Sriwijayamedia.com – Konflik Papua hingga kini belum ada solusi penyelesaiannya, bahkan aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) masih dirasakan meresahkan. Yidak hanya bagi masyarakat Papua sendiri, namun juga bagi warga sipil lainnya.
Menanggapi konflik Papua tersebut, sriwijayamedia.com, Sabtu (29/11/2025) melakukan wawancara khusus dengan Prof DR Hironimus Taime, SE., MBA., selaku Tokoh Adat Tabi – Jayapura – Papua, sekaligus Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua (DPN PAP) dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LSM Pijar Keadilan Demokrasi (PIKAD)
Terkait seruan peringatan manifesto politik kemerdekaan bangsa Papua ke-64 pada 1 Desember 2025 yang disampaikan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) beberapa waktu yang lalu, Hironimus mengatakan ULMWP sebagai salah satu aliansi pecahan dari Negara Federal West Papua hasil Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Adat Papua hanya mengingat peristiwa rutin Negara Boneka Papua Merdeka buatan Belanda sebelum angkat kaki dari Papua Tahun 1963 sehingga selalu bikin seruan rutin saja.
“Kalau sifatnya seruan kekuatan pasukan di lapangan saya lihat seluruh Papua tidak ada, justru kombatan OPM KKB di Hutan Papua makin lemah dan makin habis seiring penanganan keamanan oleh TNI Polri secara terstruktur, sistematis dan terukur menggunakan taktik strategi perang yang sangat smart dengan menggunakan peralatan yang dimiliki TNI Polri sebagai kekuatan negara yang sangat baik,” ujarnya.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus melakukan 3 (tiga) hal, yaitu, rekonsiliasi dan menulis buku sejarah Papua dalam bingkai NKRI, dan disosialisasikan, baik di sekolah hingga ke perguruan tinggi.
Serta melakukan revisi UU Otsus Papua, khusus pada klausul bendera harus memasukan bendera Bintang Kejora sebagai bendera adat atau budaya Papua.
Pada Pasal Majelis Rakyat Papua (MRP) harus ada unsur pemuda dan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, serta dana otsus Papua dijadikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada orang asli Papua tiap bulan, dan lain-lain yang dipandang perlu.
Diketahui, Papua di Mata Internasional tidak lebih dari kekayaan Sumber Daya Alam (SDA)-nya yang limpah dan hanya jadi lahan rebutan.
“Contoh hadirnya Perusahaan Tambang Bawah Tanah yang dikelola PT Freeport Indonesia sudah lebih dari 50 Tahun. Kemudian era Jokowi diperpanjang kontraknya untuk 20 tahun kedepan, Perusahaan Tambang Gas Terbesar di Asia Tenggara oleh BP LNG Tangguh di Bintuni. Pengeboran Minyak oleh Sheel Petrolium di Sorong dengan memanfaatkan keterbatasan SDM dan Modal serta Tekhnologi yang dimiliki orang asli Papua dan adanya suara orang asli Papua yang terus teriak Papua Merdeka,” ungkapnya.
Hironimus mendesak agar dengan ditulisnya sejarah Papua dalam bingkai NKRI dan disosialisakan secara masif, maka dapat meredam suara yang teriak Papua Merdeka bentukan Belanda yang menjadi alat adu domba sehingga dapat diredam dalam kurun waktu mendatang.
“Mahasiswa setelah membaca setelah disosialisasikannya revisi sejarah Papua yang sebenarnya dalam Bingkai NKRI maka dapat diikuti tindakan atau sanksi hukum bagi yang melanggar,” terangnya.
Bahkan, lanjut dia, dengan dana Otsus dan BLT tiap bulan, maka masyarakat orang asli Papua merasakan langsung ekonomi tiap bulan untuk kebutuhannya, dan Kepala Daerah Orang Asli Papua dapat diterima dan meredam gejolak pemilu.
“Masuknya unsur Pemuda dalam MRP maka tidak ada lagi demo turun jalan karena sudah ada Perwakilan Pemuda dan Mahasiswa di Sistem Lembaga Kultural sebagai perpanjangan tangan dan penyambung suara lidah Pemuda/i di Tanah Papua, sehingga aparat dengan pasal itu tidak izinkan aksi demo turun jalan di Papua,” paparnya.
Dia mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran harus membentuk Tim Khusus diluar dari Komite Percepatan Otsus Papua dengan tugas khusus.
“Adapun tugas khusus yang dimaksud adalah, konstruksikan masalah krusial, kemudian diseminarkan hasilnya. Setelah itu segera dirumuskan untuk dijadikan kebijakan. Undang perwakilan unsur-unsur elemen tokoh pemangku kepentingan seluruh Papua secara bersamaan atau bergantian duduk dengan pemerintah dan deklarasikan Papua Bersatu yang aman dan damai,” imbuhnya.
Sehingga dengan masihnya konflik keamanan di wilayah Papua, maka kerugian Pemerintah Indonesia pasti akan selalu dirasakan tidak hanya oleh masyarakat Papua sendiri tapi juga seluruh Rakyat Indonesia.
“Kerugiannya jelas, selain korban jiwa dari masyarakat Papua atau warga sipil lainnya, juga rasa aman yang diharapkan masyarakat Papua belum terwujudkan. Selain itu, upaya melakukan pemekaran provinsi atau kabupaten di Papua sebagai upaya memperpendek rentang kendali dalam rangka pembangunan Papua menjadi terganggu. Dan inilah yang menyebabkan pembangunan tidak merata di tanah Papua,” jelasnya. (Irawan)









