Jakarta, Sriwijaya Media – Pandemi covid 19 belum reda dan roda ekonomi belum berjalan normal. Gelombang bangkrut masih berlanjut dan bisnis sektor riil dan finansial masih baru siuman dari pingsan panjang bahkan baru bangkit dari mati suri.
Sementara bisnis disektor agro dan kelautan pun masih tertatih akibat banyak negara pengekspor ikan maupun pengimpor ikan mandek akibat dampak pandemi Covid 19.
Sementara itu, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia dari dulu selalu shortfall alias defisit melulu, akibat pemasukan pajak sebagai satu satunya sumber utama alias tulang punggung (85%) APBN tidak pernah memenuhi target ditetapkan.
Hal demikian diutarakan oleh Ketua Umum Perhimpunan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN) Pusat Petrus Loyani, SH., MH., MBA., Sabtu (2/10/2021).
Dikatakan Petrus Layoni, padahal untuk kebutuhan dana pemerintah makin besar terutama untuk membayar utang pemerintah yang tiap tahun makin besar sekarang sudah capai sekitar Rp7.000 triliun, maka jalan paling gampang yang ditempuh untuk mengatasi hal itu adalah dengan gali lobang tutup lobang alias utang ditutup dengan utang dan genjot pajak dari rakyat. Sekali lagi ini memang solusi yang paling gampang.
“Kayaknya pemerintah sekarang tidak berani kreatif sedikit atau bahkan tidak berani melakukan diskresi terukur. Misalnya dengan melakukan imbal prestasi antara investasi raksasa diatas Rp50 triliun dengan pemberian stimulus tax allowance. Misalnya dengan pengenaan tarif 5% utk PPh badan selama 25 tahun pertama investasinya, tetapi seluruh laba perusahaan 100% selama 25 tahun itu harus dilock (diputar kembali) di Indonesia atau dengan pinjam pakai lahan dalam jangka waktu lebih lama dari masa HGU,” tuturnya.
Kemudian, selama 120 tahun, tetapi selama 60 tahun seluruh laba perusahaan harus dilock (diputar kembali) di Indonesia.
Dia pun bertanya mengapa jalan yang ditempuh selalu utang dan genjot pajak dari rakyat? Utang pun ujung-ujungnya yang menanggung adalah rakyat.
Pajak memang memiliki dua fungsi budgetair dan reguleren. Dua-duanya memang bisa dimainkan pemerintah dalam rangka kebijakan publik, tetapi harus diingat dua fungsi itu untuk alasan apapun harus dijiwai dan diukur dengan tiga prinsip hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi segenap rakyat.
“Ukuran kepastian hukum mengandaikan keberlakuan kebijakan publik harus diukur secara kuantitatif, tidak hanya kualitatif seperti yang selama ini dipakai dalam dunia hukum Indonesia. Artinya kata kepastian dalam hukum atas kebijakan publik harus diukur secara kuantitatif yang dalam konteks demokrasi dan welfare state harus ada angka yang jelas berapa jumlah penduduk yang sudah berada dalam strata yang dikatakan Montesque “utile” alias menengah atas dengan income percapita yang sudah jauh diatas PTKP dengan kemampuan daya beli (purchasing power),” terangnya.
Masih menurutnya, akan kebutuhan primer dan gaya pikul (ability to pay taxes) yang mantap dalam arti kemampuan bayar pajak sebagai akibat ekses dari kebutuhan minimum keluarganya sudah lebih dulu terpenuhi.
Persoalan bagi Indonesia adalah koefisiensi gini atau gini ratio (gap kaya miskin) masih sangat lebar nyaris tak terseberangi.
Faktual masih puluhan juta rakyat Indonesia masih ngos-ngosan napasnya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Sementara kaum the have atau prominent people yang jumlahnya tidak sampai 2% dari jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih Rp270 jutaan menguasai kurang lebih 70% kekayaan nasional.
“Pengusaha menengah dengan kekayaan Rp50 miliar ternyata pembayaran pajaknya dikalahkan oleh pembayaran PPh karyawan. Karena itu harus dipastikan secara kuantitatif jumlah strata ini dan pembayaran pajaknya,” ucapnya.
Kebijakan publik dalam perspektif hukum juga harus diukur dengan prinsip kemanfaatan dalam arti apakah kebijakan menaikkan tarif PPN dan PPh serta amnesty pajak dampaknya benar-benar bermanfaat bagi rakyat umumnya. Sebaliknya semua kebijakan pajak itu sedikit manfaat untuk rakyat, tetapi sebesar-besarnya untuk penguasa dan pengusaha papan atas tadi.
Mengapa bagi mereka tidak diberlakukan law enforcement alias penegakan hukum dalam pembayaran pajak tapi malah amnesty alias pengampunan melulu.
Data mengatakan kebijakan pengampunan yang dulu tidak dapat dikatakan berhasil, khususnya repatriasi uang dari luar negeri dalam dua kali putaran cuma menarik kurang lebih Rp200 triliun. Padahal kata Jokowi waktu kampanye data uang orang Indonesia diluar negeri masih ribuan triliun, berdasar data dari Kemenkeu. Jika uang yang ribuan triliun itu yang balik ke negara Indonesia hanya Rp 200 triliun, dapatkah dikatakan kebijakan tax amnesty berhasil.
Masih disampaikannya, ukuran kedua dalam kebijakan publik adalah kemanfaatan konkritnya apakah pajak membuat naiknya kesejahteraan rakyat bukan kesejahteraan penguasa dan pengusaha saja.
Terakhir kebijakan publik juga harus diukur dengan prinsip keadilan, dalam konteks in concreto keadilan disini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Pertanyaan yang harus diajukan dalam hal ini adalah seberapa besar hasil pemungutan pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” bebernya.
Faktual jumlah rakyat miskin penerima BLT masih puluhan juta orang, tingkat pengangguran juga masih jutaan orang, tingkat pendapatan per kapita masih sangat rendah, kebutuhan primer rakyat jelata akan sandang pangan dan papan masih sulit, buruh petani nelayan masih banyak sekali yang ngos-ngosan dalam menjalani hidupnya, banyak pelayanan publik masih buruk, akses permodalan untuk UKM masih sulit dan sebagainya.
“Intinya pajak memang punya dua fungsi diatas dan adalah kewenangan pemerintah memainkannya dengan amnesty, dengan menaikkan tarif yang pada prinsipnya dua hal ini kontradiksi juga, dengan pungutan door to door gaya koboy, tetapi rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan bukan obyek kekuasaan atau pihak yang diperintah berhak mempertanyakan dan menggugat pertimbangan politik apa yang melatar belakangi dimainkannya dua fungsi pajak tersebut, untuk kepentingan penguasa-pengusaha atau kepentingan kesejahteraan bersama berdasarkan tiga prinsip diatas. Kalau jawabannya pajak untuk kepentingan kesejahteraan bersama, kok faktanya yang kaya tambah kaya yang miskin tambah miskin,” jelasnya.(ton)









