Jubir Aceh Merdeka : Semua Pihak Abai Kesepakatan Perjanjian Helsinki

IMG_20220303_222647

Jakarta, Sriwijaya Media – Presiden Achehnese Australia Association (AAA) sekaligus Juru Bicara (Jubir) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Independen Tengku Sufaini Syekhi menilai semua pihak sudah abai terhadap hasil kesepakatan bersama perjanjian Helsinki.

Menurut mantan GAM ini, MoU itu adalah perjanjian bersama yang menjadi solusi penyelesaian konflik selama ini. Namun sayangnya para petinggi di Aceh, khususnya beberapa elit politik GAM mengambil kesempatan itu untuk dijadikan sebagai komoditi politik.

“Setiap ada momen politik seperti pilkada dan pemilu, perjanjian Helsinki tersebut selalu dikatakan belum selesai dan ada kemungkinan dengan MoU itu Aceh bisa merdeka. Padahal semua polemik sudah bisa dikatakan selesai dengan adanya MoU Helsinki,” kata Syekhi, di Jakarta, Kamis (3/3/2022).

Dia melanjutkan 16 tahun MoU Helsinki nyatanya belum menjawab masalah kesejahteraan masyarakat Aceh. Perubahan signifikan belum terjadi disana.

Selama ini perdamaian perjanjian Helsinki cenderung diabaikan dan hanya diserahkan kepada pemerintah setingkat Gubernur ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Semestinya persoalan itu didelegasikan, baik internal maupun eksternal harus memahami posisi Aceh kini berada dimana.

“MoU Helsinki adalah sebuah perdamaian yang mengakomodir kepentingan semua pihak. Tapi sayangnya disalahgunakan oleh kepentingan kelompok atau pribadi untuk memperkaya diri sendiri,” tuturnya.

Sebagai jubir AAA yang merupakan wadah silaturahmi, anggota GAM di Australia, ia berusaha menjalin silaturahmi dengan para petinggi GAM dan menyampaikan bahwa MoU Helsinki sudah masuk dalam NKRI. Bukan lagi ada peluang untuk Aceh merdeka.

Seiring waktu berjalan, lanjut Syekhi, implementasi dari perjanjian Helsinki harus ada ketegasan dari pemerintah pusat dan jangan ada pihak yang bermain.

GAM yang pada awalnya adalah memerdekakan diri dengan cara memisahkan diri dari NKRI. Tapi dengan adanya pernjanjian Helsinki, semua itu sudah hilang.

Atas dasar perdamaian antara GAM dan RI, perlu ada penjelasan dan pemahaman dikalangan masyarakat luas agar upaya pembodohan politik oleh pihak-pihak tertentu dapat dihindari.

“Saya sebagai GAM independen ingin mengontrol dan mengawasi, jangan sampai terjadi pembodohan dan pembohongan politik terhadap bangsa Aceh,” terang Syekhi.

Dia menjelaskan, karena Aceh sejak dulu konflik memang karena ideologinya. Maka ketika hal ini tidak diselesaikan dengan baik bersama kesepakatan yang telah ada, harus kembali ke dasar.

Jika mengacu pada perjanjian Helsinki, Aceh sekarang sudah dibawa kearah kemajuan, harus ada perubahan ekonomi. Jadi jangan sampai Partai lokal di Aceh sekarang ini tidak inspiratif dan tidak aspiratif.

Dalam arti, partai lokal ini seharusnya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh secara damai, hukum dan bermarwah.

Namun yang ada kini justru ada pembodohan dan kebohongan. Apalagi sekarang ada anak Syuhada (Jaringan Aneuk Syuhada Aceh/JASA), dimana merupakan anak-anak yatim GAM yang diminta untuk mendukung partai lokal.

Serta dijadikan sebagai alat politik dari para elit dan petinggi GAM seperti Muzakir Manaf yang ingin mencalonkan sebagai Gubernur pada Pilkada 2024 dan sekaligus mengamankan kepentingan kelompoknya dengan menjadikan JASA (Anak Syuhada Aceh) sebagai alat politik yang selalu menyerang pemerintah.

“Partai lokal tidak ada transparansi karena pada dasarnya perjuangan dari partai lokal tujuannya tetap ingin referendum dan digunakan sebagai alat politik untuk membuat kenyang para elit dan petinggi mantan GAM saja,” jelas Syekhi.

Namun secara intelijen, kata Syekhi, partai lokal harusnya menyampaikan secara terbuka dan transparan kepada bangsa Aceh, sehingga bangsa (warga) Aceh bisa mengambil sikap untuk membangun Aceh.

Jangan sampai dari semua pihak ini tidak bisa maju untuk tampil atau mengisi posisi Gubernur dan Bupati, sementara yang ditampilkan adalah orang-orang yang tidak memiliki kapasitas.

Ini diakibatkan tidak ada transparansi karena di satu sisi MoU Helsinki ini bisa menuntut kembali merdeka, bendera bintang bulan bisa berkibar, dan sebagainya. Padahal perihal bendera bintang bulan sudah diatur dalam Keppres ditahun 2006, dimana bendera itu sudah tidak bisa diperjuangkan kembali (dilarang).

Menanggapi hal ini, semestinya para elit baik yang berada didalam maupun di luar GAM ini mempertanyakannya ketika tidak setuju.

“Tapi dari tahun 2006 ke tahun 2022 sudah jauh berjalan, artinya MoU Helsinki ini memang digunakan secara politik oleh para petinggi GAM, tetapi sampaikanlah bagaimana persoalan MoU yang sesungguhnya terjadi di Aceh. Sebab MoU Helsinki ini sudah jelas memasukkan Aceh sebagai bagian dari NKRI bukan lagi Aceh yang merdeka,” ungkap Syekhi.

Jabatan Gubernur yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan Indonesia (pemerintah pusat), sementara yang sudah masuk kedalam jabatan gubernur adalah petinggi GAM.

Dan mantan panglima GAM yang sudah mengambil jabatan dalam partai politik, artinya secara ideologi sudah masuk ke dalam NKRI, yang berarti merupakan kepanjangan tangan dari NKRI.

Tetapi, ia mempertanyakan mengapa mereka seakan-akan berupaya menuntut keberadaan bendera (bintang bulan) yang sebenarnya sejak tahun 2006 sudah tidak boleh dikibarkan. Namun lambang dan simbol itu sudah diatur dalam poin-poin MoU Helsinki.

“Tapi tidak dijelaskan bendera apa sesungguhnya, apa bendera bintang bulan atau yang lain? Seharusnya delegasi ini minta kejelasan,” paparnya.

Syekhi juga mensinyalir para elit GAM yang sudah melebur kedalam partai lokal terindikasi jelas bermain politik untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan.

Sementara dengan kekuasaan itu tidak dirasakan sebagai penyambung tangan bangsa Indonesia. Sehingga kemudian oleh masyarakat Aceh (Den Agam dan Den Anyong atau mantan tentara GAM) selalu menganggap bahwa MoU Helsinki ini masih berpeluang untuk menuntut merdeka. Padahal sudah 16 tahun ini berjalan, semua itu sudah tidak ada.

Selain perlu ada penjelasan perihal bendera, kemudian siapa yang setuju atau tidak bisa mengeluarkan pernyataan sikapnya. Sehingga nantinya setelah ada kesepakatan pemahaman pasti antara pemerintah pusat dengan pemerintahan provinsi Aceh, maka akan terbuka peluang bagi calon-calon pemimpin yang mampu memimpin Aceh.

“Jangan sampai Aceh tertutup untuk orang-orang yang punya kemampuan untuk kemajuan Aceh. Ini bukan kata saya, ini keinginan bangsa Aceh secara menyeluruh,” imbuh Syekhi.

Diketahui, perjanjian Memorandum of Understanding Helsinki merupakan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pihak GAM yang ditandatangani di Vantaa, Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.

Dalam Butir 4 Jilid 2 MoU tersebut sudah dinyatakan tidak boleh menggunakan simbol-simbol GAM, termasuk bendera. Salah satu petinggi GAM yaitu Muzakir Manaf yang memanfaatkan JASA dengan Ketua Buchori sebagai alat politik untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh pada Pilkada 2024.

“Sebagai masyarakat Aceh perlu diwaspadai sikap dari para elit Politik seperti ini, jangan mudah ditipu oleh Muzakir Manaf dan JASA (Ketua Buchori),” tutup Syekhi.(Irawan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *