Oleh :
Hari Purwanto, Direktur Eksekutif Studi Rakyat Demokrasi (SDR)
Pernyataan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando soal politik dinasti di Yogyakarta menuai sorotan tajam.
Pernyataan Ade itu bermula ketika ia mengkritik gerakan mahasiswa di Yogyakarta yang menggelar aksi protes terhadap politik dinasti yang dijalankan Presiden Jokowi.
Ade menilai aksi protes itu sangat ironi karena politik dinasti sebenarnya justru ada di Yogyakarta.
Pernyataan Ade Armando adalah tindakan makar, dan makar dapat diartikan sebagai bentuk penyerangan atau perlawanan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud untuk menjatuhkan pemerintahan atau menentang kebijaksanaan yang sudah menjadi ketetapan dengan melawan hukum, baik melalui kekuatan senjata maupun dengan cara lainnya.
Pengaturan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950.
Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya. Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY. Undang-undang No 13/2012 ini menegaskan DIY sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Artinya pernyataan dari anak buah Kaesang Pangarep di PSI yakni Ade Armando adalah pernyataan Makar melawan UU yang berlaku. Makar diatur dalam KUHP sebagai kejatahan terhadap keamanan negara, terutama di pasal 104, 106, 107, 108, dan 139 dengan ancaman hukuman mati.
Pasal-pasal ini mengatur pidana kejahatan terhadap presiden dan wakilnya, dan juga ancaman pidana terhadap para penggerak makar.(Irawan)