AMP KK dan FRI WP Kecam Tindakan Rasis Terhadap Pelajar ADEM Jember

IMG_20220207_193301

Jember, Sriwijaya Media – Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP KK) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) mengecam tindakan rasis terhadap pelajar ADEM Jember dan dapat menghentikan kriminalisasi terhadap kawan Nyamuk Karunggu (NK) serta seluruh mahasiswa Papua.

“Kami juga mengecam aparat Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap kawan Nyamuk Karunggu,” kata Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP KK) Lombok Nyamuk Karunggu (NK), Senin (7/2/2022).

Berdasarkan kronologi panjang yang dirangkum, kawan NK didatangi dua (2) orang Satpam Kampus di pintu kamarnya. Lalu mengajaknya ke rektorat kampus untuk melakukan audiensi dengan rektor terkait dengan pengibaran Bendera Bintang Kejora dan Bendera Organisasi AMP serta orasi politiknya yang mengkritik rezim dalam aksi mimbar bebas tersebut di halaman depan Gedung Rektorat Unram yang berlangsung pada 1 Februari 2022, pagi.

Aksi tersebut dilakukan dalam rangka perayaan 1 tahun berdirinya organisasi AMP Lombok.

Kemudian, sudah ada 2 motor milik polisi dan satu buah mobil Avanza putih di halaman asrama saat NK di ajak ke rektorat untuk audiensi.

Selanjutnya pihak kepolisian melakukan pemukulan terhadap kawan NK, bahkan dimaki dengan ungkapan rasis, barang-barangnya juga disita, termasuk handphone miliknya saat sebelum dibawa ke rektorat.

Selanjutnya NK dipaksa masuk ke dalam mobil dan dibawa ke gedung rektorat yang jaraknya sangat dekat dari asrama. Polisi berjumlah 30-an orang dan 10 orang sekuriti kampus bersama pejabat universitas, juga rektor Universitas Mataram (Unram), sudah menunggu NK di sana.

Selanjutnya NK dilarang turun dari mobil. Kemudian polisi melakukan diskusi dengan pihak pejabat kampus selama beberapa menit. Lantas audiensinya tidak terjadi. NK justru dibawa ke Polda NTB.

Sesampai disana NK langsung di interogasi oleh kepolisian. Ironisnya, NK ditanya dengan beberapa pertanyaan yang sangat diskriminatif dan rasis:

“kakak sudah minum mabuk atau belum?”; “Ayo kita minum mabuk kakak, mau cewek nggak” ; “Kakak bisa bahasa Indonesia gak?” ; “Kakak rambutnya itu kenapa?”.

Namun NK tak mau menjawab beberapa pertanyaan diatas. NK bahkan menyadari bahwa ia di tangkap satuan kepolisian tanpa surat tugas dan bahkan mereka tak menunjukan surat penangkapannya.

Lantas ada pelanggaran atas tidak dihargai dan menjunjung tinggi hak NK untuk melihat, membaca lalu memutuskan untuk menerima atau menolak surat penangkapan tersebut.

Bahkan TNI/Polri masuk ranah kampus dan rektor tak memberikan pernyataan bahwa konstitusi melarang TNI/Polri berada di ruang otonomi kampus atau rana akademik.

Rektor dan pejabat kampus Unram membiarkan NK ditangkap secara sewenang – wenang. Terkesan bahwa rektor mengizinkan NK ditangkap dari halaman kampusnya.

“Tentu kami menyadari bahwa universitas tak bisa membiarkan TNI/Polri menangkap mahasiswanya dengan alasan yang bersifat politis. Unram sedang mendorong dunia pendidikan yang anti kritis. Tak ada lagi pemikiran kritis ketika kampus menjdi basis pemikiran militeristik, yang otoriter,” paparnya.

Dampaknya, diskriminasi rasial terus dipelihara dalam wajah negara yang bernama kolonialisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tindakan penangkapan secara sewenang-wenang, hingga interogasi NK dengan dasar pikiran rasis.

Bahkan pertanyaan bernada diskriminatif pun terjadi saat diinterogasi. Sehingga dengan ini rasisme terus tumbuh dan berkembang biak.

