Sriwijayamedia.com – Direktur Urusan Luar Negeri CMR University India Prof Vinayak Khrishnamurthy, disaksikan para pejabat CMR University menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Pengamat Maritim dari Indonesia Dr (HC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., di CMR University, Bangalore, India, Senin (3/7/2023).
Pengukuhan ditandai dengan penyerahan ijazah kepada Dr (HC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., yang diberikan oleh Direktur Urusan Luar Negeri CMR University sebagai wakil dari CMR University Prof Vinayak Khrishnamurthy.
Direktur Urusan Luar Negeri CMR University Prof Vinayak Khrishnamurthy mengucapkan selamat dan menyebutkan bahwa penganugerahan gelar Doktor HC ini sebagai bentuk penghargaan tertinggi kepada Dr (HC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., atas pencapaiannya yang secara konsisten mengamati, mengkritisi, dan menyuarakan kemaritiman di Indonesia khususnya dan Internasional umumnya.
Sementara itu, Dr (HC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., mengucapkan rasa terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak CMR University.
“Saya sampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak CMR University atas penghargaan Gelar Doktor Honoris Causa bidang Maritim yang diberikan kepada saya. Apalagi penghargaan ini diberikan oleh Universitas CMR – India yang telah terkenal reputasinya dalam melahirkan banyak pemikir dan pemimpin di dunia,” ucapnya.
Dia mengakui untuk mendapatkan gelar kehormatan ini tidaklah mudah. Penghargaan ini diberikan karena dedikasi di Bidang Maritim di Indonesia.
Diketahui, Capt Marcellus menekuni dunia maritim selama lebih dari 25 tahun, Mulai dari pendidikan dan dilanjutkan dengan 18 tahun lebih berprofesi sebagai nakhoda di atas kapal-kapal niaga, mulai dari kapal kecil hingga kapal super tanker di banyak belahan dunia, sampai dengan posisi saat ini sebagai seorang Pengamat Maritim dari Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Strategic Center (IKAL SC).
Dia meyakini justru dengan penghargaan ini akan semakin memicu untuk menelurkan banyak hal positif terkait bidang Maritim Indonesia kedepannya.
“Kita sebagai anak bangsa harusnya belajar Dan bangga dengan pernyataan Presiden Soekarno. Kita sekarang satu persatu, seorang demi seorang harus yakin bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara yang kuat, sentosa, sejahtera, jika kita tidak menguasai samudera, menjadi satu bangsa samudera, menjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagaimana kita dikenal dizaman bahari itu,” terangnya.
Dia menuturkan itu adalah petikan pidato dari Founding Fathers Bangsa Indonesia dan Presiden Republik Indonesia Pertama Ir Soekarno dalam sebuah kesempatan di tahun 1963.
Pidato tersebut sangat dalam maknanya bagi dirinya sebagai seorang Pengamat Maritim. Karenanya, sebagai bentuk penghargaan tertinggi dari saya kepada Ir Soekarno, dirinya tempatkan kata-kata beliau diawal pidato pembukaan. Karena beliaulah yang tercatat dalam ingatkan sebagai negarawan yang pertama kali menyebut bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut, sebagai bangsa maritim.
Dalam inaugurasi tersebut, DR (HC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa menyampaikan pandangan seputar isu-isu kemaritiman, seperti urgensi penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangganya, pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, dan ekspor pasir laut.
Persoalan utama di sektor maritim yang rentan terhadap gangguan keamanan adalah penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangganya, termasuk juga dalam hal ini dengan Negara India.
Dia menekankan saat ini kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berada di perairan Natuna seringkali memunculkan masalah.
Wilayah tersebut kaya akan sumber daya perikanan serta sumber daya alam lainnya, sehingga seringkali menjadi incaran negara lain serta tentunya kapal-kapal ikan asing untuk mengeksploitasinya. Pokok masalah terbesar di sana adalah belum disepakatinya batas wilayah laut dengan masing-masing Negara tetangganya yang saling melakukan klaim sepihak atas wilayah tersebut.
“Berbicara tentang ZEE, contohnya adalah perundingan mengenai batas laut dan penetapan batas ZEE antara Indonesia dan Vietnam adalah topik yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena perundingan tersebut telah berlangsung lama sejak 21 Mei 2010 dan sampai saat ini belum menemukan kesepakatan. Pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun dari TNI AL,” ungkapnya..
Negara Indonesia secara geografis terletak diantara simpangan dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan dua Benua yakni Benua Asia dan Benua Australia.
Wilayah maritim Indonesia yang luas memiliki banyak potensi sumber kekayaan alam seperti potensi energi dan potensi protein ikan. Namun potensi yang ada belum secara optimal dimanfaatkan, karena terbatasnya sumber daya manusia untuk menggarap sektor maritimnya. Dengan memberdayakan potensi maritim yang dimiliki ini, Indonesia dapat mewujudkan pemerataan ekonomi.
“Yang menjadi catatan saya, baru sekitar 10% saja dari potensi 1200 triliun sumber daya maritim yang berhasil dikelola oleh Bangsa Indonesia, itupun sebagian besar masih sebatas dikomersialkan dalam bentuk bahan mentah saja, belum sampai ketahap pengelolaan lebih lanjut sehingga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi,” imbuhnya.
Untuk itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Tidak berlebihan jika Indonesia memposisikan laut menjadi pusat pemecahan dari berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan.
Pendiri dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
“Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP No 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Salah satu point di PP No 26/2023 tersebut diperbolehkan ekspor pasir laut ke Singapura. Menurut pandangan saya PP tersebut berpotensi merugikan Indonesia baik dari sisi Ketahanan Nasional hingga sisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan,” urai DR (HC) Capt Hakeng.
Pengerukan pasir laut yang kemudian diekspor ke Singapura, kata DR (HC) Capt Hakeng, akan dipakai untuk memperluas daerah daratan Negara Singapura.
“Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan Negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura,” tegasnya.
Dia menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara Maritim belum menyadari posisinya saat ini.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tapi bangsa Indonesia masih fokus pada urusan sebagai negara agraris. Padahal daratan hanyalah sepertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia telah terlalu lama memunggungi lautan. Sehingga sulit bagi bangsa Indonesia untuk melakukan akselerasi menjadi bangsa yang besar, padahal potensi yang dimiliki sangat besar. Jika potensi besar itu digarap dengan baik, tentu Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar dengan cepat.
“Untuk mempercepat hal tersebut saya tidak dapat bekerja sendiri, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi pemikir di bidang maritim dari Bangsa Indonesia yang harus dilahirkan. Karenanya saya selalu mendorong banyak pihak di Indonesia untuk fokus akan hal ini,” harapnya.
Dia menegaskan setiap Bangsa memiliki jalurnya masing-masing untuk menjadi sebuah bangsa yang besar di Dunia.
India dengan populasinya serta kemampuannya di bidang Teknologi telah menjadi sebuah bangsa yang besar.
“Untuk bangsa Indonesia, saya memiliki keyakinan bahwa jalur Indonesia menjadi bangsa yang besar adalah dengan menjadi bangsa maritim,” pungkasnya. (santi)