Direktur Imparsial : Kritikan Bagi Elit Politik Dianggap Ancaman

IMG-20220421-WA0037

Jakarta, Sriwijaya Media – Terseretnya dua penggiat HAM yakni Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar yang menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dalam laporan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan menjadi petunjuk tersendiri bagi Direktur Imparsial Gufron Mabruri.

Gufron mengatakan bahwa perilaku elit politik dalam menanggapi kritikan dari masyarakat sipil, khususnya aktivis masih belum juga berubah.

“Kalangan elit politik masih menganggap kritikan sebagai hal yang mengancam,” kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri di Jakarta Selasa (19/4/2022).

Terkait kasus yang menimpa Fatia dan Haris, yang seolah dalam kasus tersebut memposisikan mereka sebagai “kambing hitam” dari permasalah yang ada, kata dia, apa yang terjadi pada Fatia dan Haris menunjukan bahwa budaya politik di negeri ini, terutama dikalangan elit belum menunjukan adanya suatu perubahan yang siginfikan sesuai dengan nilai-nilai yang seharusnya diusung dalam konteks demokrasi yaitu HAM, kebebasan, dan lain sebagainya.

“Kultur elit kita belum berubah, terutama dalam hal bagaimana mereka menyikapi kritik public terhadap kebijakan pemerintah. Kritik itu masih dianggap sebagai sesuatu hal yang negative, buruk dan ancaman buat mereka. Jadi kultur dan cara pandang (perspektif) yang belum berubah maka kemudian konsekwensinya seperti yang dialami oleh Haris, Vijay dan aktivis lainnya,” paparnya.

Perubahan politik yang terjadi paska 98 sifatnya prosedural/formal dan bersifat kelembagaan tapi tidak dibarengi oleh perubahan yang bersifat kultural.

Meski diakui ada perubahan, misalnya secara undang-undang kita ada konstitusi, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan lebih dari 10 instrumen HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, termasuk 2 konvenan induk (termasuk sipil dan ekosoc), kehadiran Komnasham dan Kompolnas serta lembaga pengawas lainnya.

Tapi pertanyaannya adalah karena persoalan kultur elitnya belum berubah, maka capaian tadi hanya normatif saja dan tidak dijalani oleh mereka.

Justru sebaliknya undang-undang yang bermasalah mereka pakai untuk mengkriminalisasi, menyerang atau untuk melakukan pembatasan.

“Jadi persoalan pertama yang harus kita lihat adalah kultur elit kita samasekali belum berubah dalam konflik kita. Salah satunya dalam cara pandang mereka dalam menghadapi kritik kita sebagai suatu masalah/ancaman. Sehingga aktivis yang melakukan itu (memberikan kritik) dikriminalisasi, dibatasi, diserang, dan sebagainya. Itu problem umum perpolitikan kita hari ini,” terangnya.

Paska 98 kehadiran NGO-NGO dibidang HAM dan demokrasi begitu marak dan nyaring suara serta sepak terjangnya, tapi mengapa kini tidak segiat dahulu bahkan terkesan tenggelam.

Secara umum, pihaknya melihat ada kecenderungan tahun 1998-2000 dalam korelasi negara dengan masyarakat sipil (state civil sociaty relation) posisi masyarakat sipil lebih kuat pengaruhnya terhadap gerakan dan dinamikanya.

Sehingga pada masa itu ada capaian-capaian positif yang dihasilkan karena Negara tengah mengalami transisi sehingga ada pelemahan saat proses otoritarian menuju penataan. Maka saat itu gerakan civil sociaty lebih kencang. Sementara pada 10 tahun terakhir, ada kecenderungan kekuatan negara terjadi.

“Bersamaan dengan hal itu, masyarakat sipil sendiri mungkin merasa perlu ada semacam refleksi dan konsolidasi bagaimana menghadapi pemerintahan kita yang bergejala pada menguatnya Negara ini. Dalam beberapa hal mungkin kita bisa lihat indikasinya, salah satunya fakta-fakta kelahiran UU Omnibus Law, UU KPK (revisi), Perppu Ormas (yang sudah disahkan DPR akan memberikan wewenang eksekutif, sehingga tidak ada lagi pembubaran ormas melalui pengadilan, semua lewat pemerintah (excecutive happy)), UU Terorisme Tahun 2018 (revisi) itu juga memberi kewenangan baru bagi negara terutama dengan masuknya militer, dan UU PKS yang terbaru,” ulasnya.

Dia menambahkan jadi memang secara umum kalau dilihat beberapa produk legislasi yang memperkuat kewenangan negara ada semacam gejala menguatnya negara dalam relasi civil sociaty.

Belum lagi kalau ditambahkan dengan berapa aktivis yang mengalami kriminalisasi, serangan, pembatasan, pembubaran, dan sebagainya baik di Papua, Jakarta, mahasiswa dan sebagainya.

Secara kebijakan pihaknya melihat perkembangan seperti itu. Kemudian ada pelaksanaanya, entah kemudian polisi menjadi instrument untuk melakukan hal itu.

Sementara disisi lain pihaknya melihat masyarakat sipil juga perlu refleksi dan konsolidasi bagaimana menghadapi realitas politik sekarang ini.

Secara pondasi dengan lemahnya NGO-NGO tersebut, pihaknya menilai kekuatan masyarakat sipil masih kuat.

“Saya tidak tahu apakah ini berlebihan atau tidak. Tapi yang saya lihat masyarakat sipil masih punya pondasi yang kuat akan hal itu, misalnya kita lihat gerakan mahasiswa kemarin dan sebelumnya dalam isu Omnibus Law dan sebagainya, itu menunjukan cerminan adanya gerakan masyrakat sipil yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Kemudian ada segmen lain, mulai dari NGO dan buruh yang secara pondasi sebenarnya menunjukkan bahwa kita masih punya pondasi gerakan. Namun bagaimana gerkan itu bisa menjadi sebagai suatu gerakan bersama. Disitu menunjukan bahwa upaya refleksi dan konsolidasi menjadi penting,” jelasnya.

Untuk rencana aksi 21 April 2022 yang dijadikan sebagai ajang kritik terhadap berbagai situasi dan kebijakan pemerintah belakangan ini apakah imparsial akan ikut turun, pihaknya memastikan akan bareng dengan teman-teman Kontras mengikuti aksi tersebut.(Santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *