Kayuagung, Sriwijaya Media – Jangan bilang anak muda sekarang ogah turun ke sawah. Hal itu dibuktikan oleh Novriansyah (35), seorang petani milenial asal Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Novriansyah mampu menghasilkan beras organik dari pupuk yang dibuat sendiri.
Novriansyah mengaku bahwa peralihan pupuk kimia ke pupuk organik baru dijalaninya sekitar 4 tahun terakhir dengan luasan lahan yang digarap sekitar satu hektar.
“Jadi sampai sekarang lahan yang benar-benar full organik seluas seperempat hektar. Sisanya ¾ hektar statusnya masih semi organik,” ujar Novri, saat ditemui Selasa (12/7/2022).
Menurut dia, diawal pemberian pupuk organik memang terdapat kendala yang dirasakan karena hasil panen jauh menurun.
Pada tahun pertama, peralihan pemberian pupuk organik satu hektar hanya menghasilkan sekitar 4 ton gabah kering giling (GKG).
Tetapi di tahun kedua, dan ketiga terlihat progres positif. Hingga ditahun keempat sudah kembali normal seperti saat memakai pupuk kimia yaitu 6 -7 ton.
Dia mengatakan kedepan bakal ada penambahan jumlah lahan yang akan menerapkan pemupukan secara organik.
“Insha Allah kedepan ada penambahan dari lahan persawahan milik tetangga kiri maupun kanan. Ada sekitar 7 – 8 hektar,” akunya.
Dia mengaku beras organik memiliki kualitas bagus dengan rasa yang lebih segar dan wangi. Apalagi sudah dijamin lebih sehat untuk dikonsumsi.
“Kalau untuk sementara ini, rata-rata langganan yang membeli beras ini hanya sebatas orang kantor ataupun warga yang mapan. Kalau masyarakat ogah beli beras ini dikarenakan harga jual lebih mahal yaitu Rp 15.000 per kilogram,” terangnya.
Menurut dia, cukup sulit beradaptasi terhadap lahan yang sebelumnya diberi pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik. Karena kadar residu dari zat-zat kimia yang telah tercampur kedalam tanah.
“Masalahnya banyak lahan-lahan disini yang masih sakit. Jadi kita harus cari lahan yang sehat atau bukaan baru. Kalau lahan lama sudah terlalu banyak residu dari zat-zat kimia, jadi agak susah untuk proses organiknya,” jelasnya.
Berbekal pengalaman dan pelatihan yang telah diikuti selama ini, Novri mampu membuat sendiri 4 macam jenis pupuk cair dan 1 macam pupuk padat dengan bahan-bahan utama yang didapatkan dari sekitar rumahnya.
Mulai dari pupuk padat bernama kohe, pupuk cair urea, fosfat, pengganti KCL, dan pupuk PGPR.
Dia menyebut adapun bahan pembuatan pupuk organik cair (POC) urea yaitu rumput-rumput lalu dicacah dan ditambahi dengan gula cair dan bakteri EM4 serta menunggu difermentasikan selama sekitar 15 – 30 hari.
“Lalu POC fosfat dengan bahan bonggol pohon pisang kemudian dicacah halus dan diberikan molase (gula cair) serta tambahkan bakteri EM4 secukupnya. Kemudian tunggu selama 1 bulan,” paparnya.
Untuk pupuk pengganti KCL bisa diolah dari serabut kelapa dicacah lalu diberi air tambahkan juga gula cair dan riberi bakteri EM4 dan fermentasi selama 1 bulan.
Terakhir pembuatan POC PGPR sedikit ribet bahannya yaitu dari akar-akar bambu, akar putri malu atau akar pisang yang banyak mengandung bakteri. Lalu dicampur air matang dan direndam selama 5 hari setelah dapat biangnya barulah dicampur dedak yang sudah direbus dan tambahkan terasi serta campurkan dengan gula cair. Kemudian tunggu selama 15 – 30 hari baru siap disemprotkan.
Dengan sistem pembuatan pupuk organik ini, dirinya dapat melakukan penghematan biaya perawatan sawah miliknya.cDimana seluruh pembuatan POC tersebut hanya membutuhkan molase (gula cair) dan bakteri EM4.
“Jadi hanya dua bahan yang dibeli yaitu gula cair per liter Rp 20.000 dan bakteri EM4 per botol hanya Rp 35.000. Sedangkan bahan baku lainnya bahan dari sekitar atau mudah didapat,” imbuhnya.
Dia berharap agar pemerintah ataupun pihak terkait dapat membantu dari segi pemasaran beras organik tersebut. Agar lebih banyak petani yang beralih memakai pupuk organik.
“Kalau bisa kami ini diarahkan dimana tempat penjualan beras organik ini serta diberikan bantuan untuk mengurus izin untuk mendapatkan label beras organik dan Standar Nasional Indonesia (SNI),” harapnya.(jay)