Ketua Komisi II DPR: Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu dan Pilkada Berpotensi Langgar Konstitusi

Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi NasDem Rifqinizamy Karsayuda/sriwijayamedia.com-adjie

Sriwijayamedia.com – Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi NasDem Rifqinizamy Karsayuda, menyampaikan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menurut dia, keputusan tersebut berpotensi melanggar Konstitusi dan menciptakan ketidakharmonisan dalam sistem pemerintahan.

Rifqi menegaskan bahwa pemisahan waktu pelaksanaan pemilu bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, dan DPRD. Dirinya menilai, pemilu kepala daerah yang dilaksanakan dua tahun setelah pemilu nasional berpotensi menyimpang dari amanat konstitusi tersebut.

“Putusan ini bukan sekadar teknis penjadwalan, tapi menyentuh legitimasi politik dan hukum dalam tatanan pemerintahan daerah,” ujar Rifqi, dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ‘Bagaimana Nasib DPRD setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu?’, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

Rifqi menjelaskan, ada dua konsekuensi besar dari pemisahan jadwal tersebut. Pertama, muncul dua model pemilu dalam satu siklus pemerintahan.

Kedua, ketidaksamaan waktu pemilihan antara kepala daerah dan DPRD berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan arah kebijakan di daerah. Hal ini dinilai bisa mengganggu koordinasi pembangunan antara pusat dan daerah.

Rifqi juga mempertanyakan kewenangan MK dalam memutuskan hal tersebut.

Menurut dia, MK telah melampaui batas konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, yang menyebutkan bahwa MK hanya berwenang menguji undang-undang terhadap UUD.

“Pembentukan norma baru bukan ranah MK. Itu adalah kewenangan MPR dan pembentuk Undang-Undang,” tegas Rifqi.

Dalam tinjauan sejarah amandemen UUD 1945, Rifqi menilai bahwa pemilihan kepala daerah tetap berada dalam satu kesatuan semangat pemilu nasional.

Ia menyebut bahwa Bab Pemerintahan Daerah tidak berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari sistem ketatanegaraan Indonesia yang mendorong integrasi nasional.

Rifqi juga mengkritik penggunaan Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 sebagai dasar argumentasi pemisahan pemilu.

Menurut dia, dalam putusan tersebut, MK justru menolak permohonan dan hanya memberi alternatif model sistem pemilu, bukan menetapkan pemisahan jadwal pemilu dan pilkada.

“Jika skema ini tetap dijalankan, kita akan menghadapi jeda hampir dua tahun antara pemilu nasional dan pilkada. Ini sangat rawan menimbulkan ketidakharmonisan antara Presiden dan kepala daerah yang terpilih kemudian,” jelasnya.

Rifqi menyerukan pentingnya evaluasi mendalam terhadap posisi dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan.

“Jangan sampai desain konstitusi yang dibangun atas dasar integrasi dan efisiensi justru dikacaukan oleh tafsir normatif yang tidak sejalan dengan semangat reformasi,” jelasnya. (adjie)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *