OPINI : Penurunan Stunting Jadi Modal Awal Kurangi Risiko Kehidupan Dihadapi Anak

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan program pencegahan stunting yang dilaksanakan Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat (Sumbar). Dimana sebanyak 5.438 anak mengalami stunting dengan prevalensi 35,05 persen, menurut data SSGI 2022 dan yang menjadi data daerah tertinggi di sana.

Namun sayangnya dari data tersebut, intervensi berkelanjutan masih perlu dilakukan dalam menjangkau semua temuan. Begitupun peran Gugus Tugas masih perlu ditingkatkan.

Bacaan Lainnya

Kepala Puskesmas Kecamatan Sasak Ranah Pasisia yang ditemui KPAI menyampaikan masih perlu dukungan dan SDM dalam menindaklanjuti temuan, dengan kompleksnya penyebab angka stunting yang masih tinggi. Diantara persoalannya adalah akses jamban, akses air bersih, meningkatkan kesadaran imunisasi dasar lengkap, pengurangan asap rokok di keluarga, anak yang mengalami kecacingan, adanya ibu anemia, kesadaran menyusui dengan ASI eklusif.

Dalam kunjungan ke salah satu keluarga yang anaknya mengalami stunting, terungkap keluarga mengetahui anaknya stunting 2 tahun lalu, sejak mendapat sosialisasi dari Gugus Tugas.

Sejak itu, orang tua mengakses kegiatan posyandu dengan mengikuti program imunisasi dasar lengkap dan mendapatkan gizi tambahan. Hanya yang masih menjadi harapan keluarga terkait masalah sanitasi di lingkungannya.

Penyebabnya lainnya yang disampaikan bahwa anak tidak mendapatkan intervensi yang baik sejak dalam kandungan, sehingga kurang perhatian pada pencegahan program stunting, begitupun pemahaman tentang stunting masih kurang.

Artinya dari 5 tujuan program percepatan penurunan angka stunting, yaitu menurunkan angka prevalensi, meningkatkan persiapan menuju keluarga, mengerti tentang asupam gizi yang dibutuhan anak secara esensial dan spesifik, mengerti pola asuh anak sejak dari kandungan, keberpihakan akses dan kualitas layanan kesehatan, dan kualitas air minum, hidup sehat dan sanitasi, satu sama lain harus saling menunjang. Hal ini yang perlu di kejar dari pembagian peran Gugus Tugas yang telah di bagi pemerintah, baik di K/L sampai impelementasinya di daerah.

Sehingga penting hasil rekomendasi dari pengawasan, menjadi kebijakan afirmasi dan layanan program stunting yang lebih inklusi.

Pengurangan angka stunting kita masih berjalan lamban, karena Stunting dianggap sebagai persoalan yang tidak langsung kelihatan, tidak menunjukkan sakit yang harus segera di tolong, sehingga persoalan stunting ini jauh dari pembahasan di masyarakat. Karena ketika dibilang anak stunting tidak secara waktu bersamaan dianggap berbahaya.

Namun sayangnya, orang tua baru menyadari seiring anak dinyatakan mengalami ganguan tumbuh kembang, baik dalam fisik dan jiwa, setelah dinyatakan kedokteran karena Stunting. Terutama akan semakin berat ketika anak memasuki usia produktifnya, ketika kecerdasan emosinya rendah, mudah menyalahkan diri, disabilitas, sakit berkepanjangan, ditemukan penyakit berat, masalah kejiwaan. Karena ketika aspek fisik kesehatan tidak diperhatikan, maka anak-anak akan mudah terserang jiwanya. Karena didalam fikiran yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Berakhir menjadi rasa penyesalan tak berkesudahan, setelah di observasi tenaga kesehatan, ternyata ke depan anak-anak mengancam jiwa, menyebabkan penyakit berkepanjangan, mengalami hambatan fisik dan jiwa, bahkan ancaman kematian.

Pencegahan stunting menjadi modal utama dan pertama dalam membentuk pondasi 1.000 hari pertama kehidupannya, sejak dari kandungan sampai berumur 2 tahun.

Karena stunting bicara pertumbuhan fisik, otak dan jiwa sang jabang bayi yang belum jadi, untuk di bekali kekuatan dalam pertumbuhannya. Jangan terbalik, tumbuh tanpa dibekali kekuatan.

Bahwa ada kebutuhan yang sangat serius sejak organ reproduksi aktif dengan baligh, pasangan menikah, karena akan hadir seorang anak. Dengan intervensi pencegahan Stunting dengan pemberian tablet penambah darah, persiapan calon pengantin (catin), pengawasan rutin dan periode kehamilan, dan saat dilahirkan sampai masa balita.

Apalagi Kementerian di pasca pandemi sudah memberi alarm besar ke pemangku kepentingan daerah dampak pandemi dengan darurat pernikahan anak. Artinya kalau tidak diantisipasi upaya kita pada pencegahan stunting akan terus berhadapan dengan angka pernikahan dan perceraian yang tinggi, yang beriringan dengan penurunan daya tahan ekonomi, yang juga telah diingatkan Bapenas sebelumnya.

Pengasuhan juga tidak hanya dimaknai kebutuhannya ketika sudah terlahir, pengasuhan juga wajib dihadirkan sejak dalam kandungan, sejak dititipkan dalam rahim ibunya. Apa yang terjadi di dalam rahim sampai terlahir, terbukti sangat mempengaruhi pertumbuhannya ketika sudah terlahir di dunia.

Hal yang memprasyaratkan melakukan cek kesehatan ayah dan ibunya sejak sebelum merencanakan kehamilan, memastikan orang tua mengerti paremting, masa psikologis tumbuh kembang, mengecek rahim sebelum merencanakan kandungan, menghadirnya kasih sayang antar pasangan dalam pengasuhan bersama sejak dalam kandungan, mendapatkan asupan gizi yang seimbang, menjaga psikis pasangan yang dapat berdanpak pada gangguan selama kehamilan, ancaman kekurangan darah atau anemia, pemenuhan asupan gizi seimbang, mendapatkan imunisasi dasar lengkap sejak awal.

Pembentukannya ketika anak mendapatkan itu semua. Maka stunting menjadi faktor pondasi pertama atau modal utama kehadiran anak di alam dunia.

Namun sayangnya, persoalan intervensi sejak awal ini kurang di perhatikan, dan disadari setelah mengalami gangguan hambatan dalam tubuh, fisik dan jiwa, seperti KLB campak, diabetes, kanker, anak anak mengalami ganguan jiwa, anak anak mengalami hambatan pertumbuhan otak. Artinya ancamannya sangat serius, anak menjadi berkebutuhan khusus, anak menjadi disabilitas, anak menjadi butih pendampingan dan pengawasan menetap.

Kalau melihat naskah akedemik, tinjauan filosofis dan sosiologis yang disampaikan UU Perlindungan Anak sebenarnya pelaksanaan perlindungan anak dari kekerasan dari ancaman tumbuh kembang, haruslah terjadi sejak dari kandungan.

Artinya secara logika tidak akan terjadi, jika kesadaran memperhatikan anak hanya masuk saat pencatatan kependudukan, dengan akta kelahiran. Artinya para petugas RT RW perlu ditingkatkan kesadaran, tanggung jawab dan profesionalitasnya.

Karena seringkali ditemukan selalu kasusnya, ketika anak tidak diawasi sejak dalam kandungan, anak menjadi mudah berpindah tangan, baik kasusnya yang ditemukan di dunia medis, bidan, dukun bayi, mengandung untuk anak dijual, membuang bayi, bayi terancam hidup dalam keluarga ODGJ yang sebenarnya keduanya perlu diintervensi kebutuhan khususnya.

RT RW pentingnya menyadari sebagai ujung tombak mencegah anak terlepas karena berbagai sebab, pendorong kesehatan mereka yang akan dan sudah menikah, adanya pemeriksaan pada kesehatan pasangan yang baru menikah, melaporkan kesehatan pasangan anak anak yang hamil diluar pernikahan, pasangan yang menikah baik secara formal, siri, agama dan budaya. Pentingnya melaporkan ada warganya yang hamil sejak bulan pertama. memastikan tidak ada kekerasan saat dalam kandungan hingga berumur 2 tahun.

Karena kalau ini tidak di sadari, kita semua akan dihadapi penanganan anak yang lebih kompleks. Ditambah peristiwa peristiwa di ranah privat ini sulit disentuh kalau tidak ada instrumentasi atau yang memimpin.

Meski ada berbagai task force yang dibentuk K/L, pemerintah setempat, LSM, CSO, NGO, namun akan sulit, jika yang setiap hari bersama keluarga tidak aktif mengawasi. Tidak mengimplementasikan dan memastkkan.

Sehingga terkesan lebih pada pemenuhan formalitas, bersifat administratif, pemenuhan tugas yang tidak berorientasi pada kelanjutan ketahanan dan masa depan keluarga, sehingga seringkali permasalahan anak yang muncul ketika sudah menjadi industri viral, menjadi PMKS di perkotaan, datang ke pusat kesehatam dengan anak sudah berpemyakit berat, dimanfaatkan oknum tertentu menjadi eksploitasi keadaan. Padahal itu semua sesuatu yang bisa dicegah. Sebelum persoalannya berada di hulu.

Inilah yang dimaksud Undang Undang (UU) Perlindungan Anak, bahwa anak terlindungi sejak dalam kandungan hingga 18 tahun. Tetapi perlindungan sejak dalam kandungan ini, kesadarannya masih sangat perlu ditingkatkan. Begitupun penerjemahan perlindungan anak sejak dalam kandungan, masih sangat perlu mendapat perhatian, keberpihakan, kesadaean.

Seperti permasalahan terakhir yang viral, ibu mengalami kritis saat mau melahirkan dan di tolak rumah sakit, kasus anak menyanyat tangan, kasus anak menjadi pelaku untuk anak lainnya, bahkan ada anak yang membunuh terkesan tanpa alasan. Artinya ada yang harus dibenahi secara sistem soal cara pandang, sejak awal, udan itu bisa di lakukan bila arah program stunting kita tegak lurus dilaksanakan. Baik dari orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Karena ketika sejak kandungan tidak terdeteksi, kita akan menambah kegagalan generasi dalam menghadapi kehidupan ke depan, kekosongan ini penting diintervwnsi sejak awal agar UU Perlindungan Anak dapat penuh dilaksanakan.

Karena bila terbiarkan, anak hidup dalam hambatan dan kerugian, yang menyebabkan pertumbuhannya menjadi ancaman untuk dirinya sendiri. Bahkan tanpa tanpa ia sadari. Krena anak tidak bisa membela dirinya sendiri, akibat tidak paham pertumbuhan fisik dan jiwanya yang sebenarnya mempunyai kebutuhan yang tidak bisa tertunda. Karena kondisi anak anak akan sangat mudah di kuasai fisik dan jiwanya, pemahamannya mudah di belokkan, menghadapi emosinya lebih didominasi ketakutan, kepanikan, tidak memiliki kekuatan dari dalam untuk menolaknya dan berakhir melampiaskan pada obyek yang tidak beralasan, termasuk merusak dirinya sendiri.

Sehingga ketika lepas dari umur 2 tahun, dimana diumur tersebut anak mulai belajar berjalan yang artinya mulai sedikit demi sedikit terlepas dari ketergantungan, ada ancaman yang menyertai, untuk itu disana mensyaraatkan anak bebas stunting.

Artinya stunting adalah penerjemahan konsistensi Undang Undang Perlindungan Anak yang menpersyaratkan terjadinya perlindungan dan pengasuhan anak sejak dari kandungan.

Untuk itu, penting juga revisi UU Desa meningkatkan tanggung jawab dan profesional para RT RW. Karena kalau persoalan ini tidak masuk dalam kebijakan, ada konsekuensi bila tidak melaksanakan. Maka kita menjalani UU Perlindungan Anak tidak secara penuh sesuai mandatnya.

Artinya ketika satu anak tidak terlindungi, maka akan berdampak pada kehidupan anak lainnya di masa depan. Untuk itulah dalam program Stunting ini penting kita memiliki paradigma dalam bekerja bahwa semua anak Indonesia adalah anak anak kita. Karena di masa depan akan saling sangat terkait dalam proses kehidupan ke depan.

Jadi ke depan diharapkan dari program percepatan penurunan angka stunting ini, kita lebih menjalankan pencegahan, dengan amanah yang dititipkan Tuhan yang harusnya tumbuh kembang sempurna. Bukan menjadi kasus kasus anak yang tidak bisa di tekan. Karena anak stunting adalah cikal bakal anak terus mengalami trauma hidup berkepanjangan. Karena bicara stunting adalah pola asuh dan perlindungan anak yang bebas dari kekerasan sejak dalam kandungan.

Bukan berarti dipahami persaingan antara angka kasus kekerasan dan angka stunting. Karena alat ukurnya beda. Kalau kasus kekerasan anak alat ukurnya adalah kecepatan penanganan yang didalamnya mensyaratkan banyak hal, sebagaimana yang di gawangi regulasi.

Sedangkan angka stunting ukurannya ada yang mencegah sejak awal sebelum masuk ke lembaga keluarga, lalu siapa yang mau kita amanahkan, agar program stunting ini benar benar diawasi rutin melalui peran paling dekat dengan keluarga?.

Karena kita tahu kasus kasus yang terjadi di ranah privat sangat sulit di ungkap dan tertangani secara tuntas, ketika tidak ada pendamping yang terdekat untuk memberi pemahaman secara berkelanjutan.

Oleh : 

Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *