Sriwijayamedia.com – Jakarta – Teknologi 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan internet dan otomatisasi mengakibatkan disrupsi pada semua sektor.
Persoalannya, tidak semua rakyat Indonesia mendapat penerangan yang baik untuk bisa memanfaatkan teknologi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Akibatnya, Indonesia yang majemuk terancam dengan politik identitas.
“Menghadapi disrupsi, kami menginginkan kita semua bekerja untuk masa depan dengan paradigma bersanding, bukan bertanding, apalagi bersaing. Artinya untung menguntungkan di antara kita semuanya, sehingga Indonesia bisa berjalan baik,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat membuka webinar “Beragama dalam Bingkai Kebangsaan untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa”, bersama Majalah Nuansa Persada, di Aula Serbaguna Kantor DPP LDII Jakarta, Rabu (24/8/2022).
Perhelatan itu diikuti 2.600 peserta yang berkumpul di 265 titik. Para peserta terdiri perwakilan DPW, DPD Kabupaten/Kota, hingga pesantren di lingkungan LDII. Webinar tersebut menghadirkan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sebagai pembicara kunci, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PBNU KH. Ahmad Fachrur Rozi, Ketua PP Muhammadiyah KH Syafiq Al Mughni, Romo Franz Magnis Suseno, dan Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono.
Menurut KH Chriswanto, keberagaman adalah takdir bangsa Indonesia. Agar perahu yang bernama Indonesia tetap tenang, maka setiap pihak harus mengembangkan toleransi dan saling menghargai.
Setali tiga uang, Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi dalam pernyataannya meminta umat beragama menjadi agen transformasional, yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritualitas keimanan, mental kultural, dan kemanusiaan di kemajemukan.
“Kita sekaligus harus mampu menjaga keutuhan bangsa agar tidak tercerabut dari akar kehidupan, sebagai bangsa yang religius di tengah budaya teknokratis, materialistis, dan hedonis yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.
Semua umat beragama, lebih spesifik lagi ormas keagamaan memiliki tempat yang strategis. Mereka berfungsi sebagai tumpuan harapan umat dan mitra pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara
Secara spesifik, peran dan kontribusi umat Islam, utamanya ormas Islam sebagai penjaga garis kerukunan antar umat beragama perlu ditingkatkan, seiring dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.
“Kita semuanya menyadari bahwa faktor pendidikan, ekonomi dan pilihan politik, kerap menjadi penyebab naik turunnya tensi kerukunan, munculnya gesekan, dan keretakan sosial di tengah masyarakat,” paparnya.
Menurut dia, pondasi kerukunan dan keutuhan bangsa harus dibangun sejak dari lingkungan keluarga, pendidikan formal, maupun pendidikan informal.
Dia berpendapat dalam menyikapi berbagai Isu dan dinamika sosial, semua harus bisa menghindari dan mencegah timbulnya gesekan antar sesama saudara, saudara sebangsa dan saudara setanah air, maupun saudara seagama yang berbeda pemahaman dan organisasi.
Menteri Agama RI periode 2014-2019 itu mengukuhkan pendapat Wamenag mengenai pentingnya menghindari gesekan dalam kehidupan yang majemuk.
“Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan kita, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol,” tegasnya.
Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat.
“Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbicangkan di dalam kelompok saja. Dengan masalah perbedaan semua pihak harus lebih toleran,” jelasnya.
Sikap yang toleran tersebut diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia.
“Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia,” ujar Romo Magnis, saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.
Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat.
“Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Sovyet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap,” ulas Romo Magnis.
Kunci keberhasilan Indonesia melewati krisis, menurutnya adalah kesediaan mayoritas untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD 1945.
“Umat Islam tidak menuntut keistimewaan. Itulah dasar persatuan,” imbuhnya.
Meskipun demikian, ia berpendapat kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai budaya kelompok mayoritas, “Di sinilah pentingnya tenggang rasa,” ungkapnya.
Bangsa Indonesia punya modal rohani, dalam dimensi budaya, politik kebangsaan dan agama. Dalam dimensi budaya, Indonesia bila dibandingkan Jerman sangat jauh berbeda. Bangsa Jerman tidak biasa beda bahasa, sementara Indonesia majemuk.
“Jadi orang Indonesia terbiasa berbeda agama dan bahasa, namun bisa hidup saling menghormati. Dalam budaya Indonesia kekerasan itu selalu ditolak. Indonesia itu toleran dan positif,” tutur Romo Magnis.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono sekaligus Ketua DPP LDII menuturkan Pancasila merupakan pemersatu bangsa.
“Inilah yang membuat Lemkari cikal bakal LDII, sejak berdiri pada 1972 menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi,” imbuh Singgih.
Menurutnya, untuk menjahit keberagaman, LDII mengembangkan silaturahim atau dialog. Bahkan, 8 Program Kerja LDII untuk Bangsa terdiri dari Wawasan Kebangsaan, Dakwah, Pendidikan Umum, Ketahanan Pangan, Penghijauan dan Pelestarian Lingkungan, Kesehatan dan Pengobatan Herbal, Ekonomi Syariah, Teknologi 4.0, dan Energi Baru Terbarukan tidak berhenti sebagai program kerja, tapi menjadi wahana untuk bersilaturahim dengan pemerintah, ormas, parpol, dan para pemangku asas lainnya.
“Silaturahim menjadi ruh LDII dalam moderasi beragama. Pondasinya ayat yang menegaskan kita diciptakan memang berbeda, namun untuk saling mengenal sehingga bisa saling membantu,” jelas Singgih.(Irawan)