Holding Sub-Holding di PLN Tak Diperlukan

Prof Mukhtasor dalam seminar Gebyar HUT SP PJB ke-23 bertajuk Holding Sub-Holding di PLN Group, Apakah Diperlukan, diselenggarakan pada Kamis (29/9/2022)/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Holding sub-holding di PLN tidak diperlukan. Karena hal itu justru akan menempatkan manajemen, termasuk para direski, dalam posisi yang sulit.

Demikian disampaikan Prof Mukhtasor dalam seminar Gebyar HUT SP PJB ke-23 bertajuk Holding Sub-Holding di PLN Group, Apakah Diperlukan, diselenggarakan pada Kamis (29/9/2022).

Bacaan Lainnya

Dalam kaitan dengan hal ini, PT PLN dan PT PJB bukan sumber masalah, sebab mereka hanya menjalankan perintah. Oleh karena itu, Mukhtasor mengingatkan agar jangan sampai salah alamat ketika menyuarakan kritik terhadap kebijakan holding sub-holing, Sebab kebijakan itu datangnya dari pemerintah, bukan dari PLN.

“Terkait dengan energi, kalau ada kementerian yang basis undang-undangnya melawan UUD, itu di ESDM,” ujar Mukhtasor.

UU Migas, dibuat tahun 2001 dan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melawan UUD hingga kemudian dibatalkan pada tahun 2012. Sekarang sudah 10 tahun berlalu, namun tidak ada penggantinya. Lalu ada UU Kelistrikan.

Beberapa kali undang-undang ini dibawa ke MK, khususnya terkait bundling unbundling. Sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan bertentangan dengan UUD. Jika mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka sistem IPP bertentangan dengan UUD. Selain itu, UU Minerba juga pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Di sana ada pasal yang dibatalkan juga.

Ketika berbicara mengenai penataan BUMN, yang perlu diperhatikan adalah apa dan untuk apa di balik itu. Jika kita perhatikan, sebelum membuat holding sub-holding, saat itu Menteri menyampaikan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas,

“Kalau alasan transparansi dan akuntabilitas, solusinya bukan IPO. Contohnya, Garuda sudah IPO. Tetapi apakah kemudian menjadi lebih baik? Justru kasus-kasus semakin banyak terjadi setelah Garuda melakukan IPO,” tegasnya.

IPO membuka ruang bagi masuknya swasta. Kalau kemudian porsi IPP dominan, itu artinya bukan lagi dikuasasi negara. Akhirnya akan berbahaya bagi kedaulatan energi.

Mukhtasor mengingatkan dengan kejadian di Sumatera, di mana IPP mendikte PLN, kalau tidak sesuai dengan skema bisnisnya, mereka tidak mau menyalakan pembangkitnya.

“Sekarang ini PLN pasarnya digerus, kemudian hulunya dipaksa membeli dari swasta, sudah begitu jaringan mau dibagi-bagi juga. Lama-lama PLN akan menjadi Garuda kedua. Saya khawatir nasib PLN seperti Garuda. Dimana dulu bandara-bandara isinya Garuda, sekarang kalau nyari Garuda susah,” paparnya.

Mukhtasor berpesan agar semua berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dengan memilih sistem sesuai Pasal 33 UUD. Menurut Bung Hatta, usaha-usaha yang besar yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Pelakunya adalah BUMN. Sementara bidang usaha yang kecil melalui partisipasi masyarakat, lalu di bagian tengahnya banyak sekali usaha yang bisa dibangun oleh swasta.

Hal senada juga ditegaskan oleh Ahli Hukum Tata Negara Feri Amsari. Menurut dia, konsep pasal 33 yang paling banyak digunakan adalah perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan azas kekeluargaan.

Dalam penjelasan pasal ini, mengutip pendapat bung Hatta, yang dimaksud adalah koperasi. Inti dari koperasi adalah, mengembangkan ekonomi secara bersama-sama.

“Kalau kita lihat dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi seperti putusan Nomor 01-021-022-PPU-2003, Putusan 58-PUU-2008, hingga putusan 111 yang dibanggakan serikat pekerja dan putusan 61. Dari semua putusan itu, yang paling penting adalah hak menguasai negara. Maksudnya, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasasi hajat hidup orang banyak harus dikuasasi oleh negara,” tutur Feri.

Namun demikian, Feri menganggap MK sedikit plin-plan. Didalam putusan itu dikatakan, pasal-pasal intinya adalah mempertegas, tidak boleh ada upaya untuk melakukan privatisasi. Oleh karena sifat menguasai negara tidak boleh masuk kepentingan lain termasuk swasta, maka pasal-pasalnya dibatalkan. Karena pasal jantung dibatalkan, dengan sendirinya undang-undangnya ikut batal. Sayangnya, pemerintah dan DPR kembali membuat undang-undang baru yang isinya menentang putusan Mahkamah Konstitusi.

Lalu undang-undang itu diuji lagi. MK kemudian bertahan dan menjelaskan, apa yang dimaksud cabang-cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ada tiga model. Pertama, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang. Kedua, tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, tidak penting bagi orang banyak tetapi penting bagi Negara.

“Kalau mengacu pada tiga kriteria di atas, maka Pertamina dan PLN tidak boleh diganggu gugat. Harus dikuasai oleh negara,” papar Feri.

Dalam putusan berikutnya, ada dua hal penting terkait dengan binsis yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Jika dikuasai oleh negara tetapi berpotensi dikuasai oleh sekelompok orang yang bukan negara, maka harus dianggap batal. Kedua, begitu dikuasi swasta tetapi berpotensi menjadi saingan negara, karena dia menguasai hajat hidup orang banyak, maka tidak diperbolehkan.

“Tetapi bisnis adalah bisnis. Walaupun sudah dibatalkan berkali-kali, tetapi hidup lagi. Di sini kita melihat, ada kepentinghan lain. Padahal kalau dilihat pasal 33, konstitusi menghendaki yang harus dipikirkan bukan orang per orangan, tetapi perekonomian secara kekeluargaan,” lanjutnya.

Masalahnya adalah, didalam putusan MK ada celah untuk itu. Disana ada bahasa, kalau nanti PLN tidak sanggup, bolehlah dikasih sedikit. Ini bisa ditafsirkan macam-macam. Padahal undang-undangnya sudah jelas dibatalkan.

“Ini problematika. Karena pada dasarnya tidak ada keinginan dalam UUD yang membuka ruang masuknya privatisasi. Dengan demikian, holding sub-holding tidak diperlukan,” jelasnya.

Setali tiga uang, Ekonom Salamuddin Daeng menambahkan pemerintah sebaiknya menunda untuk mengevaluasi kembali rencana melakukan holding sub-holding, mengingat tugas dan tanggung jawab yang diemban PLN dalam menyelenggarakan ketenagalistrikan merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 33, melaksanakan UU No 30/2009 Tentang Ketenagalistrikan dan melaksanakan putusan MK 111/PUU-XIII/2015 yang intinya mengharuskan pelaksanaan ketenagalistrikan secara terintegrasi.

Rencana kementerian BUMN melakukan holding sub-holding PLN sebagaimana disebutkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 adalah sebagai kebijakan perbaikan portofolio dan penguatan struktur keuangan BUMN melalui pembentukan holding strategis, restrukturisasi BUMN, maupun pengurangan proporsi utang terhadap struktur pendanaan (deleveraging).

Namun, perlu dicermati bahwa urusan PLN bukan hanya sehat atau tidaknya keuangan perusahaan tersebut, namun berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang merupakan tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh PLN.

Sehingga kebijakan holding sub-holding PLN haruslah dibicarakan secara lintas sektoral dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan publik secara luas. Hal ini dikarenakan masih banyaknya problem ketenagalistrikan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan oleh PLN selaku operator listrik.

“Kebijakan sub holding yang terburu buru, kejar tayang, dipaksakan dan bahkan tanpa landasan regulasi akan membahayakan masa depan ketenagalistrikan di Indonesia,” jelasnya.(santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *