KAYUAGUNG-Bupati OKI, H Iskandar, SE mengapresiasi adanya perjanjian kerjasama antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) di Sumsel dalam hal kesepahaman terkait penanganan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kerjasama ini memberikan angin segar bagi ASN dan Kepala Daerah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.
“Dengan adanya perjanjian kerjasama APIP dan APH ini jelas memberikan jaminan ASN dan Kepala Daerah dalam bekerja, namun bukan bermaksud berlindung dengan sebuah kesalahan,” kata Bupati OKI H Iskandar, Kamis (11/7).
Inspektur Inspektorat OKI, Endro Suarno menekankan bahwa koordinasi APIP dan APH tidak ditujukan melindungi tindakan kejahatan ataupun membatasi APH dalam penegakan hukum.
”Pendekatannya adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan upaya akhir dalam penanganan suatu permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” ujar Endro.
Dengan adanya MOU ini, Inspektorat siap berkoordinasi, terlebih sudah ada PKS antara APIP dan APH.
Diketahui, APIP dengan APH di Sumsel melakukan kesepahaman terkait penanganan laporan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kesepahaman dituangkan dalam PKS ditandatangani Gubernur Sumsel, Kapolda, Kajati bersama Bupati dan Kapolres serta Kajari se Provinsi Sumsel di Griya Agung, Kamis (12/7).
Insprektur Jenderal (Irjend) Kemendagri Sri Wahyuningsih mengatakan, penyamaan persepsi ini merupakan tindaklanjut dari nota kesepakatan yang telah ditandatangi Kemendagri, Jaksa Agung dan Kapolri terkait pengawasan dan penindakan kasus korupsi melibatkan ASN dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, terkhusus terhadap tugas yang bersentuhan langsung dengan keuangan negara.
Dalam MoU itu dijelaskan bahwa ketiga pihak yaitu Kemendagri, Kejagung, dan Polri, sepakat saling tukar menukar data atau informasi laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi pada tindak pidana korupsi.
“Prinsipnya semua laporan masyarakat mesti ditindaklanjuti oleh APIP dan APH, sepanjang data identitas nama dan alamat pelapor serta laporan dilengkapi dengan bukti pendukung berupa dokumen terang dan jelas,” ujarnya.
PKS ini, lanjut Sri, penting mengingat sejak gencarnya penanganan kasus korupsi di Indonesia, para Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan bendahara di daerah banyak yang takut untuk melaksanakan suatu kegiatan. Sehingga, perlu adanya kebijakan dan regulasi untuk memberikan jaminan atas pekerjaan yang dilakukan.
Untuk itu, pihaknya mengharapkan agar PKS ini dapat segera diimplementasikan di jajaran kewilayahan sehingga target pembangunan di daerah tercapai. Namun, adanya MOU bukan berarti melindungi kejahatan, melindungi koruptor.
“Jadi jelas batasan-batasan yang disepakati di dalam perjanjian ini, utamanya soal batasan laporan yang berindikasi administrasi atau pidana,” tandasnya.
Laporan yang berindikasi administrasi, apabila tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah. Apabila terdapat kerugian keuangan negara/daerah, namun telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK sifatnya tetap kepada indikasi administrasi.
Namun, jika ada indikasi tindak pidana korupsi, APIP bisa menyerahkan laporan itu ke kejaksaan atau kepolisian (aparat penegak hukum/APH) untuk penyelidikan. Sebaliknya, jika kejaksaan atau kepolisian menemukan kesalahan administrasi, maka APH bisa meneruskan ke APIP.(abu)