Sriwijayamedia.com – Welfare Fishing rupanya isu sedang ngetrend di nelayan Indonesia saat ini. Namun, sebatas bongkah harapan cita – cita. Masih penuh tanda tanya kapan Welfare Fishing itu akan hadir. Indonesia sala satu negara paling kaya sumber daya kelautan dan perikanannya. Tetapi nelayannya masih peliharaan rentenir fakus.
Pada kurun waktu 6 tahun 4 bulan terakhir ini, saya pribadi di turun roadshow secara berkala ke beberapa daerah seperti Pulau Sumbawa, Pulau Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Lombok, Kepulauan Maluku hingga Kepulauan Riau.
Tentu agenda roadshow utamanya pada pengambilan data metode investigasi, wawancara, dokumentasi dan mendata kapal maupun jumlah pendaratan ikan di setiap Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pembentukan Badan Otonom Front Nelayan Indonesia (FNI).
Sungguh Sulawesi Selatan (Sulsel) sangat menakjubkan karena 2022 hingga Februari 2023 penghasil Tuna terbesar. Melewati peringkat Maluku dan Halmahera. Perairan Sulsel salah satu lumbung Ikan tuna. Untungkan Sulsel di WPP 713 wilayah Indonesia Timur. Potensi perikanan yang cukup tinggi, ditopang oleh naiknya peringkat produksi ikan (tangkap dan budidaya) di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hampir sebagian besar produksi berasal dari provinsi di Pulau Sulawesi.
Tambahan nilai produksi perikanan Sulsel memberikan dampak cukup baik pada perdagangan komoditas kelautan dan perikanan. Tahun 2023 ini daerah tetangganya seperti NTT, NTB, Maluku, dan Sulteng harus akui penghasilan tinggi oleh stakeholders perikanan seperti nelayan. Hal itu ditandai nelayan Sulsel tercermin pada Nilai Tukar Petani (NTP) perikanan yang masih relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya. rendah.
Produksi perikanan Sulsel sudah bisa dikatakan high value fish khusus pada penangkapan ikan tuna. Selain dari ikan demersal dan rumput laut, sehingga ekspor Sulsel bisa mewakili KTI dengan indeks keniaikan diatas 30%.
Potensi ini harus menjadi supporting kebijakan penangkapan ikan terukur yang sedang diberlakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Karena belum terutilisasi secara baik. Hal itu disebabkan terkendala infrastruktur pendukung, pelabuhan dan Tempat Pelelangaan Ikan (TPI).
Namun, problem yang selama ini kurang diperhatikan yakni perlengkapan kapal – kapal nelayan. Untuk meningkatkan kemampuan suplai ikan, tentu kapal harus ditingkatkan kapasitasnya.
Disamping itu, masih terdapat defisit kebutuhan cold storage yang cukup besar di Sulsel. Seluruh Indonesia, cold storage yang ada belum optimal. Tetapi, efektifitas pelabuhan ikan sudah tertunjang dengan baik disekitar Kota Makassar.
Tugas pemerintah kedepan, terdapat dua hal yang paling urgent diprioritaskan yakni peningkatan kapasitas kapal ikan bagi nelayan dan menyediakan prasarana drone fishing untuk membantu teknologi penangkapan ikan.
Untuk mewujudkan hal ini, membutuhkan pengetahuan manajemen alat tangkap, pengadaan infrastruktur kapal dan membuat regulasi perbankan untuk memback up.
Hal itu sangat penting, mengingat Sulsel “Raja Lumbung Tuna” sekaligus lokomotif ekspor paling besar. Tuna Sulsel hasil tangkapan nelayan jenisnya sirip kuning (yellow fin) dan mata besar (big eye). Sulsel sangat beruntung karena populasi kedua jenis tuna tersebut sangat banyak.
Beberapa hari lalu selama di Sulsel, kunjungi nelayan Bone. Hasilnya sangat melimpah pada kedua jenis ikan tuna diatas. Bahkan bobot tuna yang ditangkap sangat besar, beratnya bisa 110 kg dengan panjang 180 cm.
Untuk mendapatkan ikan tuna tersebut, nelayan hanya menggunakan pancing ulur. Pancing ulur yang digunakan adalah tali utama bernomor 150 dan tali cabang bernomor 100 dengan mata kail tunggal bernomor 4-8. Alat tangkap ini sangat ramah lingkungan. Proses nangkapnya sekitar 3 sampai 4 jam perekor. Harga jual tuna saat ini berkisar Rp 55.000 per kg. Sehingga ikan tuna berbobot 110 kg hanya dihargai Rp 5,5 juta.
