Opini : Debt Collector Tak Dapat Tarik Paksa Kendaraan Debitur yang Dalam Jaminan Fidusia

IMG_20220224_162650

Oleh : 

Mgs M Badaruddin, J., SH., MM., dari Kantor Hukum Balakosa Law Firm

Bacaan Lainnya

Beberapa waktu lalu, terjadi keributan di salah satu mall di Kota Palembang, dimana sekelompok orang yang merupakan debt collector menarik paksa seseorang yang merupakan seorang debitur dari salah satu perusahaan pembiayaan kendaraan.

Menurut para debt collector, mereka diminta oleh perusahaan pembiayaan kendaraan tersebut untuk melakukan pengambilan kendaraan milik debitur mereka yang sejak tahun 2017 sampai dengan saat ini baru melakukan 6 kali pembayaran cicilan.

Kejadian tersebut viral di media sosial dimana terlihat dalam rekaman video tersebut segerombolan debt collector menarik paksa seorang yang diduga debitur keluar dari dalam mall. Namun beruntung hal itu sempat dihentikan oleh pihak keamanan setempat sehingga para gerombolan debt collector tersebut bubar dan debitur menyelamatkan diri dengan kembali masuk kedalam mall.

Berdasarkan cerita diatas, debitur tersebut memang salah karena telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya yaitu membayar cicilan ke perusahaan pembiayaan tersebut. Namun apakah tindakan penarikan paksa dan cenderung anarkis yang dilakukan oleh debt collector tersebut dapat dibenarkan?.

Secara hukum, kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia itu sendiri telah diatur didalam Undang-undang (UU) No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.

Berdasarkan UU tersebut, perusahaan pembiayaan selaku kreditur memiliki hak eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia terhadap debitur yang melakukan cidera janji (wanprestasi).

Hal tersebut dinyatakan dalam UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 15 ayat (2) dan (3) sebagai berikut :

“(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

“(3) Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Namun UU ini cenderung terkesan berat sebelah yaitu terkesan lebih memihak terhadap perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur, karena penentuan perbuatan melakukan cidera janji (wanprestasi) ditentukan secara sepihak oleh kreditur.

Ditambah lagi dengan kekuatan eksekutorial yang dimiliki kreditur/perusahaan pembiayaan kendaraan selaku pemegang sertifikat jaminan fidusia, sehingga banyak perusahaan pembiayaan kendaraan melakukan penarikan paksa kendaraan objek jaminan fidusia terhadap debitur yang dianggap melakukan cidera janji (Wanprestasi).

Pada tahun 2019 ada debitur dari salah satu pembiayaan kendaraan mengajukan permohonan pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara : 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Permohonan pengujian UU ini diajukan atas dasar peristiwa yang menimpa debitur itu sendiri, dimana perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur menyewa jasa debt collector untuk melakukan penarikan paksa kendaraan debitur tanpa prosedur hukum yang benar. Bahkan dengan cara yang sewenang-wenang seperti menggunakan tindakan kekerasan, menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh debitur apabila tidak mau menyerahkan kendaraan tersebut.

Atas tindakan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan tersebut, terdapat putusan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan No 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan perusahaan pembiayaan kendaraan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Meskipun telah ada putusan pengadilan terkait perselisihan antara perusahaan pembiayaan selaku kreditur dengan debitur, perusahaan pembiayaan kendaraan selaku debitur tetap mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminan fidusia dengan mendasarkan bahwa perjanjian fidusia dianggap telah berkekuatan hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Uu No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.

Hasil dari permohonan pengujian UU tersebut adalah MK mengeluarkan putusan 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU No 42/1999 tentang jaminan fidusia terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun amar putusan tersebut pada halaman 125 Nomor 2, 3, dan 4 menyatakan sebagai berikut : 2. menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji;

4. Menyatakan penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Berdasarkan putusan MK tersebut, maka dapat ditafsirkan sebagai berikut :

1. Bahwa perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur tidak dapat menentukan terjadinya cidera janji (wanprestasi) secara sepihak tanpa adanya kesepakatan dengan pihak debitur;

2. Bahwa apabila tidak tercapainya kesepakatan antara perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur dan debitur tentang terjadinya cidera janji (wanprestasi), maka terjadinya cidera janji (wanprestasi) ditentukan melalui putusan pengadilan;

3. Bahwa perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur tidak dapat melakukan penarikan kendaraan secara paksa sampai adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

4. Namun eksekusi terhadap kendaraan jaminan fidusia tidak harus dilakukan melalui proses peradilan di pengadilan apabila debitur secara sukarela kepada perusahaan pembiayaan kendaraan selaku kreditur.

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan debt collector yang merampas secara paksa kendaraan yang menjadi jaminan fidusia miliki debitur adalah tidak dapat dibenarkan. Bagi debt collector yang tetap melakukan penarikan secara paksa kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dikenakan Pasal 362 dan 365 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :

• Pasal 362 KUHP tentang Pencurian :

“Barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”

• Pasal 365 KUHP ayat (1) dan (2) tentang Pencurian Dengan Kekerasan : “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun : 1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan; 2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan palsu dan 4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.”

Sepatutnya para pihak yang terlibat dalam jaminan fidusia harus saling menghormati dengan melaksanakan hak dan kewajiban mereka selaku para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sehingga kejadian seperti yang terjadi disalah satu mall di kota Palembang beberapa waktu lalu tidak terjadi lagi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *