Ketua MKMK : Pembahasan Revisi UU MK Sebaiknya Dilakukan DPR Periode 2024-2029

Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie/sriwijayamedia.com-adjie

Sriwijayamedia.com – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Ashiddiqie menyarankan, pembahasan revisi RUU Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan oleh para anggota DPR RI periode 2024-2029 mendatang.

Hal ini disampaikan oleh Jimly, menyikapi pembahasan RUU MK yang dilakukan DPR, menuai kontroversi dikarenakan pembahasannya yang dilakukan pada masa reses.

Apalagi RUU MK ini pun tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2024.

“Ya, saya rasa ini kan karena agenda yang lama, salahnya kan mengapa ditunda mestinya ditolak saja karena tidak keperluan sebetulnya. Apalagi kan sekarang pilpres sudah selesai dan diketahui siapa pemenangnya. Sebaiknya yang seperti ini diserahkan saja pada anggota DPR periode mendatang,” kata Jimly kepada wartawan di Gedung Nusantara V, MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5/2024).

Jimly menjelaskan, lebih baik RUU MK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 karena telah beredar isu, kalau revisi RUU MK telah dipolitisasi.

“Seharusnya RUU MK itu masukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 kan bisa, tidak usah sekarang untuk apa. Apalagi itu kan bisa dipersepsi macam-macam seakan-akan mau mengerjai salah satu atau dua orang hakim MK untuk diberhentikan. Nah hal itu kan jadi politis,” kata Senator DPD asal Sumsel ini.

Jimly mengaku khawatir kerja-kerja MK yang maraton sebagai pengadil terakhir persengketaan pemilu maupun pilkada akan terganggu dengan adanya pembahasan revisi RUU MK ini.

“Jadi tidak ada keperluannya, apalagi MK kan sudah menjalankan tugasnya sebagai pengadil terakhir hasil Pemilu 2024 di mana pada 20 Juni mendatang baru selesai, nanti dilanjutkan lagi dengan Pilkada serentak 2024. Jadi kerja maraton mereka itu jangan diganggu dengan isu-isu politik teknis yang medioker, tidak penting itu,” ungkap Jimly.

Namun demikian, lanjut Jimly, dirinya mengakui bahwa revisi RUU MK tetap diperlukan.

“Bukan berarti revisi RUU MK ini tidak perlu ya, kan ada perubahan paradigma pada rekruitmen sistem hakim konstitusi yang dulunya periodisasi 5 tahunan sekarang ini diubah menjadi usia, yakni 55-70 tahun, tetapi dibatasi hanya 10 tahun. Nah prinsip ini bagus supaya rekruitmen hakim konstitusi itu tidak terganggu oleh dinamika politik 5 tahunan sehingga baik untuk independensi,” pungkas Jimly.

Jimly menegaskan, pemerintah dapat saja menolak revisi RUU MK ini meskipun telah disahkan oleh DPR.

“Tergantung pada pemerintah. Itu ada UU tentang Pelabuhan Bebas Batam. Sudah diketok palu oleh DPR tapi dalam pidato terakhir di rapat paripurna DPR RI, Menperindag Rini Soewandi dalam pidatonya menyampaikan pemerintah tidak setuju dengan UU ini walaupun DPR sudah ketok palu tidak bisa diundangkan karena tidak persetujuan yang lama. Jadi posisi pemerintah itu kuat sekali untuk menyatakan yes or no,” jelas Jimly. (adjie)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *