Adi Yanto, S.Pd
Kasubag Media & Komunikasi Publik Setda OKI
Sumsel sedang menjadi sorotan dunia karena dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games XVIII 2018. Terpilihnya Sumsel sebagai ahli bait ini Menurut Gubernur Sumsel, Alex Noerdin diraih dengan perjuangan bukan karena hadiah.
“Asian Games di Sumatera Selatan adalah mimpi yang menjadi nyata, bukan hadiah tapi buah perjuangan” Kata Gubernur Alex Noerdin saat melepas Pawai Obor Torch Relay Asian Games 2018 di Kantor Bupati OKI, Selasa, (7/8).
Hal senada juga dikatakan Bupati OKI, Iskandar, SE “Hanya api Asian Games yang boleh menyala di OKI, jaga nama baik bangsa dan negara,” ungkap Iskandar dalam kesempatan yang sama.
Sebagai tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia, Sumsel dituntut mampu mengatasi bencana kabut asap demi nama baik bangsa dan negara.
Asian Games XVIII yang dilaksanakan di Jakarta dan Palembang telah dipersiapkan selama 3,5 tahun. Jangan sampai ceceran keringat, darah dan air mata ini tersia-sia lantaran kejadian bencana kabut asap yang seketika meruntuhkan citra negara.
Untuk itu, pemerintah secara serius mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan (karhutbunla) di Sumsel.
Deteksi dini, dan respons cepat di lakukan di lapangan. Awal Agustus 2018 sudah 39 titik api berhasil di padamkan. Seluruh pihak dilibatkan, dari masyarakat, manggala agni, perusahaan, Badan Restorasi Gambut (BRG), akademisi, NGO internasional, nasional hingga lokal, serta Kepolisian dan TNI.
Sore itu, di Pulau Jarak Desa Perigi Talang Nangka Kecamatan Pangkalanlampam Kabupaten OKI. Regu pemadam api berjibaku memadam api sejumlah Lelaki dengan postur tegap bersepatu dinas lapangan—berbaju orange, berjibaku memadamkan api. Diantara para lelaki tangguh itu ada dua perempuan berseragam sama melakukan tugas yang sama. Mereka turut memadamkan api dibawah teriknya mentari dan panasnya api yang membakar gambut di OKI.
Asumsi bias gender mengeksklusifkan pekerjaan memadamkan kebakaran hutan hanya untuk kaum lelaki pasti ada di benak setiap orang. Anggapan yang muncul karena petugas pemadam mutlak membutuhkan sosok tangguh, dengan fisik dan mental sekokoh baja dalam menghadapi amuk api.
Pikiran yang terlintas dibenak itu seakan sirna oleh aksi empat orang srikandi relawan peduli api yang tergabung dalam masyarakat peduli api (MPA) Desa Perigi Talang Nangka Kecamatan Pangkalan Lampam OKI.
Mereka Ramitha (19), Rika (28), Marlin (24) dan Sinta (30). Kebanyakan perempuan sebaya mereka mungkin lebih memilih melakukan perawatan di salon kecantikan, atau duduk di cafe sambil maenin gadget. Anak gadis seumuran Ramhita bisa saja sangat takut bila mukanya kusam terbakar matahari dan debu gambut atau terlambat meng update medsos sambil joget-joget ala kiky Challenge atau goyang jari melalui aplikasi tiktok. Tapi empat wanita ini malah memilih bergabung dalam relawan peduli api untuk menyelamatkan kampungnya dari kebakaran hutan dan lahan.
Shinta (30) yang lebih senior dari ketiga rekannya menungkapkan sudah bergabung di MPA sejak tahun 2015.
Sudah beberapa kali dia mengikuti pelatihan pemadaman baik yang diselenggarakan oleh BPBD OKI maupun dari NGO.
Shinta merasa malu jika kebakaran lahan terjadi desanya sedangkan asapnya dihisap oleh warga lain.
“Rasanya bersalah jika di dusun kita terbakar makanya kami selalu siap dipanggil jika ada kebakaran lahan”.
Semula, Shinta dan kawan perempuannya diberi tugas menangani logistik para petugas lapangan yang notabene laki-laki. Namun tak butuh waktu lama bagi Shinta untuk ikut terjun berjibaku menghadang api.
Dia melakoni pekerjaan berat–keluar masuk hutan, memanggul alat berat, menjinakkan api.
Shinta mengakui keterbatasan fisiknya dibanding rekan-rekan lelakinya. Namun itu tak jadi soal, sebab mereka berbagi beban.
“Kalau memanggul alat, kami yang perempuan membawa perlengkapan macam selang air. Sementara alat-alat yang lebih berat dibawa lelaki,”paparnya.
Lain lagi Rika (28) perempuan yang sehari-hari menjadi pengajar di PAUD Bunda Desa Talang Nangka. Meski dilahirkan sebagai perempuan, tidak menghalangi niatnya untuk bergabung bersama petugas pemadam api yang di dominasi laki-laki. Kendala dilapangan menurut dia bukan jadi masalah.
“Kami ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa, kami tidak pernah takut yang penting di desa kami jangan ada api,” tungkasnya.
Rika menceritakan serunya bertugas dilapangan bersama tim pemadam api. Dia merasa menemukan keluarga baru serta terikat kebersamaan dengan tim pemadam Karhutbunlah yang terdiri dari Unsur TNI/Polri, BPBD dan RPK.
“Kadang mereka juga kasian sama kami, kami dihibur disuruh kerjakan yang ringan-ringan saja tapi kami juga ingin melakukan apa yang dilakukan petugas laki-laki,” tuturnya.
Besar-kecil bukan soal menurut Rika, juga perempuan-lelaki. Karena esensi yang sesungguhnya adalah kerja sama mereka dalam memadamkan kobar api.
Kepada masyarakat Rika juga berpesan untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak membakar hutan dan lahan bahkan menurut dia kesadaran dini itu sudah dia tanamkan pada anak-anak didiknya di PAUD.
Khusus kepada para remaja perempuan Rika juga mengajak untuk menjadi wanita yang tangguh tidak hanya sibuk komentar di medsos tapi memberi kerja nyata untuk masyarakat.
“Cantik itu tidak hanya yang terlihat diluar, masih banyak orang yang melihat kecantikan itu dari dalam, yang penting apa kita bisa berbuat untuk orang banyak,” pesannya.
Tak Sulut Dicemo’oh
Lain cerita Mitha gadis 19 tahun anggota paling junior Srikandi Pemburu api. Mitha mengaku pernah menerima cemohan dari rekan sebaya dan tetangganya karena bergabung direlawan peduli api.
“Saya bilang wanita tidak harus melulu di rumah, wanita juga bisa melakukan hal seperti laki-laki yang penting bermanfaat untuk orang lain,” tungkasnya.
Cemohan dan ejekan dia jadikan motivasi untuk tidak takut kepada api. Mitha mengaku sudah mendapat restu dari orang tua untuk bergabung di MPA. Bahkan dia satu regu pemadam dengan Bapaknya.
“Ini juga bantu orang tua jaga kebun sendiri biar tidak terbakar, kalau kita tidak bantu siapa lagi,” ungkapnya.
Mitha tidak pernah khawatir jika kulitnya gosong terbakar terik matahari atau tangannya melepuh terkena api.
“Perempuan jangan hanya dipandang karena fisiknya, perempuan juga punya kekuatan dalam batinnya,” ungkap remaja baru berusia 19 tahun itu.
Budaya Malu dan krisis kesadaran
Meski semua pihak telah dilibatkan titik api tetap muncul menjelang Asian Games 2018. Kerja keras tim dilapangan yang memburu titik api tak sebanding dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk tidak membakar lahan. Ditambah lagi ego manusia yang dilandasi motif ekonomi ingin meraup keuntungan menyebabkan kepedulian terhadap alam menjadi hilang.
Kiprah empat perempuan pengasuh api setidaknya menjadi inspirasi. Dibalik kelemahlembutan mereka terdapat jiwa yang kuat untuk menjaga alam. Mengutip ujaran Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI bahwa Karhutla bukan hanya terkait Asian Games, lebih luas dari itu merupakan Hak Asasi warga negara untuk mendapatkan Lingkungan Hidup yang sehat dan baik.(rel)