OPINI : Hindari Perang Sarung, Mari Hantarkan Anak-Anak Selamat Sampai Lebaran

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Sarung adalah simbol peribadatan, warisan budaya, peradaban yang sarat nilai luhur nan tinggi. Karena dipakai pada peristiwa keluhuran dan kebaikan manusia.

Namun apa jadinya ketika niat peribadatan melalui sarung berubah fungsi di tangan anak anak, seketika itu mampu menjadi alat efektif kekerasan dan sangat mematikan. Itulah yang terjadi hari hari ini, dengan setiap hari media dan kepolisian melaporkan tawuran dan asmara subuh yang semakin marak dan menular di berbagai tempat di waktu sahur dan tarawih.

Bacaan Lainnya

Memang persoalan anak berkumpul, tanpa pengawasan, waktu luang tanpa pendampingan di sela waktu ibadah, menjadi persoalan serius.

Hal ini tidak hanya karena bulan Ramadhan, tetapi memang sudah sering terjadi ketika anak anak tidak mendapatkan ruang bermain sesuai dengan kebutuhan, minat atau hobby, ketertarikan dalam tumbuh kembang, ruang kosong dan waktu tanpa pendampingan yang sesuai usia, pemahaman dan perkembangan anak.

Bahkan di beberapa peristiwa terjadi sepanjang selepas Tarawih sampai Subuh. Berarti anak-anak lepas pengawasan orang tua, terlepas pengawasan sekolah karena libur dan terlepas lingkungan.

Kegiatan positif anak membangunkan sahur menjadi peristiwa kelam, setelah ribuan anak dinyatakan diamankan kepolisian di berbagai daerah. Media merekam berbagai daerah terlaporkan anak anak di amankan, berhadapan dengan hukum, berkonflik dengan hukum dan berpotensi menjalankan masa pidana dalam proses yurisdiksi Kepolisian di wilayah DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatera Selatan.

Adapun sebaran daerahnya meliputi yang tersebar di berbagai titik yaitu Parung Panjang Bogor, Malang Jawa Timur, Jagakarsa Jakarta Selatan, Warakas Jakarta Utara, Tanggeran di Jatiuwung, Cipondoh, Kosambi, Tigaraksa dan Ciledug, kemudian Teluk Betung Bandar Lampung, Sukaraja Bogor, Cibadak Sukabumi, Makassar Jakarta Timur, Kalianak Surabaya, Marene dan Muaro serta Kota Jambi, Lahat Sumsel, Margajaya Bekasi Selatan, Rangkasbitung Lebak Banten, Jatibening dan Pondok Gede serta Jatiasih Bekasi, Grha Raya Tangsel, Kemirimuka Beji Depok, Udanawu Blitar.

Sampai rilis ini disampaikan masih banyak daerah yang menginformasikan terjadinya perang sarung.

Rutinitas aktifitas berbahaya setiap bulan Ramadhan ini, benar benar perlu upaya serius, karena terbukti hanya menunggu bulan Ramadhan berikutnya untuk mendatangkan korban anak anak lagi. Metode penanganan yang terus dipakai selama ini, harus berubah, karena tidak efektif dalam menguranginya, bahkan kalau melihat cakupan TKP-nya yang lebih luas saat ini, menampakkan jumlah ribuan anak yang telah terlibat.

Sayang, dampaknya sangat menyedihkan untuk keluarga yang sedang menahan diri dalam berpuasa dan menunggu datangnya bahagia hari Lebaran. Tentu tidak ingin ada keluarga yang menjalankan ibadah dan merayakannya dengan anak anak yang berada dipenjara, anak anak yang duduk di kursi roda, merayakannya dengan rutin keluarga mengurus ke penjara dan menjalani pengobatan, merayakannya dengan bergantian menjaga di rumah sakit, apalagi dengan merayakannya tanpa anak anak yang disayangi.

Padahal kita tahu Ramadhan masih panjang dan tidak mungkin tren gugurnya korban anak terus berjatuhan. Melihat peristiwa ini, sebenarnya tidak cukup dengan himbauan, pengamanan, penangkapan, karena belum menyentuh esensi kebutuhan anak, yang sebenarnya sehari hari ada di keluarga masing masing. Apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk mencegah, bahkan kalau bisa menghentikan.

Eskalasi kekerasan anak, antar anak selama Ramadhan yang terus meningkat, tentu membawa keprihatinan dan mengusik kekhusyuan ibadah kita. Hal ini dibuktikan dari banyaknya laporan masyakarat dengan fenomena kekerasan di sebelum sahur, waktu sahur dan pasca sahur di Ramadhan.

Untuk itu perlu di potret lebih utuh. Pertama situasi anak anak dalam keluarga, terutama kewajiban dalam ibadah, apakah kewajiban itu diterima dengan sadar dan baik oleh anak, atau hanya sekedar rutinitas yang tidak di lekatkan makna, bahkan menyuruh anak ketempat ibadah dengan terjadi tekanan atau kekerasan.

Kedua, apakah rumah ibadah jadi tempat yang ramah anak atau mereka mendapatkan hal yang sama juga, ketika kering makna ibadah dan anak anak lebih bersifat mengusik ketenangan beribadah, sehingga anak anak tidak mendapatkan tempat yang baik, setelah mendapatkan masalah dari rumah.

Ketiga lingkungan, terutama TKP tempat perang sarung, apakah selama ini ada kepedulian untuk mencegah. Umumnya setiap lingkungan melaksanakan patroli tawuran setiap sahur, namun apakah sudah tahu latar belakang dari setiap anak dan keluarganya.

Keempat, ketika anak anak sudah di tangkap dan diamankan, pertanyaanya apakah tidak menjadi stigma anak yang berujung justru meningkatkan ekskalasi pembalasan. Apalagi situasi dirumah tidak berubah setelah anak mendapatkan perhatian dari Kepolisian dan Muspida setempat.

Dari keempat situasi anak, kita bisa mengurai lebih jauh. Pertama pembelian online senjata tajam, yang dimasukkan anak dalam sarung. Tentu saja harga sajak tidak murah, artinya ada dugaan mereka membelinya secara patungan atau dengan alasan tertentu meminta orang tua tanpa di ketahui, bisa juga mereka menabung mengumpulkan uang jajan mereka. Tentu saja hal ini bisa dimaklumi dengan keinginan menang dalam perang sarung, sehingga mendorong mereka menggunakan alat alat sajam, batu, benda keras dan benda tumpul lainnya untuk meningkatkan efek pada kelompok mereka agar disegani dan menang. Karena bagaimanapun tidak terhindarkan ada atmosfer persaingan, perlombaan, kemenangan, kebanggaan kelompok, namun dengan cara yang salah.

Kedua, anak-anak dan remaja adalah pibadi yang memiliki energi dan emosi berlebih. Yang bila tidak disalurkan dengan baik, maka berpotensi tersalur pada obyek obyek tanpa alasan, dimanfaatkan, di kuasai, di tekan, mengikuti, sehingga mengikutinya hanya untuk mengisi problematika waktu luang dan kebutuhan energy menyalurkan. Sehingga terlampiaskan tanpa tujuan. Karena tidak adanya perhatian dan pendampingan dari kebutuhan ini.

Penyesuaian waktu kegiatan dan istirahat selama puasa, bila tidak diatur dengan baik orang tua, juga bisa menyebabkan “efek kurang istirahat”, yang menyebabkan kelelahan. Selain itu dengan menahan lapar anak anak bisa mengalami kurang fokus, sehingga penting orang tua, sekolah, lingkungan memperhatikan secara penuh aktifitas anak, agar keinginan melawan hawa nafsu benar benar berdampak menjadi kecerdasan emosi, bukan menjadi pelampiasan emosi dengan tawuran, akibat emosi kelelahan yang tidak tersalurkan dengan baik.

Ketiga, rumah ibadah penting membangun partisipasi bermakna dan aktif, tidak pasif. Anak anak penting menjadi bagian aktifitas ibadah. Kalau memang perlu di pisahkan dalam ibadah dengan orang dewasa bisa saja dilakukan. Karena ada target yang berbeda dengan cara pendidikan orang dewasa.

Dengan memberi kesempatan mereka berbicara, apa yang mereka rasakan di dalam rumah ibadah, mengenalkan dan membangun kapasitas untuk berperan dan terlibat dalam rumah ibadah dalam makna yang sangat luas, memberi kesempatan memiliki tempat ibadah yang mereka idamkan dengan membangun jembatan harapan bersama, membangun kemandirian anak dalam beribadah sehingga membangun jiwa kepemimpinan yang dapat dibanggakan anak, melengkapi sarana peribadatan yang ramah anak, memberi peran dan pelibatan aktif dalam tugas tugas ibadah, serta pembagian kelompok dalam menjaga keamanan dan kenyamanan beribadah. Yang tentu semua kegiatan itu dengan didampingi mereka yang memiliki perspektif psikologis anak. Sehingga peran rumah ibadah dalam ikut aktif menyiapkan partisipasi anak sejak dini dirumah ibadah, menyambungkan komunikasi antara orang tua dan anak, dapat mengurangi aktifitas perang sarung sepanjang Ramadhan.

Keempat, yang harus disadari bahwa marah adalah emosi yang mudah menular, apalagi ini dihadapi anak dari dampak tawuran, karena masih kurangnya dalam penguasaan emosi, sehingga lebih dominan dampak ketakutan dan kepanikan dalam menghadapi situasi darurat, apalagi di serang, yang tentu saja menjadi pelampiasan yang serampangan. Karena kelemahan tersebut anak anak mengambil alat alat yang mematikan, dengan keinginan selamat dari tawuran tersebut. Karena mudah menular, maka anak mudah terprovokasi, ikut ikutan, mudah terlibat.

Pemicunya, bisa saja dianggap dianggap dalam perang sarung ada temannya yang curang, memakai benda keras, memakai benda tajam, menyertakan kalimat kalimat kekerasan yang memancing emosi, tekanan fisik, tekanan psikis, stigma tertentu, yang menyebabkan pembalasannya semakin fatal.

Tentu saja teori pembalasan kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang lebih mengerikan, dan terus berulang, berhari hari, menimbulkan dendam, yang bisa meninggalkan ekskalasi yang terus meningkat dan kekerasan yang meregenerasi. Hal ini terbukti dengan laporan perang sarung yang hari pertama diberitakan hanya dengan menyabet dengan sarung, kemudian berkembang dengan memasukkan batu, memasukkan benda keras, memasukkan benda tumpul dan berita terakhir yang disampaikan kepolisian dengan senjata tajam.

Bahkan bisa mungkin terjadi dengan zat zat kimia, bila tidak segera ditangani. Akibat unsur ingin menang dalam setiap pertarungan. Ujungnya tawuran memunculkan banyak kepentingan, banyaknya korban yang ingin balas dendam, yang akhirnya bisa meluas tanpa batas dan melibatkan lebih banyak orang, bahkan situasinya bisa dimanfaatkan industri candu lainnya.

Untuk itu kondisi ini tidak bisa di biarkan. Tentu para orang tua, rumah ibadah, punya peran mendamaikan, menganggap ini hal serius dan mendiskusikannya. Tentu sekali lagi, membangun peran dan pesan partisipasi yang bermakna. Karena bila menyikapinya pun dengan kata dan sikap kekerasan. Justru energi pesan yang tersampaikan akan kembali menjadi tumpukan emosi yang sewaktu waktu meledak menjadi penyaluran kekerasan berikutnya yang dilakukan anak.

Kelima, iklan-iklan produk sarung dapat aktif bersama masyarakat mengkampanyekan gerakan refleksi aktif tanpa kekerasan. Kita ajak anak anak menjadi pengurang dampak kekerasan, pengurang dampak negatif produk produk, menjadi anak anak yang produktif dan kreatif dalam melihat sebuah produk. Mengembalikan sarung dan aksessioris penyertanya menjadi nilai positif bagi anak. Artinya para pemilik industri dan penjual sarung dapat bersama sama berperan aktif, mendukung masyarakat, terutama ditempat TKP peristiwa bersama rumah ibadah menyentuh anak anak dengan kegiatan yang mendukung tumbuh kembang secara positif. Begitupun industri lainnya, para pemilik CSR dapat membagi kemampuannya, agar masyarakat dan rumah ibadah terinspirasi dari pengalaman produk produknya.

Keenam, anak-anak sedang menjalani aktifitas yang dibatasi agar terjaga kondisinya sehingga dapat berpuasa secara penuh. Sehingga aktifitas sekolah jam nya dikurangi, ruang gerak anak disalurkan mendengarkan makna puasa. Namun disisi lain ketika anak tidak mengikuti dengan baik, maka akan mengalami problematika dalam mengisi waktu luang.

Untuk itu, kita berharap peran sekolah yang berkurang ini, dapat digantikan dari rumah dan lingkungan. Tentu tidak mudah perlu perhatian bersama dalam mengatasi hal tersebut.

Ketujuh, problematikan mengisi waktu luang dan fenomena meluasnya tawuran pasca sahur ini, mendorong kita semua untuk ikut perhatian memberi solusi. Salah satu program yang biasa dianjurkan pemerintah dan tokoh agama adalah mengisinya dengan pesantren kilat. Karena di dalamnya mengandung pendidikan sebaya (peer to peer) yang kita tahu lebih efektif dalam menyelenggarakan pendidikan anak. Untuk itu mari kita dukung pesantren kilat hari ini dapat menjawab kebutuhan anak dan fenomena tawuran pasca sahur.

Mari melibatkan partisipasi aktif mereka, agar mereka merasa memiliki Ramadhan, dengan sejak awal membangun dan mengenalkan, memberi kesempatan mereka beraktifitas sesuai dengan usia, pemahaman dan perkembangannnya. Dengan dimulai anak anak merencanakan, mengusulkan, pemenuhan mengisi waktu luang yang panjang sebulan ini.

Kita mengajak berbagai pihak, mengabulkan, memenuhi fasilitas yang timbul dari perencanaan anak anak dalam pesantren kilat yang mereka buat. Mereka bisa diajak belajar, merefleksikan kekerasan yang terjadi disekitar mereka. Agar menjadi pembelajaran bermakna, dan apa saja usulan mereka untuk menguranginya.

Kedelapan, para orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dapat membantu dalam memfasilitasi dan menghantarkan Ramadhan yang lebih bermakna untuk anak anak dengan mendukung pesantren kilat ini. Para sponsor, donatur, muzakki, lembaga Zakat, Baznas dan Filantrophy dapat mendorong terciptakan pesantren kilat yang mampu menjawab kebutuhan setiap orang tua, lingkungan dan rumah ibadah, terutama bermanfaat untuk anak anak yang telah di amakan kepolisian akibat tawuran waktu sahur. Kalau perlu ada rutinitas dalam menjawab setiap kebutuhan yang muncul dilapangan dan kemudahan mengakses sistem sumber untuk memenuhi kebutuhan anak dan rencana daerah masing masing.

Tentu kita ingin generasi Ramadhan kita tahun ini, tidak trauma dengan sarung. Namun dukungna sarung memberi nilai lebih kepada makna mereka melawan hawa nafsu, menahan lapar, mengolah jiwa, mengisi waktu luang, belajar, agar khusyuk selama ibadah Ramadhan.

Kita tidak bisa terus menbiarkan, karena ini sudah 4 hari berjalan ibadah puasa, dengan anak anak terpapar dan mengalami kekerasan terus menerus, apalagi korbannya terus berjatuhan. Kita tidak mungkin terus berdiam diri, melihat anak anak ditangkap, penghukuman, yang berujung pembalasan tiada henti. Karena dampak stigma anak anak ditangkap, terlibat, berhadapan, berkonflik, dan menjadi korban. Situasi ini harus dicabut dari masyarakat agar tidak menjadi penyakit sosial yang meegenerasi dalam dendam tawuran.

Mari kita berefleksi ke dalam, mulai dari lingkungan, keluarga, peran siskamling, peran muspida, peran sekolah dalam ikut mencegah. Terutama refleksi apakah kita menyelesaikan masih dengan cara yang sama, apakah rumah ibadah kita masih meminggir kan peran anak anak? Alih alih tujuan anak khusyu dan tenang dalam beribadah, tetapi kita menertibkan anak anak dengan tekanan dan kekerasan. Karena peristiwa anak anak yg bermain dirumah ibadah, sholat becanda, dan lainnya. Disikapi teriakan, pukulan, menekan. Bila terjadi rumah ibadah anda, maka pantaslah kita melihat anak anak lebih tersalurkan ibadah dengan tawuran sarung. Karena berangkat dari rumah pun, bukan karena kesadaran ibadah, tapi takut dimarahi orang tua jika tidak ibadah. Padahal ibadah adalah soal esensi kesadaran jiwa anak yang sangat meaningful.

Dari peristiwa ini, orang tua juga punya tuntutan mengecek platform penjualan online yang berada di tangan anak anak mereka, terutama anak anak yang terlibat tawuran, jangan sampai mereka mengakses pembelian zat zat berbahaya, senjata tajam.

