Sriwijayamedia.com – Wakil Menteri (Wamen) Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Atip Latipulhayat menegaskan bahwa revisi Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) harus menjadi momentum untuk menyatukan seluruh elemen pendidikan ke dalam satu sistem nasional yang utuh.
Atip menilai langkah ini penting bukan sekadar sebagai pembaruan teknis, melainkan untuk mengembalikan esensi sistem pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.
“Revisi ini bukan hanya karena UU-nya sudah berumur 22 tahun, tetapi karena ada kebutuhan untuk menyatukan semua komponen pendidikan yang selama ini terfragmentasi. Kita ingin kembali ke fitrahnya, satu sistem pendidikan nasional,” ujar Atip, dalam Diskusi Forum Legislasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/6/2025).
Atip menjelaskan, meskipun revisi UU Sisdiknas merupakan inisiatif dari DPR RI, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turut memberikan kontribusi substansial, khususnya terkait pendidikan dasar dan menengah.
Dia menyoroti adanya persepsi publik yang menyempitkan cakupan UU Sisdiknas hanya pada pendidikan dasar dan menengah. Padahal undang-undang tersebut seharusnya menjadi payung hukum untuk seluruh jenjang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi dan pesantren.
“Selama ini ada kesan bahwa UU Sisdiknas milik dikdasmen. Sementara pendidikan tinggi, guru dan dosen diatur di undang-undang terpisah. Bahkan ada yang bertentangan, misalnya pendidikan tinggi seharusnya diatur lewat PP, tapi justru diatur lewat UU tersendiri,” katanya.
Menurut Atip, pihaknya bersama DPR dan kementerian terkait tengah menyusun kodifikasi terhadap berbagai regulasi yang mengatur dunia pendidikan.
Upaya ini termasuk kemungkinan penggabungan UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, serta UU Pesantren ke dalam satu sistem hukum yang komprehensif.
“Kita sudah menyusun sistematika awal bersama Badan Keahlian DPR, dan itu sudah dikirimkan ke kementerian-kementerian terkait untuk menjadi acuan dalam penyusunan draf perubahan,” jelasnya.
Revisi UU Sisdiknas, lanjut Atip, juga akan mencakup aspek substansial yang mencerminkan kemajuan zaman.
Di antaranya adalah pemanfaatan teknologi, pengembangan kurikulum yang lebih fleksibel, serta pembenahan sistem pendidikan profesi guru.
“Kita akan mulai ajarkan coding dan kecerdasan buatan di jenjang dasar dan menengah. Undang-undangnya harus bisa mengakomodasi perkembangan seperti ini,” imbuhnya.
Atip juga menyoroti ketimpangan dalam sistem pendidikan profesi guru yang dianggap tidak logis.
Menurutnya, lulusan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) masih diwajibkan menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG), sementara lulusan non-kependidikan hanya menjalani program satu tahun untuk menjadi guru.
“Kalau pakai logika kedokteran, ini seperti sarjana ilmu politik langsung ikut koas. Itu kan tidak masuk akal,” tegasnya.
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pendidikan dasar harus bebas dari pungutan, Atip menilai hal itu harus direspon dengan langkah konkret melalui reformasi anggaran.
Dirinya menyayangkan alokasi anggaran wajib belajar yang hanya menyerap sebagian kecil dari total 20 persen anggaran pendidikan nasional.
“Negara ini langka, mencantumkan 20 persen anggaran pendidikan secara eksplisit di konstitusi. Tapi dalam praktiknya, untuk SD dan SMP cuma 4,9 persen dari total itu. Ini artinya undang-undang harus mengatur ulang prioritas anggaran,” paparnya. (Adjie)









