Jakarta, Sriwijaya Media- Pernyataan bombastis Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arif yang beredar di berbagai media hari ini perihal partainya tidak takut menghadapi pengacara Yusril Ihza Mahendra yang hendak menggugat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA) mendapat tanggapan dari Juru Bicara (Jubir) Yusril Ihza Mahendra, Jurhum Lantong.
Melalui sebuah video yang diunggah akun Twitter miliknya @Andiarief, yang sudah dikutip beberapa media, dengan kalimat yang hiperbolik, Andi memaklumatkan jika Demokrat hanya takut pada Kepala Staf Presiden Moeldoko, yang berpotensi menggunakan instrumen kekuasaan dalam sengketa ini.
“Jadi Yusril tak pantas jumawa. Sebab yang kami takutkan bukan mulutnya Yusril, tapi kamar gelap kekuasaan yang akan dimainkan Moeldoko untuk memainkan rencana busuknya,” kata Andi yang dikutip media, Senin (27/9/2021).
Dari kalimat itu, jubir Yusril Jurhum Lantong mencatat cara berpikir Andi yang penuh delusi dari kecamuk rasa benci yang tak beralasan terhadap Yusril yang menjadi kuasa hukum anggota Partai Demokrat yang mengajukan judicial review AD/ART Partai Demokrat.
Ketika ia berusaha menyematkan kata ‘jumawa’ pada sosok Yusril Ihza Mahendra, hampir bisa dipastikan bahwa ia tengah berakrobat kata-kata tanpa makna.
Kultur inilah yang selama ini dibangun untuk menghadapi lawan dengan cara menyematkan kalimat pejoratif mereka yang berseberangan, bukan memperdebatkan pokok pikiran yang tengah diperkarakan.
“Apa ukuran jumawa Andi, bukankah Yusril sebagai pengacara hanya menjalankan tugasnya sebagai kuasa hukum, yang menempuh jalan legal dengan cara terhormat dan konstitusional melalui jalur MA. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para advokat. Lalu dimana letak jumawa Yusril? Apakah Yusril sudah merasa menang, kan tidak? Andai pun kelak dimenangkan di meja hijau, apakah Yusril patut jumawa, kan tidak juga, ini cara-cara demokratis yang ditempuh, bukan cara-cara barbar. Apalagi Yusril tak melakukan akrobat kata seperti istilah-istilah tak sesuai porsinya seperti ‘begal’, ‘kudeta’ atau kata tak bermakna lainnya. Idiom politik yang jauh dari kultur diskursus cerdas,” tegas Jurhum Lantong.
Sebagai politisi dan juga aktivis partai, Andi sejatinya mampu menempatkan kata yang punya makna, jangan asal hiperbolik, dan bombastis tapi miskin pemaknaan, sehingga diskursus demokrasi tak buang-buang energi.
Sementara soal ‘kamar gelap’ kekuasaan yang disebutnya akan dimainkan Moeldoko, yang dianggapnya akan memainkan ‘rencana busuk’, juga tak jelas ukurannya.
Lepas dari konflik di internal mereka, antara kubu Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono, Jurhum melihat Andi seperti mengidap sindrom paranoi politik.
Sikap ini biasanya dilatari bayang-bayang ketakutan berlebih, seperti yang disebut di atas; (yang kami takutkan adalah Moeldoko…). Rasa ketakutan berlebih atau paranoid ini biasanya didasari ilusi keinginan akan kepastian yang mutlak. Padahal setiap kejadian yang akan datang adalah kemungkinan, atau probabilitas. Dan Andi tak membaca atau bisa jadi tak mampu merumuskan kemungkinan itu.
Dia menilai Andi tampak dilanda panik, cemas dan khawatir berlebih ketika mendadak Yusril mengungkap permohonan judicial review sesuai mantan keempat kader PD, sehingga perasaannya dibayangi prasangka hingga ilusi tentang manuver yang akan dilakukan seseorang, termasuk tuduhannya ke Yusril dan Moeldoko.
Karena bayangan itulah, Andi lupa merinci dan menganalisis pokok persoalan yang tengah diajukan keempat kader PD melalui wasilah kantor kuasa hukum Yusril.
“Karena sikap paranoid pula Andi bermanuver dengan kata-kata hiperbolik. Saya menduga itu untuk menutupi ketidakmampuannya menjelaskan kepada publik ihwal Partai Demokrat yang selama ini masih punya kesan sebagai partai oligarkis, nepotis, dan patriarkis, praktik politik yang jauh dari kesan demokratis,” sindir Jurhum.
Jika Yusril dan Moeldoko tengah bersiasat mencari celah, toh ketika celah hukum yang digunakan sesuai prosedur dan konstitusional kenapa harus dianggap tengah bersiasat busuk.
“Bukankah kalau mau menggunakan kekuasaan sedari usai KLB sudah ada putusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memihak ke kubu Moeldoko, kan faktanya tidak, justru kubu AHY yang diakui Kemenhukham, lalu dimana letak busuk dan begalnya seperti lantang disuarakan Andi dan kawan kawan? Ya, Andi cuma bisa nuduh tapi faktanya tidak jelas, dan saya kira ini bener-bener sindrom paranoid politik,” tandas Jurhum
Selanjutnya ada kalimat yang lebih super-hiperbolik yang Andi kemukakan, yakni ungkapan: “Kami memang harus mati-matian membela partai kami. Sebab ini akan jadi batas lonceng kematian Demokrasi di negeri ini,” tutur Andi seolah sebagai pejuang demokrasi.
Pernyataan itu selain menunjukan sejenis sisa-sisa sindrom berkuasa, karena di masa lalu PD pernah jaya, tapi Andi lupa bahwa lonceng kematian demokrasi yang ia sebut sesungguhnya akibat ulah mereka sendiri.
“Jika partainya punya landasan demokrasi kokoh, mengapa masih ada aroma aturan main (AD/ART) yang diduga oleh sebagian kader internal, terutama 4 orang yang mengajukan judicial review sarat oligarkis, nepotisme dan represif, hingga membuat partai ini terus bergejolak, “ sindir Jurhum.
Dia menyarankan kepada Andi dan teman-teman Demokrat harus merubah kultur berpolitik dan cara komunikasi, terutama ketika merespon isu yang tengah menerpa Demokrat. Baiknya menyikapi gugatan atau permohonan sesuai porsi dan substansi, bukan delusi kata atau narasi.
“Budaya politik santun yang katanya diusung Demokrat mana buktinya? Budaya semua saluran demokrasi harus sesuai jalur hukum mana buktinya? Kan pokok-pokok judicial review yang Yusril ajukan sudah dibeberkan. Kalau mau ‘mikir’ meluangkan waktu kan mudah saja, tinggal membedah dan menyusun saja sanggahan. Lagian mau bersiasat apa dengan lembaga tertinggi negara sekelas MA, presiden saja tidak bisa intervensi MA, Andi mestinya bacalah apa kewenangan dan kedudukan paling dasar dari MA dalam sistem Negara demokrasi kita ini, katanya pejuang demokrasi kok masih gak mudeng,” tambah Jurhum.
Dia melanjutkan semua proses judicial review di MA sejatinya akan berlangsung transparan, yang diuji muatan bukti bukan kalimat-kalimat benci.
“Ubahlah gaya politik asal bunyi, kalau gak mau dibilang jurus mabuk, rakyat ini butuh pernyataan-pernyataan politik yang bergizi, bukan budaya akrobatik narasi bombastis,” saran Jurhum.
Terakhir pada poin lain, Andi mengaku tak dilibatkan selaku tergugat. Ini pernyataan paling aneh dan super halusinasi.
Dia menilai Andi nampaknya tak tahu prosedur yang tengah ditempuh.
“Begini, saya jelaskan biar Andi paham duduk perkaranya. Istilah penggugat atau pemohon itu disebut prinsipal. Sementara termohon dalam hal ini kan Kemenkumham. Nah, ada pun posisi Partai Demokrat bukan pihak yang digugat dalam kasus judicial review AD/ART ke MA. Posisi Partai Demokrat yang menggugat ke MA adalah ke empat kader yang telah dipecat itu, mereka berempat-lah yang berada pada posisi Prinsipal. Sementara posisi legal standing YIM adalah memenuhi permohonan keempat kader PD tersebut sebagai pendamping dalam hal permohonan judicial review AD/ART ke MA itu,” papar Jurhum.
Pertanyaan mendasarnya, apa dan bagaimana posisi PD nanti. Apakah MA akan menyurati PD sebagai pemberitahuan atau sebagai para pihak.
Sebagaimana publik juga tahu bahwa dalam keluarga besar PD ada kampiun pengacara yang juga berjibun. Ada baiknya Andi Arif dapat musyawarahkan di internal PD dengan tim hukum mereka.
“Jadi tak relevan teriak sana sini melempar ocehan tak menyasar ke pokok persoalan, itu cuma jadi tambahan lelucon,” jelas Jurhum mengakhiri pernyataannya.(Irawan)