Sriwijayamedia.com – Pemerintah memutuskan untuk menaikkan PPn dari 11 menjadi 12 persen. Dasar pertimbangan pemerintah, BAB IV Pasal 7 ayat 1 UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Di pasal itu memang disebutkan PPn sebesar 12 persen bakal diberlakukan tanggal 1 Januari 2025,” kata Ketua Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (DKI) Bandot D Malera, kepada sriwijayamedia.com., Jumat (27/12/2024) siang.
Atas nama melaksanakan UU pemerintah secara ‘Gebyah Uyah’ lantas menerbitkan aturan tentang PPn 12 persen yang akan berlaku 1 Januari 2025.
Presiden Prabowo seolah terjebak dalam kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR periode lalu.
“Sehingga tanpa melakukan kajian ulang, pemerintah serta menjalankan beleid tersebut. Padahal, di ayat 3 aturan yang sama, justru dibuka peluang untuk merevisi angka PPN menjadi 5-15 persen,” terangnya.
Menurut dia, pemerintah sejatinya masih memiliki waktu untuk melakukan usulan dan lobby ke DPR guna melakukan revisi terhadap angka PPn.
Bahkan pemerintah bisa mengusulkan PPn diturunkan hingga 5 persen.
Argumen pemerintah sekedar menjalankan UU tentunya sangat mentah, terkesan pemerintah tidak baca UU secara utuh.
“Jika Prabowo masih mengingat janjinya untuk menaikkan pajak, maka dia masih memiliki banyak peluang untuk membatalkan kenaikan PPn. Bahkan untuk menurunkannya. Prabowo mestinya menyadari, kenaikan PPn mungkin akan mampu menambal APBN. Namun, di sisi lain, tentunya akan memukul daya beli masyakarat. Ujung-ujungnya, justru akan memukul perekonomian,” tegasnya.
Hal lain yang mesti menjadi perhatian Prabowo, kata dia, adalah stabilitas politik yang goyah akibat isu PPn ini. Isu PPn ini berpotensi menjadi konsolidasi oposisi untuk menekan pemerintahan Prabowo. Meskipun masih dengan narasi menyerang Jokowi.
“Di masa awal pemerintahan, semestinya Prabowo ‘berbulan madu’ dengan rakyat. Sebaiknya hindarkan dulu menerbitkan kebijakan yang anti popular,” pungkasnya. (irawan)