Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.
(Penulis Buku-Buku Sejarah Asal Palembang)
Pada tahun 2014 Universitas Sriwijaya (Unsri) mendapatkan juara pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) dengan gagasan “Citragram” atau “Cerita Rakyat di Instagram.”
Sebenarnya penerapan dari gagasan tersebut hanyalah membuat akun di platform media sosial Instagram, memasukkan potongan-potongan gambar pertunjukan drama dengan judul-judul cerita rakyat, dan menyalin narasi cerita yang beredar di internet dalam captionnya. Suatu hal yang perlu ditekankan di sini, seleksi Mawapres sejatinya adalah wajah dari arah intelektual suatu institusi pendidikan karena pesertanya (katanya) dipilih yang terbaik dari setiap jurusan dan tim penilainya dipilih dari yang paling mumpuni.
Namun mengapa momentum penting seperti ini justru hanya mampu menelurkan juara dengan gagasan sederhana? Ke mana ‘manfaat’ Citragram yang katanya mampu melestarikan nilai budaya, di saat Unsri menghadapi pemberitaan tentang mahasiswanya yang menjadi simpatisan ‘Islamic State of Iraq and Syria’ (ISIS) 2015 silam? Maka, secara fundamental kita harus mampu menjelaskan hakikat cerita rakyat dan fungsinya.
Meskipun sama-sama mengklaim bercerita “peristiwa silam”, cerita rakyat berbeda dengan ilmu sejarah. Cerita rakyat didefinisikan sebagai kesusastraan dari masyarakat “primitif” yang belum mengenal huruf, sebagaimana Egoff dan Saltman (1990) berpendapat : ‘primitive and non-literate society’.
Dongeng merupakan contoh dari cerita rakyat, yang dikarang dan diceritakan kembali secara berulang-ulang oleh orang-orang. Cerita ini dibuat karena terinspirasi dari suatu peristiwa. Artinya, bukan dongeng/cerita rakyat itu yang menjadi dasar dari suatu kejadian. Dongeng nusantara yang diwariskan oleh para leluhur setempat, memuat cerita singkat dan adakalanya dengan setting yang tidak jelas. Dongeng ‘Timun Emas’, misalnya seakan-akan memberikan gambaran Kerajaan Daha di Kediri, akan tetapi kita tidak pernah bisa menetapkan apakah dongeng tersebut benar-benar mempunyai latar cerita kerajaan Daha di Kediri.
Agus DS sebagaimana mengutip dari James Danandjaja (ahli folklore), cerita rakyat / dongeng sebenarnya tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Tetapi di sisi lain, perkembangan dongeng cukup pesat, yang awalnya hanya disampaikan secara lisan kini dapat kita temui dalam bentuk buku-buku cerita dan kaset. Selain bentuk, banyak dongeng di Indonesia yang berkembang dengan berbagai macam versi sebagai contoh kisah tentang nama ‘Banyuwangi’, ada beberapa versi cerita di antaranya : ‘Asal Muasal Nama Banyuwangi’, ‘Asal Nama Kota Banyuwangi’, dan ‘Asal-usul Nama Banyuwangi’.
Selain itu, ciri dari dongeng yang cukup khas ialah aspek sastra apokaliptik yang sarat aspek supranatural. Beberapa contoh cerita rakyat terkait, dan sayangnya tidak dimuat dalam Citragram :
-Cerita Beru Dayang dari Tanah Karo yang meninggal karena kelaparan akibat kemarau panjang kemudian ibunya mengakhiri hidup dengan terjun ke sungai. Sisi supranatural ialah terdengar suara gaib yang memerintahkan penduduk menanam buah penjelmaan Beru Dayang.
-Legenda Pulau Senua, sisi supranatural ialah ketika Mai Lamah yang sedang hamil disambar petir berkali-kali saat terjadi hujan deras dan angin kencang, kemudian Mai Lamah berubah menjadi batu.
-Asal-usul Danau Maninjau, aspek supranatural muncul saat Giran dan Sani yang dituduh berbuat terlarang terjun ke kawah Gunung Tinjau dan menghancurkan kawasan, Bujang Sembilan sang penuduh berubah menjadi ikan serta sisa letusan gunung itu berubah menjadi danau.
Perlu diakui memang ada kontradiksi di tengah masyarakat kita. Ketika berbicara cerita rakyat / dongeng, kebanyakan orang-orang akan mendengarkan secara seksama. Lalu anehnya, Mata Pelajaran Sejarah kerap dianggap membosankan. Berarti, salah satu misi ‘Aufklarung’ – atau ‘Masa Pencerahan’ intelektual modern yang muncul di Eropa pada abad ke-18 yang menyasar pada pembebasan dunia dari kuasa magis dengan bantuan ilmu pengetahuan, belum sepenuhnya terwujud.
Padahal, hasil penemuan dan penggalian masa lalu secara kritis dan ilmiah sebagai sesuatu yang khas dalam dunia ilmu pengetahuan Eropa modern, disebut oleh Bernard Lewis sebagai ‘Sejarah yang diketemukan kembali’ dan tidak bertendensi seperti sejarah yang hanya berdasarkan ingatan komunal.
Harus diakui, mungkin karena ilmu ‘Bahasa Asing’ lebih sering dianggap ‘bergengsi’ untuk dipelajari, maka ilmu sejarah dengan metode yang memastikan keilmiahannya cenderung diabaikan. Dedi Irwanto dan Alian Sair, sebagaimana mengutip Notosusanto (1984), menyebutkan empat kegiatan pokok metode sejarah. Metode ini bisa dipakai jika kita ingin mencari kebenaran suatu peristiwa dengan distorsi yang amat minim :
-Mengumpulkan objek yang berasal dari zaman tersebut baik yang cetak, tertulis, maupun lisan yang boleh jadi relevan.
-Menyingkirkan bahan-bahan, atau bagian-bagian dari padanya, yang tidak otentik.
-Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan otentik.
-Menyusun kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi suatu kisah atau penyajian menjadi suatu kisah / penyajian yang berarti.
Cerita Rakyat dalam ilmu sejarah ialah bagian dari sumber yang masuk pada folklore lisan, akan tetapi ilmu ini tidak mendiamkannya dan asal percaya. Sejarah mengenal kritik atau verifikasi sumber, serta untuk sumber lisan berlaku kritik intern terhadap sumber sejarah lisan / folklore dengan melakukan pengecekan keterangan pada pewaris aktif yang kredibel keterangannya. Demikianlah ketatnya sejarah. Ilmu ini juga memerlukan orang (pewaris) yang masih hidup dalam pengkajian mengenai folklore. Jelaslah sejarah bukan hanya mengkaji “yang telah lalu ”atau“ yang telah mati”!
Perlu diakui bahwa peninggalan sejenis ini (cerita rakyat) memiliki banyak sekali kerancuan dari sisi ilmiah ataupun historis. Penulis tekankan, di sini tidak dimaksudkan untuk merendahkan ataupun mengajak pembaca mengabaikan cerita-cerita rakyat. Sekali lagi tidak ! Cara yang tepat ialah dengan ‘Merestorasi’ atau memulihkan kembali fungsi masing-masing antara sejarah dan cerita rakyat.
Sejarah harus tetap diutamakan sebagai ilmu, sedangkan cerita rakyat/dongeng adalah sebagai khazanah budaya yang perlu dilestarikan. Oleh karenanya perlu adanya pengkajian mengenai cara berpikir yang keliru, tatkala cerita rakyat dengan unsur ‘ajaibnya’ justru dianggap sebagai “kebenaran” dan bahkan diprioritaskan secara akademis.
Contohnya ialah gagasan Citragram yang bahkan belum memenuhi kritik sejarah lisan dalam memisahkan unsur-unsur irrasional. Tak heran jika Citragram dengan manfaatnya yang terbatas, tak mampu menjadi referensi ilmiah di tengah dinamika problema masyarakat, contohnya adalah kasus terorisme.
Hal ini penting untuk kita pelajari atau bahkan dikritisi secara seksama. Jika tidak, masyarakat cenderung akan lebih gemar dan antusias pada kisah-kisah yang beredar meski belum jelas kebenarannya. Seperti kasus berita hoaks “7 kontainer berisi kertas suara yang sudah tercoblos gambar salah satu paslon” ataupun hebohnya berita tentang aktivis wanita yang mengaku “dikeroyok” oleh pendukung salah satu calon, padahal wajah “bonyok”-nya ialah hasil dari operasi plastik. Permasalahan ini bukan hanya sekadar mengenai polarisasi keberpihakan politik, bisa-bisa ‘trend’ kesalahan berpikir sedemikian ialah karena bahan bacaan, tayangan-tayangan, dan informasi yang lumrah beredar lebih bersifat fiktif, ilusif, mistis, serta utopis. Belajarlah sejarah dan metodologinya agar meskipun kita menyenangi cerita rakyat atau karya-karya fiktif, akal sehat kita tak tumpul aspek kritis-ilmiahnya. Sejarah bukan soal yang silam-silam, namun bidang ini dapat menjadi inspirasi dalam menguak kebenaran peristiwa-peristiwa kini sekaligus sebagai prediksi futuristik.
Sumber :
Agus DS, Tips Jitu Mendongeng, Yogyakarta : Kanisius, 2009.
Bunanta, Murti, Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1998.
Irwanto, Dedi, Alian Sair, Metodologi dan Historiografi Sejarah : Cara Cepat Menulis Sejarah, Yogyakarta : Eja_Publisher, 2014.
Lewis, Bernard, Sejarah : Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-Ciptakan, Yogyakarta : Ombak, 2009.
Priyadi Sugeng, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2012.
Santoso, Listiyono, dkk., Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2015.
Sukmawan, Sony, Ekokritik Sastra : Menanggap Sasmita Arcadia, Malang : UB Press, 2016.
Susilo, Cerviena, & Agnes M., Pustaka Dongeng Nusantara, Jakarta : Elex Media Computindo,2010.