Jakarta, Sriwijaya Media – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) tidak melihat sejumlah fakta yang terungkap di persidangan di tingkat Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menjerat terdakwa eks Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi (FH).
Diketahui, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Fakhri Hilmi. Dengan demikian, hakim MA memvonis bebas eks petinggi OJK tersebut.
Padahal dalam perkara korupsi PT Jiwasraya, para terdakwa lain seperti Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Kasubdit Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Wagiyo mengatakan bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, ada rentetan peristiwa perbuatan tindak pidana korupsi yang saling berkaitan antara FH dengan pihak lain yang juga sebagai saksi dalam perkara tersebut dan juga terdakwa yang sudah divonis bersalah.
Rentetan peristiwa tersebut, kata Wagiyo, diawali adanya pertemuan antara FH dengan EF (Eks Dirut Bursa Efek Indonesia) dan JHT di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, untuk membahas permasalahan pembelian saham yang tidak sesuai peraturan perundangan-undang tentang Pasar Modal.
Oleh karenanya, penetapan mantan Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A OJK FH sebagai tersangka karena secara materil memiliki dua alat bukti yang cukup.
“Inti pembicaraan dalam pertemuan tersebut, ada yang sangat mendesak untuk minta tolong ke FH untuk tidak di tindak oleh OJK. Maka kemudian saksi EF dan JHT bertemu FH di kantor OJK pada saat itu,” kata Wagiyo, dalam keterangannya, Selasa (12/4/2022).
Ketua Jaksa penuntut umum (JPU) perkara Jiwasraya ini menuturkan, FH selaku Kepala Departemen Pasar Modal ILA tahun 2014-2017 dan Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II tahun 2017- 2020, karena kewenangannya itu telah mengetahui sejak awal bahwa yang pertama, saham-saham yang menjadi underlying (ISI) dalam Reksadana yang dikelola oleh 13 Manajer Investasi (MI) adalah saham-saham emiten dari perusahaan milik HH sebagai hasil manipulasi perdagangan.
“Kedua, kepemilikan atas saham-saham dalam reksadana tersebut adalah bersumber dari penyertaan investasi PT AJS (Asuransi Jiwasraya),” tuturnya.
Ketiga, investasi PT AJS dalam reksadana yang dilakukan oleh HH atau JHT tersebut telah rugi dan melanggar batasan komposisi kepemilikan saham yang diatur dalam Peraturan OJK.
“Dimana diketahui bahwa investasi PT AJS dalam reksadana tersebut didominasi oleh saham-saham yang dikendalikan oleh HH atau JHT,” paparnya.
Lebih lanjut, pengetahuan FH tersebut sebagaimana tertuang dalam Nota Dinas DPTE (Direktorat Pengawasan Transaksi Efek) pada 30 Juni 2016 yang ditandatangani oleh FH.
Namun anehnya, ternyata FH tidak menjatuhkan sanksi pembubaran reksadana yang merupakan kewenangannya. Tetapi membiarkan manipulasi perdagangan saham-saham tetap berjalan dan dilakukan oleh HH dan JHT melalui 13 Manajer Investasi yang dikendalikan oleh HH.
Kemudian dikendalikan dengan cara memerintahkan kepada 13 Manajer Investasi tersebut untuk melakukan penyesuaian komposisi saham, seolah-olah tidak terjadi pelanggaran komposisi yang mengarah adanya saham yang dikendalikan oleh HH dan JHT.
Hal tersebut disebabkan, karena tidak dilakukan tindakan pengawasan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh FH sebagai Deputi Pengawas OJK. Karena sebelumnya dalam pertemuan yang dilakukan di Kantor OJK, telah ada kesepakatan antara FH dengan pihak HH yakni EF selaku mantan Dirut PT BEI dan terdakwa JHT, yang meminta agar diberikan waktu penyesuaian yang disetujui oleh FH.
Atas perbuatan FH tersebut mengakibatkan kerugian yang sudah dialami oleh PT AJS dalam pengelolaan investasi saham menjadi bertambah dengan adanya kerugian Investasi Reksadana yang dikelola oleh 13 Manajer Investasi.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa pihaknya telah mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan benar.
Sebagian Hakim MA berdalih, terdakwa FH telah menjalankan tugas dan fungsi kewenangannya.
“Setelah dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum, Majelis
Hakim Kasasi berpendapat terdakwa FH dalam kedudukannya sebagai Kepala Deputi Pengawasan Pasar Modal telah menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai Terdakwa FH telah melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP) yang ada,” terang Andi Samsan dalam keterangan tertulisnya saat dihubungi, Selasa (12/4/2022).
Oleh karena itu, kata Andi Samsan, dalam putusan Kasasi MA, Terdakwa FH tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU).
Sedangkan dalam Putusan Kasasi MA, terdapat alasan atau pertimbangan hukum yang berbeda antara sesama majelis hakim. Dimana terdakwa FH dinyatakan tidak terbukti atau lepas dari segala tuntutan hukum.
“Bahwa dalam putusan kasasi MA yang membebaskan terdakwa FH, ada perbedaan pendapat di antara hakim yang mengadili maupun memeriksa dan memutuskan perkara tersebut (terjadi dissenting opinion), yaitu salah satu Majelis Hakim menyatakan FH terbukti melakukan tindak pidana korupsi,” papar Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (11/4/2022).
Diketahui, putusan kasasi MA yang membebaskan FH dari segala dakwaan JPU dalam perkara dugaan korupsi di PT AJS.
“Menyatakan terdakwa FH tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair,” jelas Hakim MA melalui
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Kamis (7/4/2022).
Sehingga membebaskan terdakwa FH dari segala tuntutan dan dakwaan JPU. (irawan)