Sriwijayamedia.com- Babak baru dalam rentetan kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kini melibatkan pihak Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).
Para penggugat yang notabene berasal dari kalangan intelektual meliputi Roy Suryo (Pakar Telematika, Rismon Sianipar (Ahli Digital Forensik), Tifauzia Tyassuma yang dikenal dengan dokter Tifa dan merupakan pegiat medsos, serta para kuasa hukum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tiba di gedung Komnas HAM, Jakarta sekitar pukul 14.09 WIB dan langsung ditemui oleh dua orang staf Komnas Ham bagian Pengaduan, Rabu (21/5/2025).
Usai menyampaikan laporan, juru bicara (jubir) dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis Achmad Khozinudin menjelaskan bahwa kedatangan rombongan ke Komnas HAM untuk menyampaikan aduan atas dugaan pelanggaran HAM yang dinilai dilakukan oleh Jokowi.
Pihaknya mempersoalkan penggunaan pasal-pasal hukum yang menurut para kuasa hukum tidak relevan dengan substansi persoalan.
Pasal-pasal itu digunakan bukan untuk melindungi hak, tapi justru berpotensi menekan kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik.
“Klien kami yang merupakan akademisi dan ilmuwan, sedang menjalankan tugasnya menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan publik. Ini hak yang sah, tapi justru malah dijawab dengan kriminalisasi. Kami menilai ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak pribadi dan hak akademik, yang dilindungi oleh Undang-undang (UU),” ujar Achmad Khozinudin.
Setali tiga uang, Roy Suryo Notodiprojo menegaskan bahwa Komnas HAM hadir untuk menjamin hak-hak rakyat Indonesia.
Tapi yang ia alami bersama rekan-rekan lainnya adalah ketidakadilan, dimana seseorang yang memiliki kekuasaan menggunakan alat negara untuk menekan dan membungkam masyarakat biasa.
“UU ITE, yang seharusnya digunakan secara proporsional, malah dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengajukan pertanyaan ilmiah. Padahal pertanyaan kami sederhana, kenapa ada seorang tokoh publik yang pernah menjabat, tapi ijazahnya justru dipertanyakan?,” ungkap Roy.
Pun disampaikan oleh dr Tifauzia Tyassuma. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan seharusnya menjadi ruang yang bebas dan terbuka.
Tapi yang ia alami hari ini adalah kriminalisasi terhadap pekerjaan ilmiah yang dijalani.
Bahkan lebih dari itu, ia mengalami intimidasi dari pihak yang secara de facto masih memiliki kekuasaan.
“Kami sedang menjalankan tanggung jawab sebagai ilmuwan untuk menjawab pertanyaan publik. Tapi justru kami dihentikan, seolah tidak diizinkan untuk mengungkap kebenaran. Padahal pekerjaan kami dilindungi oleh konstitusi pasal 28 UUD 1945, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dan bahkan instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi Indonesia,” terang Tifa.
Para pelapor berharap Komnas HAM sebagai lembaga negara dapat menjalankan mandatnya dengan tegas dan independen.
Selain melapor ke Komnas HAM, para penggugat berencana akan melapor ke Amnesty Internasional.
“Kami sudah melakukan komunikasi dengan kawan-kawan komunitas diaspora dan komunitas
HAM, mulai dari level nasional sampai dunia. Ini bisa jadi potensi buruk bagi kaum ilmuwan. Kami tidak boleh berdiam diri, kami marah karena kejujuran adalah pondasi paling penting di negara ini,” imbuh Tifa.(Santi)