Sriwijayamedia.com – Lambatnya penyelesaian sengketa tanah melalui mekanisme litigasi menjadi pertimbangan bagi para korban sengketa tanah untuk berhadapan dengan mafia tanah di ranah hukum.
Di Sumsel, tak terhitung kasus konflik agraria melibatkan perorangan hingga korporasi yang tak kunjung menemui titik terang dalam penyelesaian. Bahkan memakan waktu bertahun-tahun.
Lahan yang telah berpuluh-tahun dikelola dan mengantongi sertifikat kepemilikan secara tiba-tiba diakui oleh pihak lain sebagai miliknya dan terjadilah proses gugat. Parahnya, sengketa tanah tak jarang berujung pada pertumpahan darah.
Di luar itu semua, penyelesaian konflik tanah tak melulu melalui proses meja hijau. Penyelesaian sengketa tanah sebenarnya juga bisa dilaksanakan dengan mekanisme non litigasi yakni melalui proses mediasi antara kedua belah pihak.
Sebagai edukasi kepada masyarakat, Kementrian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Inspektur Jendral (Irjen) ATR/BPN Sunraizal, SE., MM., menjadi pemateri dalam seminar bertajuk “Penyelesaian Sengketa Tanah di Luar Pengadilan” di Hotel Batiqa, Palembang, Senin (19/12/2022).
Diketahui, Kementerian ATR/BPN hingga kini terus berupaya menyelesaikan kasus sengketa tanah dan konflik tanah, hingga memberantas para mafia tanah. Termasuk dengan menempuh penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang sedang terjadi baik melalui proses litigasi maupun non litigasi.
“Terdapat 357 sengketa tanah yang telah diselesaikan oleh Kementrian ART/BPN di seluruh Indonesia melalui mekanisme non litigasi,” aku Irjen Kementerian ATR/BPN Sunraizal.
Menurut dia penyelesaian non ligitasi melalui metode mediasi justru lebih baik. Sebab diupayakan tidak ada yang dirugikan sebagai jalan keluarnya.
“Dengan mediasi, tidak perlu lagi proses peradilan yang dijalankan di pengadilan dengan tugas memeriksa, memutus, dan mengadili perkara,” ungkapnya.
Dia mengapresiasi adanya seminar seperti ini karena bisa memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan pertanahan melalui proses non litigasi salah satunya dengan metode mediasi.
“Kami meyakini kasus sengketa tanah dengan mediasi, musyawarah dapat menyelesaikan masalah dan bermanfaat serta menguntungkan kedua belah pihak,” tutur Sunraizal.
Setali tiga uang, akademisi pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Kader Bangsa (UKB) Palembang dan Universitas Negeri Sriwijaya Bahrul Ilmi menyampaikan penyelesaian tanah yang dilakukan melalui litigasi sengketa pertanahan memiliki kendala, yaitu time consuming and continual, tidak terintegrasi, tidak memberi kepastian hukum, tidak menuntaskan sengketa, dan boros biaya, energi, dan upaya.
Oleh karena itu, penting adanya peradilan pertanahan untuk mengatasi sengketa tanah yang semakin semerawut dan kompleks.
DPR sebagai pembentuk UU harus segera mengesahkan RUU pertanahan yang sudah dibahas dan dapat diproses melalui carry over.
“Namun demikian, peradilan khusus pertanahan harus melalui proses concising yang tepat agar tidak sesat seperti pengadilan khusus seperti yang sudah didirikan Mahkamah Agung (MA),” imbuhnya.
Sementara itu, Kasubdit Harda Ditreskrimsus Polda Sumsel Kompol Raphael BJ Lingga mengatakan, penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan sebenarnya dapat dilakukan.
“Penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan dengan restorative justice. Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pihak pelaku dan pihak korban, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula, sebagaimana termuat pada Pasal 1 huruf 3 (Peraturan Polri No 8/2021),” jelas Raphael.
Di akhir acara, Ketua Pelaksana A Edison Nainggolan berharap agar seminar ini memberi manfaat dan dapat memunculkan solusi atas persoalan yang ada.
“Jangan sampai setelah seminar ini selesai, berlalu begitu saja tanpa manfaat yang bisa diambil. Seperti dikatakan pak Raphael tadi, bahwa tidak ada sengketa yang tak dapat diselesaikan,” papar Edison.(ocha)