KAYUAGUNG- Kalangan pengamat politik di Sumsel menginggatkan kepada seluruh masyarakat OKI untuk lebih cerdas dalam memilih pemimpin atau kepala daerah lima tahun sekali. Pemimpin ideal, berkualitas dan berintegritas untuk membangun daerah menuju kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial cenderung berbasis kinerja, bukan tebar pesona.
“Fenomena jelang pilkada ini, banyak calon yang tebar pesona. Calon yang biasanya akan terpilih menjadi kepala daerah itu memang karena bersangkutan dekat dengan masyarakatnya. Artinya, pemimpin yang berbasis kinerja berpeluang besar untuk menang ketimbang pemimpin yang hanya tebar pesona,” kata mantan Ketua IkA Fisip Unsri, Bagindo Togar Butar Butar, dihubungi selulernya, Selasa (23/1).
Khusus di Sumsel, kata pemerhati sosial politik Unsri ini, ada dua sosok pemimpin yang sangat dicintai konstituennya yakni Ridho Yahya, Wali Kota Prabumulih dan Eddy Santana Putra, mantan Wali Kota Palembang dua periode.
Dia mengilustrasikan seperti Ridho Yahya yang kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota Prabumulih. Diyakini bersangkutan tidak akan mengeluarkan cost tinggi untuk kembali menduduki kursi satu Prabumulih. Sementara bagi petahana lain, termasuk OKI, dipastikan akan mengeluarkan cost tinggi.
“Pendekatan yang dilakukan incumbent justru akan mengeluarkan cost tinggi, termasuk membiayai timses. Banyak loh petahana yang tidak menjabat dua kali,” jelasnya.
Dia menambahkan agar tak terjebak dikotomi saat memilih pemimpin, maka para pemilih harus siap belajar dan menjadi pemilih cerdas. Sebelum menjatuhkan pilihan, perlu dipertimbangkan secara matang.
Pemilih cerdas tidak akan menjatuhkan pilihan hanya berdasar pertimbangan-pertimbangan dangkal, emosional, atau sekadar ikut-ikutan.
Selain itu, pemilih cerdas akan proaktif mencari dan mempelajari informasi terkait visi misi, integritas dan rekam jejak (track record) para calon pemimpin sebelum menjatuhkan pilihan.
“Ya, pemilih harus tetap waspada serta mengantisipasi setiap langkah dan upaya yang dilakukan para kandidat dan tim suksesnya. Jangan mudah terpengaruh, apalagi dengan permainan isu SARA untuk menjatuhkan kandidat lain,” tuturnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, lanjut Bagindo, praktik politik uang. Sebagai pemilih cerdas, tentunya dengan tegas menolak hal itu dan melaporkan ke pihak berwenang, jika menemuinya.
“Para pemimpin diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat. Menjadi pemimpin yang selalu siap hadir dan melayani, bukan dilayani,” katanya.
Disinggung adanya perpecahan ditubuh internal partai lantaran berlainan dukungan, kata Bagindo, hal itu biasa terjadi karena ketidaksolidan elit politik ditingkat pusat yang berimbas terhadap unit sosial masyarakat.
Dia menganggap pondasi demokrasi yang dibangun selama ini tercederai lantaran banyak elit politik yang melanggar.
“Pilkada serentak 2018 hanya menjadi permainan segelintir elit politik pusat (Oligarki) yang tidak menyentuh langsung kepentingan daerah yang dapat membunuh demokrasi lokal. Proses penentuan calon kepala daerah yang diputuskan pimpinan pusat partai politik merupakan bentuk nyata praktik oligarki partai politik. Itu terlihat saat tahapan pendaftaran calon di partai politik. Misalkan bersangkutan tidak daftar, justru lolos pencalonan. Ini yang disesalkan,” jelasnya.(abu)