KAYUAGUNG-Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan pemahaman kepada pejabat dan pegawai agar memiliki wawasan tentang korupsi dan gratifikasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan berwibawa.
“Ini memang sangat perlu agar niatan kita mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa,” kata Bupati OKI, H Iskandar, SE pada acara sosialisasi pengendalian gratifikasi bagi jajaran ASN dilingkungan Pemkab OKI di Aula Bappeda OKI, Selasa (11/12).
Menurut Iskandar, adanya kerja sama dengan KPK ini membuktikan Pemkab OKI bersungguh-sungguh melawan korupsi dan gratifikasi.
“Semangat kita untuk menciptakan good clean goverment, kita awali dengan pemahaman dari KPK tentang mana yang bukan gratifikasi dan mana yang masuk gratifikasi,” ucap Bupati OKI.
Iskandar juga mengajak ASN menjaga komitmen yang berkesinambungan dalam melaksanakan pembangunan.
“Marilah kita membangun sinergitas antara pemerintah kabupaten, ada forkopimda daerah, ada kejaksaan, kepolisian. Terus KPK juga intens melakukan pencegahan. Maka marilah kita sama bangun sinergitas itu. Kuncinya transparan penggunaan anggaran mulai dari penganggaran sampai pada perencanaan,”jelas Bupati.
Inspektur Inspektorat Kabupaten OKI, Endo Suarno menambahkan upaya pencegahan gratifikasi dijajaran Pemkab OKI dilakukan melalui penerapan pengendalian gratifikasi melalui Peraturan Bupati OKI Nomor 24/2016 tentang pedoman pengendalian gratifikasi di lingkungan Pemkab OKI tanggal 1 Juni 2016 dan Surat Kep Bupati OKI No 262/KEP/Inspketorat/2018 tentang Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Pemkab. OKI.
Terpisah, Deputi Pencegahan KPK, Anjas Prasetyo didampingi Fitria Nurul mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas.
“Gratifikasi bisa berbentuk uang, barang, komisi, tiket perjalanan, perjalanan wisata, fasilitas penginapan, pinjaman tanpa bunga dan fasilitas lainya,” terangnya.
Menurut dia, gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Pengawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi dalam bentuk lain seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya.
“Kasus korupsi di Indonesia bermula dari gratifikasi. Ketika tidak mendapat gratifikasi, akhirnya akan meminta dengan paksaan, atau menggunakan uang negara yang menjadi kuasanya,” katanya.
Anjas menyebut praktek pemberian adalah wajar dan netral, yang ada dalam aturan agama, budaya, pergaulan dan etika karena hubungan baik, yang sama sekali tidak terkait dengan jabatan.
Namun demikian ada pemberian atau gratifikasi yang dianggap suap apabila pemberian itu karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
“Untuk itu, kita selaku aparatur dan pejabat negara, harus berintegritas, dengan berani menolak gratifikasi. Namun terkadang gratifikasi tidak berhadapan langsung dengan pemberi sehingga langkah yang tepat adalah melaporkan,” jelasnya.
Anjas mengajak para pemimpin di OKI untuk memberi tauladan yang baik dalam penolakan gratifikasi dangan cara pengawasan melekat.
“Akan lebih cepat penanganan korupsi dan gratifikasi melalui tauladan pimpinan, anak buah berintegritas akan kalah dengan lingkungan yang kurang baik. Maka dengan pimpinan berintegritas akan tercipta organisasi yang berintegritas yang otomastis anti gratifikasi maupun korupsi,” paparnya.(abu)