KPAI : Netizen Punya Peran Penguatan ‘Pengasuhan Bersama’ di Sosmed

Kadivwasmonev KPAI Jasra Putra/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Mempunyai anak dari seorang ibu yang aktif di sosial media (sosmed) tentu saja tidak terhindarkan seringnya anak terekspos di ruang terbuka. Implikasinya membawa konsekuensi setelah penahanan NM oleh Kejaksaan. Belum lagi persoalan pengalihan pengasuhan ketiga anak.

Tentu saja situasi ini memaksa NM melakukan pengalihan pengasuhan. Idealnya adalah orang yang biasa dipercaya anak, dan memang sudah tahu kondisi anak sejak kecil. Namun tentu saja ada pertimbangan dari keluarga NM agar anak mendapatkan kepentingan terbaiknya.

Bacaan Lainnya

Kadivwasmonev KPAI Jasra Putra menegaskan dalam Undang Undang Perlindungan Anak dan PP Pengasuhan Anak, upaya pengalihan pengasuhan dapat dilakukan dengan memperhatikan sampai derajat ketiga di keluarga sedarah (kindship care).

Namun bila anak telah memiliki pengasuhan yang telah berjalan sebelumnya oleh seseorang yang ditunjuk atau ditugaskan NM, tentu saja menjadi (foster care existing) penggantinya, meski dalam prosesnya harus ada keikutsertaan lembaga berwenang yang bisa diakses untuk ikut mengawasi, sebagaimana yang di mandatkan dalam PP Pengasuhan Anak.

“Seperti kehadiran Pekerja Sosial Anak, pendampingan dari Psikososial, Konselor anak yang selama ini bisa diakses atau di fasilitasi negara melalui UPTD PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Balai Kementerian Sosial,” kata Jasra, Kamis (27/10/2022).

KPAI mengingatkan penahanan NM oleh kejaksaan menyisakan persoalan bagi anak anaknya. Diketahui NM memiliki 3 orang anak yang masing masingnya memiliki orang tua berbeda.

Tentu saja ada aspek psikologis yang akan di hadapi anak kedepan, namun ini menjadi bagian proses pemasyarakatan yang saya kira telah di atur tersendiri oleh Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham.

“Namun yang sangat perlu perhatian public, alternatif mengasuh tidak hanya orang terdekat atau penggantinya, tapi ada pengasuhan bersama, dengan peran netizen untuk memiliki literasi yang baik kepada persoalan NM, agar tidak berdampak buruk kepada anak kedepannya,” terangnya.

Menurut dia, UU Perlindugan Anak meminta semua pihak tidak melibatkan anak dalam konflik orang dewasa, karena berbagai pertimbangan.

Mungkin hari ini anak tidak mendapatkan stigma langsung, tapi seiring mereka dewasa apalagi ibunya sangat aktif di medsos dan memilih isu satir, tentu jejak digital itu akan terbawa seiring anak bertumbuh dan berkembang. Mereka punya hak dilindungi dan dihindarkan dari situasi buruk pasca NM ditahan. Karena mereka memiliki hak masa depan.

“Ini menjadi prinsip dari konvensi hak anak terkait non diskriminasi, mengedepankan tumbuh kembang yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak dan mendengar suara anak. Bahwa kebutuhan anak di masa dekat ini adalah dihindarkan dari konflik, mendapatkan alternatif pengasuhan untuk sementara dan ada pengawasan perpindahan pengasuhan,” paparnya.

Pihaknya mengingatkan agar peristiwa ini juga menjadi perhatian para orang tua yang sering melibatkan anak di medsos. Apalagi membawa isu satir atau rentan. Bahwa orang tua dengan segala aktifitasnya di medsos perlu mempertimbangkan atau menjauhkan anak dari stigma, atas risiko aktifitasnya.

Karena anak kedepan akan terus membawa dokumen orang tuanya dalam segala aktifitas, sebagai persyaratan di ranah publik, sehingga bila jejak digital ini mudah dilihat, kemungkinan bully bisa terjadi.

