Jakarta, Sriwijaya Media – Pertemuan G20 kerap mendapatkan kritik dan protes. Sebab dianggap sebagai ajang legitimasi jalan kapitalisme global yang menyebabkan kemiskinan global tetap bertahan dan merajalela.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Kebudayaan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) AJ Susmana, menanggapi Jalan Kebudayaan Kemendikbudristek untuk Pertemuan G20, Rabu (27/4/2022).
Menurut dia, negara-negara yang bergabung dalam G20 terdiri dari dua unsur yaitu negara maju dan berkembang dengan penduduk yang berjumlah banyak yang seakan merepresentasikan mayoritas jumlah manusia di bumi.
Dua unsur tersebut menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan bila G20 hanya menjadikan negara-negara berkembang sebagai sandaran sebagaimana praktiknya selama ini.
“Untuk Pulih Bersama dan Pulih lebih kuat, justru “kemiskinan, ketidaksetaraan, ketidakadilan..” harusnya tetap menjadi isu pokok, utama dan prioritas dan dengan Presidensi Indonesia di G20 kali ini, Indonesia berkesempatan untuk menggaungkan lebih keras. Kalau tak ada keadilan, tentu bukan pulih bersama dan pulih lebih kuat yang didapat tetapi bisa jadi bunuh diri bersama,” ujar AJ Susmana.
Dia mengilustrasikan seekor angsa terlahir dengan dua kepala. Kepala di atas selalu bisa memakan buah-buahan segar dan makanan bergizi lainnya.
Sementara kepala di bawah selalu hanya bisa memakan sisa dari kepala di atas dan makanan yang tidak bergizi di bawah. Suatu hari, kepala di bawah berkata kepada kepala di atas ”berikan aku buah segar di atas itu. Jatuhkan segera. Jangan hanya dari sisa gigitanmu atau buah-buah busuk yang berjatuhan”.
Tetapi kepala di atas tidak menggubris dan tidak peduli. Bahkan sampai ketika kepala di bawah mengancam akan memakan buah beracun yang bisa menyebabkan kematian bersama.
“Kepala di atas terkejut akan kenekatan kepala di bawah. Tetapi sudah terlambat. Kepala di bawah memilih memakan buah beracun,” cerita AJ Susmana.
Tentu sangat baik bila kebudayaan bisa berperan untuk memulihkan kondisi dunia dan menjadi jalan strategis.
Melalui pertemuan Budaya G20 itu, sangat diharapkan bila Kemendikbudristek memajukan dan mendorong agar budaya lokal atau budaya nasional di masing-masing negara G20 menjadi landasan bagi pemajuan budaya global yang berkelanjutan yang melestarikan bumi, menjunjung tinggi kemanusiaan, merespek Hak Asasi Manusia (HAM), melahirkan keadilan sosial ekonomi untuk menuju dan menjaga kebahagiaan bersama.
Diketahui, melalui siaran pers Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada September 2022 akan memimpin Pertemuan Tingkat Menteri Kebudayaan G20 (G20 Culture Ministers’ Meeting).
Sebagai awal rangkaian kegiatan G20 di bidang kebudayaan menuju G20 Culture Ministers’ Meeting, Kemendikbudristek menggelar 1st Senior Officials Meeting (SOM) G20, pada Jum’at (22/4/2202).
Pada Pertemuan G20 Bidang Kebudayaan, Kemendikbudristek yang memimpin hajatan itu akan menawarkan Jalan Kebudayaan untuk Hidup yang Berkelanjutan. Seperti apakah Jalan Kebudayaan untuk hidup yang berkelanjutan itu?.
Kemendikbudristek dalam hal ini melakukan refleksi tentang situasi pascapandemi.
“Pandemi telah mengungkapkan kerentanan laten dalam gaya hidup modern kita. Kita tidak lagi berbicara tentang kemiskinan, ketidaksetaraan, ketidakadilan, tetapi tentang kelangsungan hidup manusia sebagai spesies. Untuk pulih bersama, dan pulih lebih kuat, kita membutuhkan gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid.
Disebutkan Hilmar Farid bahwa ada dua tujuan utama Kemendikbudristek mengambil kepemimpinan G20 bidang kebudayaan. Pertama, untuk membangun konsensus global untuk normal baru yang berkelanjutan; dan kedua, menginisiasi agenda pemulihan global melalui pembentukan jaringan aksi bersama di bidang kebudayaan.
Memimpin SOM G20 bidang kebudayaan perdana, Hilmar Farid mengatakan bahwa pertemuan ini akan fokus membahas peran budaya dalam mempromosikan kehidupan yang berkelanjutan.
“Pertemuan akan mengeksplorasi kemungkinan normal baru, yaitu transisi menuju kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada keadilan sosial-ekologis berdasarkan keragaman sumber daya budaya,” terangnya.
Ada lima isu utama: pertama, mengenai peran budaya sebagai pendorong kehidupan berkelanjutan. Kedua, tentang dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari kebijakan berbasis budaya. Ketiga, tentang cultural commoning (pengelolan bersama atas sumber daya budaya) yang mempromosikan gaya hidup berkelanjutan di tingkat lokal.
Keempat, akses yang berkeadilan untuk peluang ekonomi budaya. Kelima, mobilisasi sumber daya internasional yang untuk mengarusutamakan pemulihan berkelanjutan dengan menginisiasi suatu mekanisme pendanaan untuk pemulihan seni dan budaya yang sangat terpukul selama pandemi.
Hilmar menjelaskan bahwa dalam mempromosikan gaya hidup baru ini, budaya memainkan peran penting.
“Berbagai pengetahuan, institusi, ekspresi budaya, dan praktik yang kita warisi telah melewati ujian waktu sehingga terus dibawa ke zaman modern. Jika berbagai sumber budaya ini dikonsolidasikan, kita akan memiliki sarana untuk menciptakan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Inilah jalan kebudayaan yang ditawarkan Presidensi Indonesia di G20,” tegas Hilmar.
Tema pokok G20 sendiri kali ini di bawah Presidensi Indonesia adalah “Recover Together, Recover Stronger” Pulih bersama, Pulih lebih kuat.
Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.(Santi)