Produksi perikanan Tuna Sulse mencapai 13 ribu ton per tahun dan Ikan demersal mencapai 70 ribu Ton pertahun. Nelayan bergelut perikanan tangkap Tuna sekitar 11.801 orang nelayan dan kapalnya 8.902. Sementara produksi Perikanan Laut yang dijual di TPI menurut Jenis Ikan (Kuintal), 2019-2022 yakni Ikan Layang sejumlah 204.197 Kuintal, ikan kembung sebesar 166.204 Kuintal, ikan teri sebesar 168,390 kuintal dan jenis ikan lainnya mencapai total 1.812.936. (BPS Sulsel, 2019, 2020, 2021, 2022).
Sementara tahun 2023 ini, pendugaan stok ikan tongkol yang termasuk golongan ikan tuna kecil, dan selalu bergerombol. Stoknya terjadi peningkatan produksi dan jumlah nelayan untuk melakukan penangkapan ikan tongkol selalu meningkat populasinya. Tentu berpengaruh positif bagi peningkatan pendapatan nelayan.
Namun perlu disadari bahwa peningkatan permintaan sumberdaya tersebut selalu diikuti tekanan untuk melakukan eksploitasi yang semakin intensif. Maka nilai Maksimum Sustainable Yield (MSY) dan Effort Optimal (Fopt.) ikan tongkol di perairan Selat Makassar Sulsel bahwa nilai lestari (MSY) ikan tongkol di Selat Makassar Sulsel adalah 7.381,82 ton per tahun dengan penangkapan optimum (Fopt.) 1.666.666,67 trip per tahun. Sementara keberadaan populasi ikan Tuna sirip kuning (yellow fin) dan mata besar (big eye) di perairan Selat Makassar Sulsel mengalami peningkatan cukup besar yakni 23.619 Ton.
Menurut data KKP tahun 2022 bahwa nilai ekspor perikanan periode Januari-November 2022 sesuai data KKP 2022 mencapai USD5,71 miliar. Sementara nilai impor di periode yang sama hanya USD0,64 miliar.
Adapun komoditas utama ekspor Indonesia meliputi udang dengan nilai USD1.997,49 juta, Tuna-Cakalang-Tongkol senilai USD865,73 juta, Cumi-Sotong-Gurita sebesar USD657,71 juta, Rumput Laut sebesar USD554,96 juta dan Rajungan-Kepiting sebesar USD450,55 juta. Komoditas-komoditas ekspor tersebut, dikirim ke negara tujuan ekspor utama seperti Amerika Serikat senilai USD2,15 miliar (37,63%), Tiongkok USD1,02 miliar (17,90%), Jepang USD678,13 juta (11,89%), Asean USD651,66 juta (11,42%) serta 27 negara Uni Eropa senilai USD357,12 juta (6,26%).
Ditengah dinamika kondisi global seperti sangat berdampak pada ekspor perikanan Indonesia. Kendati demikian, pemerintah tetap menjaga pangsa pasar ke negara-negara tujuan ekspor utama dan menjajaki tujuan pasar prospektif di Timur Tengah.
Selain itu, pelaku usaha juga harus perhatikan kesepakatan dan persetujuan dagang antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa seperti Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss yang tergabung dalam EFTA (European – Free Trade Association) melalui IE-CEPA (Indonesia European – Comprehensive Economic Partnership Agreement). Kemudian Mozambique – Preferential Trade Agreement (IM-PTA) yang menyepakati penurunan tarif untuk Tuna Segar, Kepiting, dan Udang Beku serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan perundingan perdagangan bebas antara negara ASEAN (10 negara) dengan 5 negara mitra, yaitu Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Australia, dan Selandia Baru.
Capaian nilai ekspor perikanan diperkirakan tumbuh 8,84% dengan nilai USD6,22 miliar hingga Desember 2022 dibanding akhir tahun 2021. Ekspor yang bergeliat ini juga berdampak positif terhadap minat investasi di sektor kelautan dan perikanan. Realisasi investasi triwulan 3-2022 mencapai Rp6,39 triliun atau meningkat 45,62% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan menyebar ke sejumlah daerah seperti di Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulsel dan Jawa tengah. Ishartini menambahkan, Republik Rakyat Tiongkok menjadi negara terbesar yang berinvestasi pada sektor Kelautan dan perikanan, disusul Singapura, British Virgin Islands, dan Jepang. Realisasi investasi akan menembus Rp7,78 triliun atau meningkat 29,71% dibanding tahun sebelumnya di bulan Des 2022.
Harapannya, besarnya potensi penangkapan ikan tuna Sulsel harus seimbang dengan ekspor yang dibutuhkan negara tujuan utama. Tetapi, potensi itu tidak akan maksimal lakukan penangkapan ikan. Apabila infrastruktur modal, kapal, dan kebutuhan nelayan tidak terakomodasi. Maka tidak akan dapat dimanfaatkan sebagai tagline “Lumbung Raja Tuna.”
Oleh :
Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)