Buruh Tolak Kenaikan Upah Minimum 2026 Sebesar Rp100.000 per Bulan

Presiden KSPI dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh secara resmi menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), yang akan mengumumkan kenaikan upah minimum tahun 2026 pada 21 November 2025, dengan menggunakan formulasi nilai inflasi, nilai pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang ditetapkan sebesar 0,2 hingga 0,7.

Penolakan ini disampaikan langsung oleh Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal.

Bacaan Lainnya

Dia menilai bahwa langkah pemerintah tersebut merupakan bentuk kemunduran politik pengupahan nasional dan kembali menghidupkan rezim upah murah yang selama ini merugikan jutaan buruh di seluruh wilayah Indonesia.

Said Iqbal menegaskan bahwa tidak ada dasar akademik, riset, ataupun survei yang kredibel atas penetapan nilai indeks tertentu sebesar 0,2 hingga 0,7.

Ia menyebut kebijakan tersebut hanya lahir dari kepentingan sepihak kalangan pengusaha yang diwakili oleh APINDO, kemudian diadopsi dan diformalkan oleh Menaker bersama jajarannya tanpa mendengarkan suara buruh.

Menurut Iqbal, apa yang dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa proses dialog sosial tidak dijunjung tinggi dan pemerintah justru bertindak tidak adil karena lebih memilih teori ekonomi para pemodal daripada realitas hidup kaum pekerja.

“Ini akal-akalan dari pengusaha Apindo yang berkoalisi dengan Menaker dan Wamenaker. Tidak ada survei, tidak ada riset, dan tidak ada kajian akademik yang menjelaskan dari mana angka 0,2 sampai 0,7 itu berasal,” ujarnya.

Iqbal menjelaskan bahwa apabila formulasi tersebut dipaksakan, kenaikan upah minimum tahun 2026 hanya akan berada pada angka sekitar 3,75 persen, di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat 5,12 persen.

Dengan demikian, kenaikan upah tidak akan mampu mengoreksi pelemahan daya beli buruh yang sudah berlangsung lama.

Ia menambahkan bahwa penghitungan menggunakan indeks tertentu 0,2 adalah bukti bahwa pemerintah tidak memahami logika perhitungan dasar matematis ketika upah rata-rata nasional Indonesia masih berada di kisaran kurang dari tiga juta rupiah per bulan.

“Kalau menggunakan indeks 0,2 dengan inflasi 2,65 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen, hasilnya hanya 3,75 persen. Itu artinya kenaikan upah kurang dari seratus ribu rupiah. Di Jawa Barat bahkan hanya sekitar delapan puluh ribu rupiah per bulan atau dua ribu delapan ratus rupiah per hari. Apa yang bisa dibeli dengan kenaikan sebesar itu? Ini bukan hanya tidak logis, tetapi juga menghina akal sehat dan martabat kelas pekerja,” katanya.

Menurut Iqbal, langkah Menaker tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan tetapi juga dinilai sebagai tindakan politik yang justru berlawanan dengan agenda pembangunan ekonomi Presiden Prabowo Subianto.

Iqbal mengingatkan bahwa pada tahun sebelumnya Presiden secara jelas memberikan nilai indeks tertentu sebesar 0,8 hingga 0,9 yang ditujukan untuk memperkuat konsumsi domestik dan memperluas kelas menengah nasional.

Oleh karena itu, lanjut Iqbal, perubahan drastis terhadap nilai indeks tertentu justru menunjukkan ketidaksesuaian arah kerja pemerintahan.

“Tahun lalu Presiden memberikan nilai indeks tertentu 0,8 sampai 0,9, sedangkan sekarang Menaker menurunkannya menjadi 0,2 hingga 0,7. Itu artinya Menaker melawan kebijakan Presiden. Kalau tidak mau mendengarkan Presiden dan lebih mendengarkan pemodal, sebaiknya Menaker dan Wamenaker mundur saja,” tegasnya.

Iqbal juga menyoroti keterlibatan Dewan Ekonomi Nasional yang menurutnya tidak memiliki mandat dalam proses penetapan upah minimum.

Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan dengan jelas menyebut bahwa pengaturan upah minimum hanya dapat dibahas oleh tiga pihak, yaitu pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha.

Karena itu, keterlibatan Dewan Ekonomi Nasional dianggap sebagai bentuk pelanggaran konstitusional dan penyimpangan prosedural yang sangat berbahaya.

“Penetapan upah minimum bukan domain Dewan Ekonomi Nasional. Mengapa tiba-tiba mereka ikut menentukan kebijakan upah? Mandat itu tidak ada dalam undang-undang. Maka kami meminta agar lembaga tersebut segera keluar dari proses pembahasan upah minimum,” ungkapnya.

Di tengah kebuntuan formula yang diputuskan pemerintah, Said Iqbal menyampaikan bahwa buruh tidak sedang meminta sesuatu yang tidak rasional atau tidak berdasar.

Buruh tetap mengajukan dasar perhitungan resmi yang sama, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan nilai indeks tertentu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 168/2024.

Atas dasar tersebut, buruh mengusulkan angka kenaikan upah minimum tahun 2026 berada pada kisaran 8,5 hingga 10,5 persen dengan nilai indeks tertentu antara 1,0 hingga 1,4.

Iqbal mengatakan, usulan tersebut bukan tuntutan tanpa hitungan, tetapi merupakan kompromi yang rasional karena bertujuan memulihkan daya beli dan menjaga stabilitas perekonomian.

Ia menjelaskan bahwa buruh bahkan telah menyiapkan tiga tingkat kompromi, yaitu kompromi pertama sebesar 6,5 persen dengan mengikuti metode yang ditetapkan Presiden tahun sebelumnya, kompromi kedua sebesar 7,77 persen menggunakan indeks tertentu 1,0, dan kompromi terakhir sebesar 8,5 hingga 10,5 persen sebagai usulan maksimal.

Selain itu, Said Iqbal juga menanggapi isu daya saing yang selama ini dijadikan dalih oleh pihak-pihak tertentu bahwa kenaikan upah dapat menurunkan daya saing dan mengancam peluang kerja.

Ia menegaskan bahwa dalih tersebut merupakan narasi keliru yang tidak memiliki dasar empirik.

Sebagai pembuktian, kata dia, bahwa Provinsi Jawa Tengah yang memiliki upah minimum terendah justru mengalami PHK terbesar dibandingkan wilayah lain sepanjang 2024 hingga 2025.

“Kalau benar upah rendah bisa menjaga daya saing dan menekan PHK, maka Jawa Tengah seharusnya paling aman dari PHK. Yang terjadi justru sebaliknya. Artinya argumen upah rendah sebagai penyelamat industri adalah mitos,” ujarnya.

Pada bagian akhir pernyataannya, Said Iqbal menegaskan bahwa upah layak bukan hanya isu kesejahteraan, tetapi juga terkait arah pembangunan ekonomi nasional.

Upah layak akan meningkatkan daya beli, daya beli akan meningkatkan konsumsi, dan konsumsi akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sebagaimana visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen hingga menuju 8 persen dalam lima tahun mendatang.

“Buruh justru mendukung agenda ekonomi Presiden yang mendorong peningkatan daya beli melalui program-program strategis seperti magang sarjana, perumahan, koperasi desa, dan makan bergizi gratis. Oleh karena itu, kebijakan upah harus sejalan, bukan saling menegasikan,” paparnya.(santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *