Sriwijayamedia.com – Dalam keterangan pers yang disiarkan melalu kanal Youtube milik Sekretariat Negara RI pada Rabu 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan mengakui terjadinya sejumlah pelanggaran HAM Berat, termasuk pelanggaran HAM berat masa lalau (sebelum adanya UU Pengadilan HAM tahun 2000).
Selanjutnya presiden menyebut peristiwa yang dimaksud, yakni: peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998; peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999; peristiwa wasior di Papua 2001-2002; peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
Menyikapi hal itu, Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) Bandot DM menyatakan pihaknya menyambut baik pernyataan presiden yang telah mengakui adanya 13 peristiwa pelanggaran HAM Berat.
Namun, pihaknya tetap mengkritik itikad dan prosedur perundangan yang dilanggar presiden dalam membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial pelanggaran HAM Berat (TPPHAM).
“Kami menyayangkan, keputusan yang fenomenal ini berangkat dari rekomendasi tim yang dinilai inkonstitusional,” ujar Bandot.
Forum DKI mencatat Joko Widodo adalah Presiden pertama pasca reformasi yang secara terbuka dalam kapasitas sebagai Kepala Negara mengakui adanya peristiwa pelangaran HAM berat yang terjadi di masa sebelum pemerintahannya.
“Namun, kami sangat menyayangkan kalau kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan penyelesaian secara non-yudisial dengan cara menabrak UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM,” tutur Bandot.
Bandot mengaku sedari awal menolak pembentukan TPPHAM karena dinilai bertentangan dengan UU Pengadilan HAM, tetapi bisa diterima secara terbatas jika diposisikan sebagai organ internal konsultatif untuk konsumsi presiden.
Menjadi persoalan saat kemudian Presiden menyatakan akan memberikan kompensasi dan sejenisnya terhadap korban atas rekomendasi dari Tim ini. Sebab, dalam UU Pengadilan HAM jelas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya melalui jalur yudisial melalui Pengadilan HAM.
Dalam UU tersebut telah diatur tentang kompensasi, restitusi, rehabilitasi. Dalam pasal 35 jelas disebutkan (1) setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi; (2) kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. (3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
“Satu-satunya jalur non yudisial terbuka hanya untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu atau Pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum UU No 26/2000 diundangkan,” jelas Bandot.
Hal tersebut diatur di pasal 47 UU No. 26/2000. Di Pasal 47 disebutkan (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat
Yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.
“Dalam pernyataan pers kemaren, dari 13 peristiwa yang disebutkan oleh presiden, 10 di antaranya terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan,” urainya.
Catatan lain adalah penetapan pelanggaran HAM berat masa lalu mestinya juga mendapat persetujuan DPR. Dalam UU disebutkan Pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu mesti melalui usulan DPR.
“Kami mendorong Presiden untuk segera menerbitkan Perpu KKR untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu sesuai dengan amanah UU pengadilan HAM,” pinta Bandot.
Sementara untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU dibentuk, pihaknya mendorong agar Presiden memerintahkan dan mendesak Jaksa Agung untuk menyegerakan proses penyidikan dan segera mengajukan ke Pengadilan HAM. Dengan catatan untuk memasukkan unsur kompensasi, restitusi, rehabilitasi terhadap korban dalam tuntutan.
“Kritik kami ini untuk menghindari ketidak pastian hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM Berat. Selain itu, kami menilai ada jebakan konstitusional, baik bagi presiden maupun bagi korban. Apalagi jika kompensasi dibebankan ke APBN, jika tidak ada nomenklatur yang jelas dan bertentangan dengan UU, ini berpotensi menjadi bom waktu kasus korupsi di kemudian hari. Terutama jika negara ini kemudian dipimpin oleh rezim yang tidak mendukung penyelesaian pelanggaran HAM Berat,” paparnya.(Irawan)