Sebelum di Lombok, kejadian rasisme terjadi di SMA Pakusari Kabupaten Jember pada 26 Januari 2022 di dalam kelas oleh seorang pengajar. Korbannya adalah pelajar asal Papua yang sedang mengikuti program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM).

Tahun 2016 dan 2019 aparat dan kelompok premanisme mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta dan Surabaya. Mahasiswa Papua yang tinggal didalamnya diteriaki “Monyet” dan makian merendahkan lainnya oleh aparat dan berbagai ormas reaksioner, karena difitnah menjatuhkan bendera Indonesia ke dalam parit serta penahanan obby kogoya di Yogyakarta.

Praktik rasisme terhadap rakyat Papua juga ditingkatkan beberapa tahun terakhir terus meningkat hingga sampai detik ini. Sejak kolonialisme Indonesia Aneksasi West Papua, kekayaan alam Papua tidak hanya dikeruk habis-habisan, namun masyarakatnya juga menjadi sasaran rasisme.

Rakyat Papua yang belajar diberbagai daerah luar papua sering mengalami diskriminasi. Tak jarang mereka disamakan dengan binatang.

“Kami menyadari bahwa rasisme dan atau apa pun bentuk tindakan diskriminatif secara rasial, merupakan anak kandung dari kolonialisme.

Sebab kenyataannya West Papua merupakan wilayah yang dikoloni oleh Indonesia di abad 21 ini. Lagi-lagi sejarah ketertindasan West Papua menjelaskan bahwa Kolonialisme Indonesia merupakan jalan terbaik untuk akses kapital nasional dan Internasional. Oleh karena itu, alasan mengapa rasisme selalu subur di setiap negeri koloni,” jelasnya.

Maka dengan itu, solidaritas dan persatuan ini perlu diperluas di antara rakyat tertindas.

Pihaknya Kita tidak bisa melawan rasisme dengan berharap kepada penguasa, karena sepanjang sejarah mereka yang justru memelihara dan memproduksi prasangka rasialis ini untuk memecah-belah Rakyat tertindas.

Mobilisasi massa untuk mempertahankan diskusi, seminar, penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, dan melawan diskriminasi terhadap kaum minoritas lainnya perlu dilancarkan.

Sebab hanya dari tangan rakyat tertindas itu sendiri, kehidupan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Dengan melihat tindakan diskriminasi rasial yang terus terjadi serta penangkapan brutal yang dilakukan oleh Aparatus Negara Kolonial Indonesia.

“Kami Aliansi Mahasiswa Papua, menyatakan sikap Negara, dalam hal ini kepada Kepolisian Republik Indonesia, Polda NTB, segera menangkap dan adili satuan kepolisian yang menangkap kawan Nyamuk tanpa prosedur hukum ; tarik TNI/Polri dari ruang otonomi Kampus Unram ; berikan dan dan lindungi hak bebas beraktivitas sebagaimana manusia yang memiliki hak kodrat untuk bebas, termasuk kebebasan memperoleh ilmu di kampus, berorganisasi dan hak menyampaikan pendapat di muka umum,” tuturnya.

Bukan itu saja, pihaknya meminta segara tangkap dan adili pelaku rasial yang mengungkapkan kata diskriminasi saat Nyamuk sedang diinterogasi di Polda NTB.

Lalu mengutuk keras Rektor Unram yang mendukung penangkapan ketua AMP KK Lombok ; mengutuk keras birokrasi kampus Unram atas diberikannya izin militer untuk masuk dalam kampus ; kembalikan barang-barang yang diambil oleh Polda NTB di asrama kawan nyamuk tanpa syarat, berupa bendera bintang kejora 1, bendera AMP 1, noken papua 1, buku yang berjudul (mengapa kami sosialisme, marxisme, dokter revolusioner, hukum internasional), baliho, 2 buah poster (yang satu bertulis TPNPB-OPM bukan teroris, yang satunya lagi soal segera bebaskan Viktor Yeimo karena dia korban rasisme bukan pelaku) dan kunci asrama.

“Segera adili pelaku rasis guru SMA Pakusari Kabupaten Jember sekarang juga ; stop rasis dan diskriminasi terhadap pelajar dan mahasiswa Papua ; berikan hak kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri melalui mekanisme yang sangat demokratis, yakni referendum,” ucapnya.(santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *