Perajin dan Penjual Tempe Resah Soal Lonjakan Harga Kedelai

IMG_20220223_152207

Jakarta, Sriwijaya Media – Terkait rencana aksi mogok produksi dan jual tempe tahu oleh para pengrajin dan penjual tempe tahu se Indonesia yang merupakan imbas dari lonjakan harga kedelai, Ketua Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Sutaryo meminta pemerintah segera melakukan intervensi agar harga di tingkat pengrajin lebih stabil.

Hal itu dikatakan Sutaryo saat diwawancarai sriwijayamedia.com., di Jakarta Rabu (23/2/2022).

Menurut Sutaryo, untuk mengantisipasi lonjakan harga jual kedelai yang kali ini cukup tinggi, pemerintah harus melakukan intervensi agar harga di tingkat pengrajin lebih stabil.

“Sementara untuk kekurangannya biar pemerintah yang mengatasinya,” ujarnya.

Sementara, lanjut dia, untuk pemantauan harga nantinya dilakukan oleh Bulog dan Kemendag.

“Meski sudah ada respon dari pemerintah terkait kekosongan tempe dan tahu dipastikan hari ini masih akan terjadi sebab hari ini produksi tempe tahu baru dimulai kembali untuk bisa dijual esok hari,” ungkapnya.

Sutaryo menjelaskan, untuk memproduksi tempe dan tahu setidaknya butuh waktu tiga hari. Pada hari pertama kedelai direbus, kemudian pada hari kedua diproduksi, baru pada hari ketiga tempe dan tahu sudah siap dijual kepasaran.

“Dalam sebulan ini sebenarnya para pengrajin dan penjual tempe tahu mengalami kerugian akibat minimnya pasokan kedelai dan mahalnya harga kedelai.

“Idealnya kenaikan harga yang terjadi pada pertengahan tahun 2021 sebenarnya sudah nyaman dengan harga Rp 10.000/kg untuk kedelai,” terangnya.

Karena, kata dia, diawal 2021 kenaikan kedelai sudah berada dalam posisi Rp9.000/kg, tapi gerakannya melambat sampai pertengahan tahun bisa mencapai Rp10.000.

“Tapi diawal tahun 2022 kenaikan harga kedelai impor terus bergerak naik, dan dalam waktu yang singkat sampai mencapai Rp 1.300/Kg-nya. Jadi harga jual kedelai impor dari Amerika tersebut kini menjadi 11.300/kg,” katanya.

Menurut pengusaha keripik tempe sejak 1990 ini, Indonesia menggunakan kedelai impor dari AS sejak tahun 1979. Kestabilan harga kedelai ini diharapkan bisa terjaga seperti yang pernah terjadi di era Presiden Soeharto.

“Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Jakarta setidaknya dibutuhkan 10 ribu ton kedelai. Tetapi potensi pasarnya disuplai dari Jabodetabek. Ada 4.500 pengrajin dan penjual tahu-tempe di Jakarta, sedangkan untuk Jabodetabek dua kali lipatnya,” paparnya.

Mereka memproduksi dan menjual tahu tempe hanya untuk kebutuhan lokal (Jabodetabek). Sementara untuk memenuhi kebutuhan ekspor nilainya sangat kecil.

“Meskipun suplai kedelai dan hasil olahannya (tahu/tempe) kini relatif aman, namun fluktuasi harga kedelai yang tidak menentu membuat para pengrajin tidak nyaman untuk menetapkan harga pokok jual tahu/tempe,” terangnya.

Sutaryo mengatakan, penyebab ketidakstabilan harga kedelai ini diduga akibat dari sistem pasar bebas yang dianut oleh AS yang memiliki karakter bursa komoditas.

Sehingga apabila di AS terjadi perubahan harga komoditas, maka harga jual kedelai di Indonesia pun berubah mengikuti tren harga yang terjadi di AS (menggunakan patokan bursa komoditas yang menggunakan kurs dollar AS).

“Ketidakstabilan ini membuat para pengrajin dan penjual tahu/tempe di tanah air gelisah. Untuk kebutuhan kedelai tingkat nasional di seluruh Indonesia membutuhkan lebih dari 250 ribu ton kedelai tiap bulannya. Pulau Jawa memiliki angka kebutuhan tertinggi akan kedelai (70%), terutama di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Barat, Banten dan DIY. Sedangkan sisanya (30%) berada diluar pulau Jawa seperti Sumatera dan Lampung, dan Bali,” jelasnya. (Santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *