Sriwijayamedia.com – Badan Narkotika Nasional (BNN) mendesak percepatan penyelesaian revisi Undang-Undang (UU) Narkotika.
Direktur Hukum BNN Toton Rasyid menegaskan bahwa perubahan regulasi sangat mendesak, terutama menyangkut aspek keadilan dalam proses penegakan hukum.
Toton mengungkapkan bahwa dalam KUHP baru (UU No 1/2023), hanya Kejaksaan, KPK, dan TNI yang disebut sebagai penyidik khusus untuk lima tindak pidana berat, termasuk narkotika. BNN tidak lagi disebut secara eksplisit.
“Jika kondisi ini dibiarkan, BNN akan berada di bawah Polri dalam hal penyidikan. Ini berisiko mencederai keadilan hukum dalam kasus-kasus narkotika,” ujar Toton, dalam Diskusi Forum Legislasi bertema : ‘Menuju Regulasi Narkotika yang Berkeadilan: Menimbang Revisi UU 35/2009 tentang Narkotika’, yang diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
Toton menjelaskan, berdasarkan data BNN, prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai 1,73% atau sekitar 3,3 juta jiwa.
Dari jumlah itu, sekitar 300 ribu adalah remaja yang seharusnya menjadi bagian dari generasi emas 2045.
Pemetaan BNN juga mengidentifikasi 9.270 kawasan rawan narkoba, yang tersebar luas di wilayah pesisir Sumatera dan Kalimantan. Dari jumlah tersebut, 457 kawasan dikategorikan sangat berbahaya.
Toton juga menyoroti kondisi global yang memperparah situasi domestik.
Saat ini, sekitar 296 juta orang di seluruh dunia menjadi penyalah guna narkoba, dengan 219 juta di antaranya adalah pengguna ganja. Tren legalisasi ganja telah terjadi di lebih dari 50 negara.
“Pasar narkoba di Indonesia sangat besar, kebutuhan tahunannya sekitar 155 ton ganja, 38 ton sabu, dan 15 juta butir ekstasi,” ungkapnya.
Meski demikian, lanjut Toton, kapasitas rehabilitasi nasional dinilai belum memadai.
Dari 3,3 juta pengguna, hanya sekitar 39.000 orang yang bisa direhabilitasi setiap tahun.
“Sistem rehabilitasi tak bisa dijadikan alternatif pidana tanpa infrastruktur yang cukup. Untuk itu, kami mendorong rawat jalan bagi pengguna dengan ketergantungan ringan agar tidak membebani negara,” imbuh Toton.
Toton menambahkan, revisi UU Narkotika saat ini masih dibahas di tingkat panitia antar-kementerian.
Namun, banyak isu krusial seperti kewenangan penyidikan BNN dan definisi antara pecandu, penyalahguna, serta korban belum menemukan titik temu.
“Ketiganya masih kerap diperlakukan sama seperti bandar, padahal seharusnya pendekatannya berbeda,” jelasnya.
Toton juga menyinggung perlunya pengaturan yang lebih jelas terhadap zat psikoaktif baru seperti kratom yang belum terakomodasi dalam regulasi.
Di sisi lain, BNN saat ini hanya memiliki kewenangan membina lembaga rehabilitasi, tanpa pengawasan langsung terhadap lembaga-lembaga rehabilitasi swasta.
“UU yang ada tidak lagi menjawab tantangan zaman. Revisi ini sangat penting untuk memperkuat peran BNN dalam pemberantasan narkotika dan perlindungan bagi pengguna yang seharusnya dibina, bukan dipidana,” jelasnya. (Adjie)









