Polemik Putusan PN, Ketua EK-LMND Lampung :KPU Harus Tanggungjawab atas Kegaduhan Ini

Ketua Eksekutif Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EK-LMND) Kota Bandar Lampung Riski Oktara Putra/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Polemik yang terjadi akibat putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) terkait adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat para ahli hingga elit partai berbicara konstitusi serta UUD 1945. 

Hal tersebut lantaran adanya point putusan yang menyatakan bahwa proses pemilu harus dihentikan dan dimulai kembali tahapan dari awal  2 tahun 4 bulan 7 hari. Sehingga otomatis akan mundurnya jadwal pemilu 2024 yang sudah di mulai tahapannya pada pertengahan tahun lalu. 

Bacaan Lainnya

Menyikapi hal itu, Ketua Eksekutif Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EK-LMND) Kota Bandar Lampung Riski Oktara Putra menilai bahwa pernyataan para ahli hukum, elit politik hingga pejabat publik adalah pernyataan yang reaksioner. 

“Seharusnya mereka melihat persoalan ini dengan jernih dan adil, jangan melihatnya sepenggal-penggal saja. Narasi reaksioner terkesan mempertontonkan kepentingan golongan mereka, karena mungkin saja ada yang merasa terganggu,” terang Riski, sapaan akrabnya ini. 

Riski menuturkan dalam diktum yang mengatakan tunda pemilu, KPU sebagai penyelenggara harus mengulang kembali tahapan. Karena terbukti melawan hukum dan konsekuensi dari putusan itu adalah tertundanya tahapan pemilu. 

Namun yang harus digarisbawahi semua terjadi karena KPU sendirilah yang melanggar konstitusi dengan menghambat hak sipil warga negara mendirikan partai politik (parpol). 

“KPU memang tidak meloloskan Partai PRIMA dalam verifikasi administrasi. Karena itu, Partai PRIMA melakukan gugatan ke Bawaslu menuntut keadilan lalu menang. Namun KPU malah mengabaikan putusan Bawaslu,” paparnya.

Seharusnya, lanjut dia, para ahli, pejabat publik, hingga negara melihat poin ini bahwa ada proses penyelenggara yang cacat, curang dan itu terbukti di pengadilan.

KPU yang seharusnya bertanggung jawab atas kegaduhan dan polemik yang terjadi, bukan justru dibela.

Realitanya malah sebaliknya. Pada situasi ini seolah-olah mereka kompak untuk membenarkan tindakan yang inkonstitusional dan melanggar UUD 1945, kompak karena kepentingannya terganggu.   

Riski menerangkan, bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara rendah dan masyarakat khususnya kaum muda menjadi apolitis.  

”Itu terjadi karena hasil dari pemilu yang dilaksanakan oleh KPU sendiri, anggota-anggota dewan, bupati/walikota, gubernur hingga presiden yang kinerjanya malah membuat rakyat kecewa dan jauh dari makna dan substansi demokrasi bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Karena itu rakyat kecewa,” jelas Riski. 

Riski mengemukakan demokrasi itu bukan hanya soal periodisasi, pemilu dan sirkulasi elit. Tapi juga mendistribusikan kesejahteraan, merubah struktur ekonomi rakyat, seperti apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Namun apakah itu sudah terjadi. 

Hal inilah yang seharusnya didiskusikan para ahli dan pejabat negara, mengapa demokrasi Indonesia tidak menghasilkan hal tersebut. 

“Seharusnya ini dijadikan momentum untuk kita kembali mendiskusikan demokrasi dan tujuan kita berdemokrasi. Jangan sampai kita selama ini memang hanya memaknai demokrasi 5 tahunan saja, lalu menjadikan rakyat sebagai objek untuk diperalat memperoleh suara,” imbuh Riski. 

Merujuk data bahwa ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia hari ini semakin menajam dan mengkhawatirkan, dimana 1 persen orang menguasai kekayaan 50 persen lebih rakyat indonesia. 

Riski mempertanyakan apakah itu terjadi karena warga taat konstitusi. Justru elit politik, kaum kaum intelektual yang mengaku-ngaku ahli itulah yang mengkhianati konstitusi. 

Dia mendorong KPU berbenah, bukan hanya pelaksana teknis, tapi lembaga yang harus meningkatkan kualitas demokrasi. 

Dia juga meminta para ahli dan elit-elit politik jernih dan adil dalam melihat persoalan, bahwa rakyat yang sedang berorganisir dan menunjukan partisipasi politiknya dengan membangun parpol sendiri jangan di kebiri. 

“Harusnya para ahli dan elit-elit politik memberikan solusi dan terobosan, bukan malah mengecilkan atau bahkan menghilangkan hak politik warga negara,” tutu Riski.(Santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *