Sriwijayamedia.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN LMND) Abu Bakar menilai pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto terhadap Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) kurang pantas.
“Perihal ucapan Sekjen PDIP Bung Hasto dibeberapa media yang mencoba menggurui Partai PRIMA, seharusnya berpikir dua kali jangan asal mengeluarkan statment. Alangkah bijaknya Bung Hasto membaca kembali sejarah perlawanan PDI kubu Megawati,” ujar Abu Bakar, Selasa (7/3/2023).
Dia menceritakan ketika Ibu Megawati dizholimi dan tidak diakuinya kepemimpinan Ketum PDIP oleh Orde Baru (orba), Bung Agus Jabo bersama rekan-rekannya menggalang pemuda-pemuda di Solo membuat wadah Serikat Rakyat Solo (SRS) diketuai oleh Pemuda Narso untuk mendeklarasikan Mega for Presiden untuk menggantikan Soeharto.
“Saat menggelorakan Gerakan Mega for Presiden, Agus Jabo dan SRS membuat banyak selebaran, poster, kaos berisi tulisan Mega for Presiden. Sementara Bung Hasto ada dimana waktu itu?,” tanya Abu.
Sekitar tahun 1995, masih kata dia, Bung Agus Jabo dan teman-temannya kala itu meluaskan gerakan dengan ikut serta dan mendukung safari Bu Mega temu kader PDI ke kota-kota di Jawa Tengah (Jateng) dengan membentangkan spanduk “Mega for Presiden”.
Dalam kegiatan aksi itu, banyak rekan dari Bung Agus Jabo yang tertangkap. Bahkan tidak sedikit yang mengalami luka-luka ketika berhadapan dengan aparat kekuasaan Orba demi memperjuangkan demokrasi Indonesia.
“Kami saja yang mahasiwa paham rekam jejak dan sejarah PDIP. Masak sekelas sekjen partai tidak memahami sejarah partainya sendiri,” imbuhnya.
Diketahui, tahun 1996 orba semakin ofensif untuk menyingkirkan Bu Mega sebagai ketua PDI yang sah.
Perlawanan pendukung Bu Mega bersama aktivis pro demokrasi semakin berani. Mereka bergerak bersama mengadakan aksi massa ke Istana Negara untuk memprotes pendzoliman terhadap Megawati.
Aksi itu berhasil dibubarkan aparat di daerah Gambir, sebagian massa kembali ke DPP PDI Jalan Diponegoro dan membuat acara mimbar bebas di situ.
“Setelah melihat acara tersebut, Bung Agus Jabo beserta teman-teman dan pendukung PDI bersepakat untuk membuat acara yang permanen yaitu panggung mimbar bebas,” akunya.
Mereka kemudian mengkonsolisadikan semua perlawanan untuk melawan Soeharto dengan bersiasat membesarkan acara mimbar bebas demokrasi diseluruh wilayah Jabodetabek dengan mengajak warga biasa dan pendukung Bu Mega untuk datang ke markas PDI Jalan Diponegoro. Hasilnya banyak warga yang mau datang terlibat dan perlawanan terhadap orba semakin membesar.
“Ingat ya zaman segitu rakyat masih takut berpolitik. Namun berkat keuletan dan kesabaran Agus Jabo dan teman-teman, warga mulai sadar dan mau ikut berjuang membela Bu Mega yang didzolimi orba,” papar Abu.
Acara mimbar demokrasi di DPP PDI Jalan Diponogoro semakin besar, massanya semakin banyak bahkan menyeret semua aktivis anti Orba ikut bergabung kala itu.
“Agus Jabo cs ikut menjadi agitator di mimbar demokrasi untuk membakar semangat massa. Orba semakin kalap dan panik melihat gerakan mimbar demokrasi yang yang makin membesar, maka pada 27 Juli 1996 mereka menyerbu kantor DPP PDI Jalan Diponogoro untuk mengusir pendukung Bu Mega untuk digantikan oleh ketua PDI boneka orba. Meletuslah peristiwa 27 Juli atau yang lebih dikenal dengan KUDATULI,” jelasnya.
Penyerbuan itu bikin Kota Jakarta jadi rusuh besar, korban berjatuhan dan entah kenapa beberapa gedung-gedung menjadi terbakar.
“Orba kemudian mengumumkan bahwa dalang dari peristiwa itu adalah Agus Jabo dkk yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mereka ditangkapi, terus diadili dan ada yang divonis penjara 13 tahun namanya Budiman Sudjatmiko,” tegasnya. (santi)