Sriwijayamedia.com- Dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI ke 78, Pemuda Merapi Area melakukan aksi menyuarakan kerusakan ekologi, bertema “Merdekakan kami dari debu batubara, kembalikan hak kami atas lingkungan yang sehat dan bersih yang telah dirampas“, di Desa Muara Maung Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Rabu (16/8/2023).
Ketua Pelaksana Reza Yuliana mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk menyuarakan penderitaan yang terjadi di Merapi Area. Dimana saat ini masyarakat masih dijajah oleh oligarki.
Dia menganggap Merapi Area belum merdeka, terutama dalam “hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat“.
“Sejak masuknya pertambangan batubara pada tahun 2009, udara di Merapi perlahan memburuk. Perusahan pertambangan batubara, khususnya di Merapi Barat telah beroperasi 14 tahun lalu dari tahun 2009- 2023. Akibatnya kualitas udara makin parah. Debu batubara yang dihasilkan dari angkutan batubara berton-ton melintas setiap hari di Lahat sangat meresahkan. Sebagai pemuda pribumi, kita harus lantang menyuarakan penindasan dan kita harus melawan,” ujar Reza Yuliana.
Dia menyebut Merapi Area terdiri dari 3 kecamatan yaitu Merapi Timur (14 desa) ; Merapi Barat (19 desa) dan Merapi Selatan (11 desa).
Di Merapi Area ada sekitar 50 perusahaan Tambang batubara dan 2 PLTU berskala nasional yaitu PLTU Keban Agung dan PLTU Banjar Sari.
Menurut dia, dampak buruk yang disebabkan oleh tambang dan PLTU yaitu dampak lingkungan dan kesehatan.
Dikarenakan risiko kesehatan itu berdasar jenis kegiatan pertambangan yaitu penambangan dalam tanah dan terbuka.
“Tambang batubara menghasilkan banyak debu yang jika terhirup dapat menyebabkan flek hitam di paru-paru pekerja atau orang lain yang tinggal diwilayah sekitar. Peledakan dan pengeboran dalam proses pertambangan juga menghasilkan mineral halus pada debu yang bisa terhirup dan menumpuk di paru-paru sehingga jadi penyebab pneumokoniosi,” rincinya.
Dia melanjutkan dampak besar lingkungan yang dihasilkan oleh pembakaran batubara untuk energi listrik bertentangan dengan Undang-Undang No 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH).
Bahkan di dalamnya telah diatur dengan jelas bahwa pembangunan tidak boleh mementingkan kepentingan investor semata. Pembangunan juga wajib mempertimbangkan kehidupan sosial masyarakat, flora dan fauna karena itu sangat berkaitan dengan kelangsungan sebuah kehidupan.
Menurut Amdal PT MAS dan PT BAU, perusahan tambang batubara dengan jumlah data ada sekitar 1.323 jiwa di Merapi Barat II tahun 2011.
Sementara Amdal PLTU Keban Agung tentang dampak buruk bagi kesehatan masyarakat ada sekitar 10 jenis penyakit (ispa, diare, gratritis, penyakit pada sistem otot dan jaringan, infeksi penyakit usus, penyakit mata, kulit, kecelakaan, tekanan darah tinggi dan penyakit lainnya)
Dari jenis penyakit tersebut, penyakit ispa berada diurutan pertama dengan jumlah data ada sekitar 1.739 jiwa (berdasar data Puskemas Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat Tahun 2017).
Padahal jelas diatur dalam UU, dan adanya PP 22/2021 tidak menggugurkan kewajiban pemerintah dalam menjamin lingkungan hidup bagi masyarakat.
Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
“Setiap hari masyarakat Merapi Area menghirup udara kotor debu batubara. Berapa lama kami harus menderita akibat debu batubara,” papar Sumhayana, salah satu masyarakat Kecamatan Merapi Barat.
Dia berharap Bupati Lahat dapat menindaklanjuti persoalan debu ini jangan sampai memakan korban jiwa.
Selain itu, pihaknya juga meminta agar kendaraan angkutan batubara tidak lagi melintas di jalan raya.
“Ini jalan negara, bukan jalan perusahan tambang batubara dan pemangku kebijakan harus tegas menindaklanjuti masalah ini,” geramnya. (Sisil)