Begitupun para pengantar ekspedisi barang senjata tajam, penting memastikan penerimanya jangan anak anak. Kalau perlu penjualannya harus ada pengamanan berlapis, seperti memastikan pembelinya, berbasis KTP, terdapat ijin penggunaan, agar orang tua yang tahunya anak pergi beribadah, tetapi pulang ibadah tanpa nyawa. Saya kira ini berlaku untuk pembelian industry candu lainnya, yang pernah terjadi di perjual belikan dan dapat diakses anak seperti rokok, vape, minuman keras, judi, produk pornografi, game mengandung kekerasan dan pornografi, membeli link kekerasan, dan produkobat serta makanan berbahaya. Karena sekali lagi anak seringkali hanya ikut ikutan, tapi tidak memperhitungkan resikonya.

Pasca terkena stigma dengan di amankan Kepolisian, pertanyaannya, apakah anggota keluarga dapat menerima kondisi anak mereka, ini juga yang menjadi persoalan, ketika keluarga tidak siap. Sehingga yang ada adalah tumpukan masalah sosial yang dibendung anak, yang siap menjadi lahirnya kekerasan dengan ekskalasi dan fatalitas yang lebih meningkat, karena tumpukan tumpukan masalah yang sebenarnya tidak selesai di mata anak. Ini menjadi kehati-hatian berbagai phak yang ikut menangani tawuran anak di bulan Ramadhan. Agar Ramadhan yang masih tersisa 3 Minggu ke depan, tidak menimbulkan korban lagi.

Tema tema kegiatan, ceramah, santap siang ruhani dan aktifitas mengisi Ramadhan diharapkan mampu menjawab tantangan ini. Tapi memang kenyataannya masih sangat sedikit materi ceramah atau kegiatan terkait isu kekerasan anak, studi refleksi anti kekerasan untuk anak dan partisipasi yang bermakna di ruang ibadah kita.

Untuk itu, butuh melibatkan banyak pihak, karena sebaran peristiwa yang yang sangat masif dan luas.

Saya kira penanganan ini harus komperhensif dan masif ya, butuh melibatkan banyak pihak mulai dari Kepolisian, Kemenag, Kemendikbud, KPPPA, Kemenkes, Kemensos, Kemendagri, Dewan Masjid Indonesia, MUI, Organisasi Aktifis Masjid, Ormas, Ustadz Ustadzah kita, para Tokoh Anti Kekerasan Anak, Gen Peace atau Generasi Perdamaian dalam rangka membuat edaran bersama, membuat video tutorial yang bisa dipakai pada pesantren kilat, menjawab kebutuhan fenomena tawuran selama Ramadhan dengan memasukkan tema tema ceramah anti kekerasan.

Pentingnya para ahli menjadi narsum yang divideokan. Untuk menjadi satu paket modul gratis pesantren kilat yang bisa di kembangkan di daerah masing masing, atau diputar sebelum ceramah tarawih. Dan di sebarkan di berbagai komunitas, TKP peristiwa tawuran, keluarga yang resah kondisi anaknya pasca tawuran dan rumah ibadah yang membutuhkan.

Kita juga berharap dengan banyaknya orang beramal, dan lembaga amal yang menarik zakat, harusnya lembaga filantrophy bisa meningkatkan makna beramal dan berziswaf dengan gotong royong bersama aktif mengatasi di tempat tempat banyak terjadinya taawuran anak sebelum sahur dan pasca tarawih di berbagai tempat.

Sebenarnya para pemilik usaha, perusahaan, CSR juga bisa bergerak menjawab ini, dengan meningkatkan mindful parenting para orang tua yang bekerja. Sehingga Ramadhan ini dapat menjadi peningkatan, up grading, refreshment lembaga keluarga dalam memahami jiwa anak anak. Agar kesibukan yang menyebabkan sulitnya membangun bounding dengan anak, bisa di intervensi perusahaan, kementerian, lembaga, masyarakat.

Namun itulah yang terjadi pada anak anak yang beraksi tawuran di bulan Ramadhan kali ini, dengan dampaknya anak menjadi disabilitas berat dengan patah tulang akibat perang sarung, korban dari asmara subuh yang disertai persaingan dan saling balas, kehilangan nyawa, luka luka ringan sampai berat, bahkan bersama sama menggunakan senjata tajam yang di pesannya melalui platform penjualan online.

Pertanyaannya, apakah Ramadhan ini anak-anak saya, kita, anda akan selamat dari tawuran selama Ramadhan?. Tentu saja jawabannya adalah kepedulian kita semua, agar anak anak bisa selamat dan sampai ke Lebaran dengan gembira. Semoga.

Oleh :

Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *