Jakarta, Sriwijaya Media – Maraknya pertambangan batubara liar dan spanyol alias semi ilegal, berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sosial sekitar tambang.
Salah satu penyebabnya adalah maraknya aksi premanisme yang berkedok menjaga keamanan tambang. Padahal, tambang-tambang tersebut ternyata tidak berizin.
Hal ini kerap kali berakibat konflik dengan penduduk setempat. Sebab, kerap kali lahan yang digunakan masih dalam status sengketa atau masih milik hak ulayat.
Menyikapi hal ini, Wimbo, aktivis 98 sekaligus juga pecinta alam menilai sudah saatnya Kapolri turun tangan.
“Aparat lokal terlihat sudah tak berdaya berhadapan dengan kekuatan mafia batubara ini. Mereka bahkan sudah berani beraksi siang hari, terang-terangan. Kami tidak menuduh ada aparat yang ikut bermain, namun menurut informasi yang kami peroleh ya seperti itu adanya,” ujar Wimbo.
Selain masalah premanisme, dia juga menyoroti persoalan lingkungan yang rusak oleh pertambangan liar. Bahkan, pertambangan resmi pun kerap meninggalkan persoalan lingkungan, terutama terkait ashes dan kubangan.
Apalagi yang ilegal, bahkan ada modus dengan pembebasan lahan menggunakan SKT diatas lahan yang memiliki IUP OP/RKAB. Padahal, jelas itu melanggar undang-undang, namun mereka menempatkan preman-preman bersenjata tajam seolah-olah pihak merekalah pemilik lahan.
Wimbo mengaku tidak terkejut saat anggota Komisi VII DPR RI M Nasir menyebut nama Tan Pauline sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan di Kalimantan.
Namun, lanjut dia, hal tersebut harus diklarifikasi lebih lanjut apakah benar perusahaan Tan Pauline yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau ada perusahaan lain.
“Sudah kewajiban Polri untuk memeriksa setiap dugaan dan sinyalemen kerusakan lingkungan dan premanisme yang terkait mafia pertambangan sesuai dengan amanah dari Presiden Jokowi,” papar Wimbo.
Meskipun demikian, kata Wimbo, Yudhistira pengacara Tan Pauline sudah menyampaikan bantahan terkait isu tersebut. Dimana, menurut Yudi aktifitas usaha kliennya pasti juga dievaluasi oleh Tenaga Teknis Tambang yang sudah berkompeten dan bertanggungjawab dalam menyusun perencanaan kegiatan pengangkutan, khususnya dalam perencanaan jalan angkut yang harus memperhatikan aspek sipil guna dapat menciptakan jalan angkut batubara yang layak.
Wimbo menegaskan yang berwenang memberikan klarifikasi tersebut adalah penegak hukum.
“Boleh saja pengacara Tan Pauline menyebut tudingan ini sangat tidak masuk akal. Tetapi, sudah menjadi Kewajiban dan kewenangan Kapolri untuk membuka ke publik fakta yang sebenarnya,” jelas Wimbo.
Menurut Wimbo, dia sangat mendukung Kapolri untuk segera memeriksa perusahaan dan aktifitas bisnis batubara milik Tan Pauline. Karena hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar seluruh isu dan wacana terkait mafia batubara, terutama di Kalimantan.
Jangan sampai, karena Kapolri terlalu pasif dan cuek pada kondisi ini, publik jadi menduga-duga integritas Kapolri dalam menuntaskan mafia pertambangan sebagaimana amanah Presiden.
“Dengan memeriksa perusahaan dan aktivitas bisnis batubara milik Tan Pauline dan perusahaan tambang lain yang melakukan pertambangan liar hingga merusak lingkungan,” imbuhnya.(Irawan)