti persoalan birokrasi dalam proses penyelidikan yang dinilai kerap menghambat efektivitas penanganan perkara. Menurutnya, penyelidikan seharusnya dilakukan secara langsung dan fleksibel di lapangan.
“Penyelidikan itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan langsung di lapangan. Penyelidik datang ke TKP, ke saksi-saksi, ke orang-orang yang dicurigai. Mestinya seperti itu. Ada yang terbuka, ada yang tertutup,” ucapnya.
Huda menilai bahwa karena pengaturan penyelidikan saat ini hanya berlaku untuk kepolisian, maka mekanismenya sebaiknya diserahkan kepada masing-masing institusi penyidik seperti KPK dan kejaksaan agar lebih adaptif terhadap dinamika kejahatan.
“Kalau sekarang yang diatur kan penyelidikan untuk Polri saja, padahal masing-masing penyidik juga bisa mengatur penyelidikan. Jadi biarlah diatur dalam peraturan internal mereka masing-masing, seperti Perpol. Supaya lebih luwes dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan,” paparnya.
Huda juga menyinggung praktik penetapan tersangka langsung dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga seperti KPK dan kejaksaan, yang menurutnya seringkali tidak memiliki dasar hukum kuat.
“Pimpinan KPK dan kejaksaan kerap kali menetapkan tersangka berdasarkan hasil penyelidikan. Padahal dalam undang-undangnya tidak ada ketentuan bahwa penyelidikan bisa menetapkan tersangka. Sehingga kerap kali kalah di praperadilan,” jelas Huda.
Menutup pernyataannya, Huda menegaskan pentingnya fleksibilitas dalam mengatur proses teknis penyidikan dan penyelidikan di luar KUHAP, selama tetap menjunjung prinsip akuntabilitas.
“Usul saya, biarkan masing-masing penyidik mengatur soal teknis penyidikan dalam penyelidikan. Setiap penyidikan tentu harus dimulai dengan penyelidikan,” pungkasnya. (Adjie)