Sriwijayamedia.com- Dengan belum dikeluarkannya jadwal persidangan uji materi undang-undang Pemilihan Gubernur (Pilgub), yang diantaranya mengenai batas usia calon kandidat, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) A Fahrur Rozi sebagai salah satu pihak penggugat berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memprioritaskan pelaksanaan agenda persidangan uji materi gugatan tersebut.
Sebab jika mengikuti rencana jadwal kegiatan para Hakim Konstitusi, dipastikan persidangan gugatan tersebut baru akan dimulai pada Juli ini.
Sementara persyaratan-persyaratan pendaftaran bagi kandidat calon kepala daerah sudah dimulai sejak Mei lalu.
Upaya agar MK bisa mempercepat siding, kata Fahrur Rozi, telah dilakukan dengan berbagai upaya advokasi, termasuk dengan melakukan konsolidasi internal bilamana melakukan aksi unjukrasa mendesak MK agar lebih memperhatikan dan memprioritaskan penanganan gugatan ini.
Dia juga menegaskan jika gugatan yang dilakukannya bukan atas permintaan atau dukungan dari kelompok maupun elit lain.
Langkah hukum yang ditempuh menurutnya murni sebagai kesadaran moral seorang mahasiswa yang memiliki pemahaman akan hukum.
“Sebenarnya kita sudah aktif melakukan advokasi, kebetulan kami juga aktif dibidang ketata negaraan. Motivasi gugatan kami ajukan karena saat pilpres ada putusan MK yang terindiasi bernilai negatif lantaran hanya menguntungkan satu orang,” ujar Rozi, saat diwawancarai sriwijayamedia.com, belum lama ini.
Rozi juga menjelaskan, pasal 7 ayat 2 huruf c dalam UU Pilgub, tidak perlu ditafsirkan ulang karena secara ringkas sudah mengandung kepastian hukum.
Justru dengan adanya putusan MA, membuat peraturan yang tadinya sudah memiliki kepastian hukum menjadi tidak memiliki kepastian hukum.
Menyikapi perkembangan kondisi yang ada, Rozi meminta KPU bisa melakukan normalisasi penyesuaian dengan menjalankan putusan MK.
Karena calon perseorangan tetap merujuk pada mekanisme pencalonan yang lama. Sikap KPU ini akan dianggap diskriminasi terhadap para calon.
“Jika perkara dikabulkan oleh MK maka Keputusan KPU harus batal karena tahap pencalonan perseorang yang mengacu pada peraturan yang lama sudah berlangsung. Namun jika putusan dikeluarkan setelah pilkada, maka bisa jadi hasil Keputusan hanya akan berlaku pada calon yang berasal dari parpol,” imbuh Rozi.
Menanggapi upaya hukum yang dilakukan oleh dua mahasiswa Ketata negaraan tersebut (Rozi dan Anthony), pengamat politik, hukum dan tata negara Refly Harun belum lama ini juga menilai ada indikasi pemaksaan batas usia dalam ajang Pilkada.
Putusan MA yang mengubah batas waktu perhitungan usia bakal calon kepala daerah itu menurutnya merupakan putusan yang tidak benar.
Karena yang diputuskan oleh undang-undang adalah syarat usia ketika seseorang menjadi calon kepala daerah, yakni setelah ditetapkan oleh KPU 22 September 2024. Pada tanggal tersebut Kaesang pun belum genap berusia 30 tahun.
“Jadi mengubah aturan calon pada saat dilantik itu sontoloyo dan gak jelas. Ibaratnya aturan dibuat sebagai syarat bagi peserta yang hendak bertanding. Jika pertandingan sudah berlangsung maka yang menjadi persoalan adalah siapa yang menang dan kalah,” ungkap Refly diwawancarai sriwijayamedia.com.
Refly menambahkan, upaya merubah batas hitungan usia tersebut terkesan pemaksaan dan konspiratif.
Gugatan materiil yang sudah dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang kini sedang berjalan, seharusnya jika melihat garis biru, maka dalam seharipun MK menggelar sidang, sudah dapat diputuskan. Tinggal melihat bagaimana keindependenan para hakim di MK. (santi)