Palembang, Sriwijaya Media – Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Sumsel Ir Agus Darwa, M.Si., menerima kunjungan kerja (kunker) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dalam rangka sharing sistem pengelolaan perkebunan sawit rakyat di Sumsel, Jum’at (27/5/2022).
Pertemuan ini dihadiri langsung Kepala Disbun Sumsel Ir Agus Darwa, M.Si., Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Babel Amri Cahyadi, ST., MM., dan anggota dewan, di Ruang Rapat II Kantor Disbun Sumsel.
“Kita mendapat suatu kehormatan dikunjungi DPRD Provinsi Kepulauan Babel. Mereka ingin sharing mengenai kelapa sawit dan turunannya. Dalam arti kata, mulai dari izin usaha, HGU, sampai produksi, dan pemasaran kelapa sawit,” ujar Kepala Disbun Sumsel Ir Agus Darwa, M.Si.
Dalam rangka penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), pihaknya mengacu ke Peraturan Gubernur (Pergub) tentang tim penetapan harga TBS yang dilaksanakan setiap 2 pekan sekali.
Tim tersebut terdiri dari tim ahli, tim teknis, perwakilan perusahaan berkisar 13 sampai 15 perusahaan, termasuk petani melalui wadahnya.
“Untuk menentukan harga TBS didasarkan hitungan secara kajian teknis, maka dikeluarkanlah ketetapan harga itu,” tuturnya.
Dia mengaku penentuan harga TBS dilakukan pada 19 Mei 2022 lalu. Kemudian harga TBS akan diumumkan pada dua pekan kedepan.
Dia beralasan kenapa harga TBS ditingkat petani anjlok karena akibat dari larangan ekspor hingga kondisi buah yang dijual oleh petani itu tidak baik.
“Contohnya kandungan rendemennya, kotoran itu mulai dari tandannya sendiri, jenis buah itu fraksi berapa, kalau di sawit ada 1, 2, 3, 4, 5, dimana fraksi satu itu buah sangat mentah. Kalau buah itu mentah ya tidak ada minyaknya. Mereka juga punya tim ahli yang tahu, ini harga itu berkurang. Tetapi bagi plasma atau kebun lainnya, yang memang sudah memasuki syarat atau standar TBS tidak terlalu banyak pengaruh harga turun,” jelasnya.
Dengan adanya pencabutan larangan ekspor, pihaknya bersyukur TBS di Sumsel sudah mulai membaik.
Hanya saja ada yang gejolak di tingkat petani mandiri atau swadaya yang tidak masuk didalam organisasi kelompok, maupun di plasma. Karena memang tidak ada ikatan dengan perusahaan, sehingga terlalu banyak istilah broker, calo-calo, atau pengepul yang membeli dengan harga semaunya.
“Tapi di pabrik tetap beli dengan harga yang ditetapkan. Dalam hal inilah kita mengawasinya,” tegasnya.(ton)