Untuk itu, netizen harus memisahkan soal ini, dan tidak membully anak, memisahkan proses hukum dan kebutuhan menjaga kondisi kondusif anak dalam tumbuh kembang di masa depan.

Karena jejak digital ibunya yang aktif di medsos, dimasa depan, bisa saja membangkitkan trauma anak, meski saat ini anaknya masih kecil.

“Kita bisa melihat salah satunya anak artis yang memiliki klub sepak bola, kemudian nama anak digunakan untuk stigma klub sepak bola. Tentu ini sangat merugikan tumbuh dan kembang anak dan harus segera dihentikan. Begitupun peran yang berwenang penting dalam penegakan UU ITE sejak awal, bila ada yang masih menggunakan. Kita perlu membangun budaya media sosial yang lebih ramah untuk anak, salah satunya tidak melibatkan anak dalam konflik orang tuanya,” jelasnya.

Karena hal ini masih terus terjadi, seperti yang terjadi sebelumnya pada anak anak public figure yang orang tuanya berhadapan dengan hukum. Kasus kasus publik yang viral, tokoh publik, publik figure, mudah menjadi sorotan dan memang tak terhindarkan anak anak mereka akan terbawa ke sosmed akibat kasus tersebut. Informasi yang benar atau yang salah, tidak bisa ditahan di era sosial media.

Untuk itu pihak berwenang tidak mendiamkan informasi yang layak dan benar. Apalagi merupakan suara dari anak, penting segera merespon agar anak teredukasi. Disamping itu agar masyarakat tidak mudah grooming untuk berkomentar yang tidak benar.

Tentu saja, seringkali tak terhindarkan, karena menjadi industry viral, anak-anak NM bisa saja diundang program program siar. Apalagi bila NM mengijinkan menyuarakan situasi ibunya dari dalam tahanan.

“Suara anak tentu saja perlu di dengar, apalagi bila anak sudah punya akun media sosail, punya manajemen sendiri, mereka punya hak memyampaikan pendapat. Tetapi publik harus ingat, bagaimana daya tahan anak dengan terbuka di depan publik, tentu ada keterbatasan. Bagaimana anak mempertimbangkan ini, tentu butuh edukasi panjang. Hal tersebut berakibat anak belum memikirkan faktor resiko, karena hanya memikirkan apa yang ia lihat dan pahami, padahal dunia medsos sangat luas,” urainya.

Hal negatif bisa terjadi karena anak tidak dikapasitasi dengan baik, kemudian menyampaikan pendapat diruang yang tidak aman, apalagi kemudian pesan anak tidak direspon langsung ‘orang yang ditujunya’. Yang kedepannya menjadi persoalan tidak mudah untuk anak, setelah bersuara, dan bisa berdampak negatif. Yang paling dekat adalah dampak kejiwaan dan emosional yang kurang bisa dikuasai.

Untuk itu, syarat-syaratnya harus dipenuhi, agar anak tidak menjadi bulan bulanan orang yang tidak mengerti dan yang tidak memiliki perspektif perlindungan anak, memahami psikologi anak sesuai usia dan tumbuh kembangnya.

Tetapi bagaimanapun mereka punya hak menyuarakan dirinya. Namun tugas semuanya memberikan literasi dan pengenalan yang tepat untuk mereka. Agar pesan yang disampaikannya membawa makna.

Sehingga apa yang disampaikan anak bisa bermakna, baik bagi dirinya, orang lain dan pesan yang ingin dituju. Sehingga ada pihak orang dewasa yang memiliki tranggung jawab lebih menindaklanjuti apa yang disampaikan anak, sehingga anak mampu menyerap, menyaring dan memaknai dengan positif.

“Tentunya pendampingan orang tua sangat kuat menentukan pesan pesan positif untuk anak, anak memahami persoalan orang tuanya dengan positif, sehingga tidak berdampak buruk kepada sesuatu yang belum dipahaminya secara baik. Tentu tidak terhindarkan anak akan bertanya masalah orang tuanya, tapi tugas kita orang tua memberikan pemahaman yang baik dan sesuai usia serta tumbuh kembang anak,” imbuhnya.(Santi)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *