Legislator Golkar : Fokus Pembahasan RAPBN Itu pada Rencana Kerja, Bukan Rencana Anggaran

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin, dalam diskusi Forum Legislasi/sriwijayamedia.com-adjie

Sriwijayamedia.com – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin menyatakan bahwa fokus awal dari pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 bukan rencana anggaran, melainkan rencana kerja.

“RAPBN karena itu berasal dari rencana kerja anggaran, harus dilihat dulu adalah bagaimana kerjanya, bagaimana kinerjanya, tentu hal ini bagaimana kebijakannya, bagaimana programnya, bagaimana kegiatannya. Jangan langsung ke duitnya dulu, apalagi kita punya istilahnya, kan kita punya istilah itu tuh kalau ‘duit mengikuti kegiatan’ (money follow function),” kata Zulfikar, dalam diskusi Forum Legislasi bertema ‘Mengupas RAPBN 2025 Menuju Indonesia Maju’, diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Pemberitaan Parlemen DPR RI, di Gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Bacaan Lainnya

Zulfikar mengingatkan bahwa besaran APBN tahun 2025 yaitu sebesar Rp3500 triliun, harus diprioritaskan untuk penyelengaraan negara, bukan untuk penyelenggara negara.

Hal ini, menurut Zulfikar, dalam rangka menyerap tenaga kerja dan sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen.

“APBN itu jangan habis untuk penyelenggara negara, tetapi untuk penyelenggaraan negara. Karena itu ABPN harus berbasis pada program kerja,” tutur Zulfikar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies/Celios Nailul Huda mengatakan, ada sejumlah tantangan pembangunan bagi pemerintahan selanjutnya. Pertama, tantangan ekonomi yang kian berat.

“Pertumbuhan ekonomi pada 10 tahun terakhir tidak pernah mencapai target RPJMN. Hanya di tahun 2022 pertumbuhan ekonomi mencapai target APBN. Nilai tukar rupiah memiliki trend buruk dalam beberapa tahun terakhir. Nilai tukar rupiah terhadap dollar berada di kondisi keseimbangan baru yaitu Rp 16 ribu per USD,” ungkap Nailul.

Kedua, lanjut Nailul, deindustrialisasi prematur. Kinerja industri manufaktur Indonesia masih mengalami penurunan semenjak jaman milenium awal.

Ketiga, teknologi yang masih tertinggal. Keempat, pajak tidak optimal. Realisasi penerimaan yang buruk membuat tax ratio Indonesia memburuk. Tax ratio Indonesia lebih rendah dibandingkan negara Asean lainnya, dimana sudah lebih dari 13 persen.

“Kelima, hutang menggunung. Hutang pemerintah akan semakin bertambah ke depan walaupun masih dalam batas aman menurut UU. Keenam, inflasi menghantui. Tingkat inflasi saat ini sedang menuju ke tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Apabila tidak dikendalikan, maka bisa jadi kita berada pada tingkat inflasi pada 2013 dengan titik tertinggi adalah 8,79 persen. Hubungan yang terbentuk dari inflasi dan tingkat kemiskinan adalah positif. Setiap kenaikan 1 persen inflasi akan meningkatkan prosentase masyarakat miskin sebesar 0,688 persen,” jelasnya. (adjie)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *