Jakarta, Sriwijaya Media – Menyoroti secara tajam proses penentuan Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang tidak diselenggarakan secara akuntabel dan demokratis, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar siaran pers via Zoom Meeting dan Live YouTube pada Jum’at (27/5/2022).
Siaran pers dihadiri oleh Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandra, Peneliti KontraS Rozy Brilian, dan Koordinator Divis Korupsi Politik ICW Egi Primayoga.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandra mengatakan bahwa penentuan Pj dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah di Indonesia selama ini tidak berlangsung secara terbuka atau dengan asas-asas umum pemerintahan.
“Kami melihat bahwa penentuan Pj dan Plt Kepala Daerah di Indonesia selama ini tidak berlangsung secara terbuka atau dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti asas keterbukaan, profesionalitas dan akuntabilitas. Kami menduga akan melahirkan potensi konflik kepentingan baik dalam proses penentuan, pengangkatan sampai dengan mereka terpilih nantinya,” tuturnya.
Menurut Rivanlee, pihaknya tidak menemukan indikator dan alat kunci yang bisa menentukan bahwa seseorang dapat menduduki posisi-posisi tertentu untuk menduduki posisi Kepala Daerah yang kosong hingga tahun 2024.
“Hal ini bisa terlihat dari nama-nama yang terpilih dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menempati posisi-posisi tertentu di daerah-daerah tertentu,” akunya.
Dia mengilustrasikan seperti dipilihnya Ridwan Jamaludin selaku Dirjen ESDM menjadi PJB Gubernur Bangka Belitung dan pengangkatan dari Brigjen Andi Candra Alsajudin sebagai Plt Bupati Serang bagian barat.
Dari sejumlah nama diatas, hingga sampai saat ini kami tidak menemukan indikator dan alat kunci yang bisa menentukan bahwa seseorang dapat menduduki posisi-posisi tertentu untuk menduduki posisi Kepala Daerah yang kosong hingga tahun 2024.
Dia menambahkan bahwa penunjukan kepala daerah saat ini sudah tidak memperhatikan Peraturan Perundang-Undangan.
“Hal ini menjadi perhatian kami bahwa ketidakpatuhan sejumlah persoalan administratif baik dalam asas-asas pemerintahan yang baik atau secara etik, menunjukkan bahwa pelantikan atau penentuan nama-nama untuk menduduki posisi kepala daerah tidak memerhatikan keberadaan peraturan perundang-undangan secara seksama,” terangnya.
Oleh karena itu, KontraS bersama ICW mendesak pemerintah pusat dalam hal ini Presiden menginstruksikan Kemendagri untuk memperbaiki tata kelola penunjukan pejabat kepala daerah agar diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan profesional sesuai dengan AUPB.
Kedua, Mendagri harus membatalkan penempatan TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan juga hanya akan membangkitkan hantu dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada orde baru. Ketimbang menjadi Pejabat Kepala Daerah, fokus utama lebih baik diperuntukan untuk memperbaiki institusi yang masih memiliki pekerjaan menumpuk.
Ketiga, Mendagri membuka informasi pertauran teknis sebagai turunan pasal 201 UU Pilkada dan seluruh dokumen mengenai proses pengangkatan penjabat Gubernur yang telah dilantik.Keempat, Ombudsman RI untuk menyatakan maladministrasi tindakan pemerintah untuk menempatkan TNI/Polri sebagai Penjabat Kepala Daerah. Sebab melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti UU TNI, Polri, ASN dan Pmeilihan Kepala Daerah.
Kelima, lembaga pengawas pemerintah seperti DPR maupun aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mencermati seluruh langkah penunjukan Pj Kepala Daerah guna menghindari adanya muatan konflik kepentingan, terlebih dalam tindakan yang menyeret TNI-Polri untuk terlibat pada ranah sipil, seperti Pj Kepala Daerah.
Sementara itu, Peneliti KontraS Rozy Brilian menyampaikan pandangannya terkait kerentanan demokrasi karena adanya konflik kepentingan.
“Netralitas Polri berbuntut kerentanan demokrasi yang dipertaruhkan padahal usia reformasi sudah menginjak 20 tahun. Usulan ini menggangu semangat untuk mendorong lahirnya institusi dan anggota Polri profesional, modern dan tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi. Dua perwira aktif Polri yang diusulkan menjadi Plt Gubernur di dua wilayah juga memiliki bakal calon pemimpin daerah asal Polri dan TNI,” tukasnya.
Keputusan yang diambil Kemendagri, lanjut dia, merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan dwifungsi TNI/Polri seperti zaman Orde Baru.
“Keputusan yang akan diambil Kemendagri tentu saja problematik dan merupakan pembangkangan dari semua peraturan perundang-undangan secara normatif karena pada hakikatnya Kepala Daerah merupakan jabatan sipil sehingga pengisian jabatan tersebut oleh TNI-Polri merupakan pelecehan terhadap agenda supremasi sipil. Institusi TNI-Polri belum berhasil lepas dari kultur kekerasan sehingga masih mudah menemukan aparat melakukan pelanggaran HAM, penggunaan kekuatan secara berlebihan, penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku korupsi. Dalam hal penunjukan TNI/Polri sebagai pejabat Kepala Daerah merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru,” bebernya.
Rozy mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan pada penunjukan pemimpin Kepala Daerah yang tidak melalui Pemilu.
“Kami mengkhawatirkan momentum ini dimanfaatkan pemerintah yang berkuasa saat ini untuk mengamankan sejumlah agenda, sehingga penunjukkan beberapa orang wajar jika dicurigai bermuatan konflik kepentingan. Seperti contoh Ridwan Djamaluddin dan Paulus Waterpauw. Ridwan Djamaluddin yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Minerba ESDM melesat karirnya dibawah Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. Kuat dugaan bahwa penunjukan ini kental akan campur tangan Luhut dan relasinya dengan pengelolaan tambang di Bangka Belitung sebagai daerah penghasil timah terbesar. Kemudian pengangkatan Paulus Waterpauw yang berkelindan dengan kedekatan Paulus dengan Mendagri, Tito Karnavian yang keduanya berasal dari Polri. Keputusan menunjuk Paulus Waterpauw sebagai pejabat Gubernur Papua Barat hanya akan memperlihatkan semakin kuatnya pengaruh pemerintah pusat di tanah Papua beserta nampak adanya relasi terkait dengan kepentingan investasi di Papua, pemaksaan keberlakuan Otsus dan DOB,” jelasnya.
Koordinator Divis Korupsi Politik ICW Egi Primayoga menambahkan bahwa pengangkatan Kepala Daerah saat ini sudah bermasalah sejak awal.
“Proses pengangkatan atau pemilihan Kepala Daerah ini harus kita lihat memiliki masalah sejak awal karena kalau kita lihat pada Konstitusi Negara Republik Indonesia pasal 18 ayat 4 sudah tertera secara jelas bahwa para Kepala Daerah dipilih secara demokratis.
Namun pengangkatan pejabat ini jauh dari kata demokratis dalam pengertian tidak terbuka prosesnya, siapa yang bertanggungjawab secara pasti sehingga ini bertentangan dengan semangat konstitusi.
Selain itu, Egi mengkhawatirkan praktik tersebut menghasilkan kasus korupsi di lingkup pemerintahan.
“Kita ingat bahwa anggaran daerah itu rawan menjadi bancahan dan sumber daya daerah seperti sumber daya alam sangat besar sehingga tidak heran kalau posisi pejabat Kepala Daerah menjadi rebutan. Ketika posisi pejabat Kepala Daerah tersebut menjadi rebutan, maka potensi politik transaksional akan terbuka lebar, siapa menitip apa, pendapat apa, timbal balik seperti apa. Prosesnya memang seperti pemilihan Kepala Daerah namun lebih singkat dan mudah serta tertutup. Ini sangat riskan karena regulasi-regulasi daerah dapat dibajak untuk menguntungkan pihak tertentu tanpa kita awasi betul-betul. Tentunya kasus seperti ini berujung pada maraknya kasus korupsi atau tindakan koruptif dan juga kerugian publik secara lebih luas,” ulasnya.(kemal/santi)