Sriwijayamedia.com- Ratusan aktivis 98 menolak pemberian gelar mantan presiden Soeharto karena dinilai telah banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat berkuasa.
Bahkan dari berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut, belum ada satupun yang dituntaskan secara terang benderang.
Pernyataan penolakan ini disampaikan bersama-sama dalam acara diskusi publik Refleksi Reformasi 1998 Soeharto Pahlawan atau Pelanggar “HAM”?, di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu (24/5/2025).
Acara diskusi dihadiri oleh elemen-elemen aksi mahasiswa era 98 seperti Forkot, Repdem, dan beberapa akademisi, pengamat serta tokoh-tokoh aktivis pro demokrasi lainnya, meliputi Ubedilah Badrun, Beka Ulung Hapsar, Mustar Bona Ventura, Ray Rangkuti, Anis Hidayah, Jimmy Fajar dan Hengki Irawan.
Pengamat Pemilu Ray Rangkuti menilai adanya kemiripan antara pemerintahan Presiden Jokowi dan Soeharto dalam memimpin. Dimana Jokowi dan Soeharto sama-sama memandang pembangunan dan kemajuan hanya bersifat fisik.
Sehingga demokrasi yang menjadi korban dianggap tidak penting selama tujuan bisa dicapai.
Cara seperti itu tidak beradab dan jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Karena itu, saya menolak dengan cara apapun pemberian gelar pahlawan pada Soeharto. Sebab tidak boleh ada nyawa manusia dihargai sebatas bangunan fisik,” ujar Ray.
Setali tiga uang, akademisi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun memandang 27 tahun reformasi berdasar aspek penegakan hukum dan korupsi masih belum ada perbaikan.
Menurutnya, para investor enggan berinvestasi dinegara yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Tidak mungkin Indonesia mengalami kemajuan ketika demokrasi rusak dan korupsi merajalela.
“Selain supremasi hukum yang lemah, elit politik juga tergradasi. Angka korupsi di negara kita sudah cukup parah. Hampir 30% APBN kita dikorupsi, kasus pelanggaran HAM masa lalu (sejak 1965, 1966, 1998, dan lainnya) juga tidak terselesaikan. Jadi bagaimana mungkin bangsa ini mengalami kemajuan, tapi disisi lain penegakan hukum juga tidak bisa ditegakkan. Hal paling parah lagi, aktor pelaku pelanggaran HAM sekarang ada di istana. Makanya saya heran dengan kawan-kawan yang sekarang justru dekat dengan istana. Persoalan pelanggaran HAM ini penting bagi bangsa, jika tidak akan menjadi beban bagi bangsa kedepannya,” urai Ubed.
Usai kegiatan refleksi, para peserta beserta seluruh aktivis 98 yang hadir menggelar aksi simbolik tabur bunga di atas pusara seluruh korban reformasi dan pelanggaran-pelanggaran HAM. (santi)









