Arif Bawono : Referendum, Pemutus Polemik Kenegaraan

IMG_20220316_192204

Jakarta, Sriwijaya Media – Wacana penundaan Pemilu menjadi polemik kenegaraan yang bisa mengancam integritas bangsa ini. Di level elit, isu itu pertama kali dilontarkan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Usulan Bahlil pun lantas bersambut, Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (PKB), Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan mengemukakan usulan agar Pemilu 2024, yang jadwalnya telah disepakati pemerintah, DPR, KPU untuk dilaksanakan pada 14 Februari 2024, ditunda.

Usulan ini lantas mendapat perlawanan cukup sengit. Bukan hanya dari kubu oposisi. Bahkan, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan partainya tak menginginkan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden.

Hasto mengatakan Presiden Joko Widodo pun tak menginginkan hal tersebut.

Jika polemik ini dibiarkan berkepanjangan tanpa solusi, maka diprediksi polarisasi rakyat akan semakin tajam dan runcing. Bisa dikatakan lebih buruk dibanding polarisasi masa Pilpres 2019 lalu.

Menurut Aktivis 98 sekaligus Ketua Bidang Politik PP KB FKPPI Arif Bawono, usulan penundaan pemilu atau pun penambahan masa jabatan presiden saat ini masih tertutup.

“Konstitusi kita, UUD 1945, secara tegas di Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” kata Arif, Rabu (16/3/2022).

Meskipun terhalang oleh konstitusi, namun hal itu (penundaan pemilu) juga bukan hal mustahil. Sebab, pada dasarnya UUD 1945 pun merupakan konstitusi yang terbuka terhadap perubahan.

“Ingat Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD,” ujar Boy, sapaan akrabnya ini.

Dia menambahkan, dalam pasal tersebut, UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR.

Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR.

Setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan. Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.

Jadi secara teknis, mengubah UUD 1945 melalui proses amandemen bisa saja dilakukan untuk menindaklanjuti wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden.

Namun, jika melihat dampak dari usulan penundaan pemilu berkaitan langsung dengan ketentuan-ketentuan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Penundaan Pemilu, artinya mereka akan memperpanjang masa jabatan mereka sendiri.

“Ini berarti akan ada konflik kepentingan dalam pengajuan usul amandemen. Sebab, hasil amandemen itu bisa dipastikan akan menguntungkan para pengusul dan pembahas,” paparnya.

Dia menambahkan jika dipaksakan untuk melakukan amandemen untuk perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu, maka dapat dipastikan akan membawa dua dampak langsung.

Pertama, secara hukum produk UU yang rawan konflik kepentingan ini bisa dimasukan dalam delik korupsi. Setidaknya merupakan persekongkolan jahat. Kedua, amandemen tidak akan memiliki dasar legitimasi yang cukup. Apakah konstitusi yang tidak legitimate akan mampu bertahan lama?

Jika amandemen tetap dipaksakan dan dilaksanakan, maka para penyelenggara negara itu semuanya mungkin sah, tapi tidak terlegitimasi. Maka risiko terbesarnya adalah, pembangkangan rakyat untuk mematuhi mereka.

Rakyat akan jalan sendiri-sendiri, menurut maunya sendiri. Rakyat memiliki alasan membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat memiliki alasan menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal.

“Solusi paling memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Maka, tanyakan langsung ke rakyat maunya bagaimana? Hidupkan kembali beleid referendum,” terang Boy.

Menurut Boy, Indonesia pernah memiliki UU No 5/1985 tentang Referendum. Dalam Pasal 1 huruf a UU tersebut disebutkan referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.

“Sayangnya, UU ini dihapuskan melalui UU No 6/1999. Semangat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, telah dibajak di pekan pertama oleh orang tua di parlemen dengan menghapus UU Referendum dan memperkosa konstitusi seenaknya. Saat ini, sebagian mereka berteriak amandemen UUD1945 terlalu liberal,” jelasnya.

Polemik masa jabatan presiden dan penundaan pemilu ini merupakan saat tepat untuk menghidupkan kembali referendum. Hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini. Pemerintah dan parlemen hanyalah penyelenggara negara.

“Jangan sampai ini keterusan, apalagi kita semua mafhum bagaimana oligarki bekerja di eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Jika, semua hal termasuk kedaulatan kita percayakan pada mereka. Negara dan bangsa ini akan semakin tergadai,” imbuhnya.(irawan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *