Sriwijayamedia.com – Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Pemkot Cilegon untuk segera menghhentikan praktik diskriminasi dan memberikan hak warga negara untuk membangun rumah ibadah dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Ketua YLBHI Isnur menegaskan pihaknya terus memantau perkembangan jaminan penghormatan dan perlindungan kebebasan beragama dan berkepercayaan di Cilegon.
“Kami menemukan rekaman video bahwa Walikota (Wako) CIlegon Helldy Agustian dan Wakil Walikota (Wawako) Sanuji Pentamarta ikut serta menandatangani penolakan pendirian gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon pada 7 September 2022 atas desakan sebagian masyarakat. Dengan ini, YLBHI mengecam keras tindakan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia serta pengkhianatan terhadap konstitusi tersebut,” kata Ketua YLBHI Isnur, Jum’at (9/9/2022).
Menurut dia, bahwa tindakan diskriminatif ini bukan merupakan kali pertama yang dilakukan oleh Pemkot Cilegon, setelah sebelumnya Pemkot Cilegon diketahui telah menolak 4 kali pengajuan Izin Gereja HKBP Maranatha sejak tahun 2006 dan 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak tahun 1995.
Tindakan ini jelas-jelas bertentangan dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Ayat (2) point (g) Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, tindakan ini nyata-nyata bertentangan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana bunyi Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI yang secara tegas menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Serta Pasal 22 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 39 Tahun 19 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
“Dalam kerangka hukum di Indonesia sejatinya telah memberikan jaminan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama: tidak seorangpun dibenarkan mendapatkan tindakan intoleran dari pejabat negara,” jelasnya.
Namun, hal tersebut tidak diiringi dengan komitmen yang kuat dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menjamin rasa nyaman warga negara untuk beribadah.
Kendati pada era Pemerintahan Joko Widodo isu toleransi menjadi salah satu agenda kampanye kebhinekaan, nampaknya melalui kasus ini hal tersebut telah gagal dalam tataran praktik. Kampanye kebhinekaan tanpa diiringi dengan komitmen kuat untuk memfasilitasi dan melindungi kelompok minoritas hanya akan menjadi Gimmick Politik.
Oleh sebab itu, YLBHI mendesak untuk Wako dan Wawako Cilegon segera meminta maaf atas tindakan intoleran dan memfasilitasi pendirian rumah ibadah warga Kota Cilegon, serta segera memberikan izin permohonan pendirian rumah ibadah tersebut diatas dan memberikan perlindungan sepenuhnya.
Lalu, mendesak Menteri dalam Negeri menegur dan memberikan sanksi kepada Wako dan Wawako Cilegon yang bertindak diskriminatif dalam pelayanan publik, serta menjamin tidak berulangnya tindakan serupa di wilayah lain.
“Presiden RI Joko Widodo memenuhi sumpah/janjinya untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sepenuhnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap umat beragama untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan nya masing-masing, termasuk untuk mendirikan rumah ibadah,” paparnya.(Santi)