Sriwijayamedia.com – Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan berbagai isu politik yang hangat diperbincangkan. Seperti isu penundaan pemilu hingga politik identitas. Tak sampai disitu saja, dibidang olahraga merebak isu penolakan rencana kedatangan Timnas Israel yang akan berlaga dalam event sepak bola internasional Piala Dunia FIFA U-20 di Indonesia pada 25 Mei-11 Juni 2023 mendatang.
Menanggapi ketiga isu tersebut, berikut ini petikan wawancara khusus reporter sriwijayamedia.com MD Santi dengan Bivitri Susanti (48), perempuan akademisi dan pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Indonesia Jentera sekaligus ahli hukum tata negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), di Jalan Tol Letjen MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur (Jaktim), belum lama ini.
Isu Penundaan Pemilu
Soal isu penundaan pemilu, ini sebuah wacana yang serius, bahkan putusan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) sudah sampai banding. Meskipun belum tahu menang atau kalah. Kalaupun masalah ini dianggap selesai, sebenarnya belum juga selesai. Kita masih harus berhati-hati sekali karena masih banyak jalan lain menuju penundaan pemilu.
Ada dua kemungkinan dari wacana penundaan pemilu ini. Pertama, memang benar-benar ada keinginan untuk penundaan pemilu, dan ini sangat mungkin karena oligarki tidak ingin digantikan, dengan IKN-nya, dengan UU Cipta Kerja dan sebagainya.
Kedua, isu penundaan pemilu itu dijadikan alat tukar politik atau tak lebih dari sekedar bargaining politic. Karena sekarang sedang mencari-cari perahu.
“Seperti Prabowo, Cak Imin dan lain-lain, semua sedang cari-cari perahu. Jadi isu-isu ini dimainkan saja terus, sementara mereka bernegosiasi. Tapi, apapun itu, isu ini sangat buruk untuk demokrasi dan peluangnya cukup banyak,” ujar Bivitri.
Terkait tuntutan dalam gugatan Prima, Bivitri berpendapat sebenarnya didalam petitum Prima meminta penundaan pemilu. Alasan Ketua Umum (Ketum) Prima menuntut itu karena mereka merasa terzalimi. Maka mereka menempuh jalan ini.
Tapi kalau dilihat dalam petitumnya, pada putusan perdata yang diminta oleh penggugat, isinya memang sama persis dengan seperti yang diputuskan, termasuk didalamnya untuk penundaan pemilu. Justru karena gugatannya secara hukum adalah perbuatan melanggar hukum, jadi Prima menganggap KPU melawan hukum dan justru Prima tidak meminta status sebagai peserta pemilu didalam gugatannya.
Tapi Prima memang menggunakan gugatan itu untuk mengatakan “Kami akan mencabut (gugatan) kalau kami dikasih status partai peserta pemilu”.
“Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menurut saya memang membuat keputusan yang inkonstitusional karena bukan wewenang dia untuk menunda pemilu. Terlebih gugatan yang diajukan adalah gugatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan seharusnya bukan di PN, tapi Pengadilan Tinggi Urusan Negara (PTUN). Jadi disitu saja sudah salah, dan penundaan pemilu levelnya ada di konstitusi tidak bisa diputuskan oleh tingkat pengadilan paling bawah seperti itu. Jadi PN Jakarta Pusat jelas salah. Akhirnya karena sekarang Prima diberi kesempatan kedua, menurut saya ya sudah, silakan dijalankan saja. Berarti kalau memang Prima bisa memenuhi syarat yang diberikan KPU sebagaimana halnya partai lainnya yang juga lolos, berarti Prima memang berhak. Kita harus melihat bahwa putusan PN ini terpisah dengan keputusan yang dikeluarkan Bawaslu, karena mekanismenya berbeda,” jelas Bivitri.
Ia juga berpendapat mungkin saja tujuan akhir dari Prima memang bukan penundaan pemilu, tapi dampak dari keputusan itu juga harus dilihat. Dari dampak yang ada harus dikaitkan dengan para pendiri Prima, yang bukan hanya dari mantan PRD, tapi banyak juga dari lainnya. Salah satunya berasal dari BIN. Ini yang menurut saya kita harus lebih hati-hati dalam menanggapi isu ini.
“Buat saya ini bukan soal kezaliman yang hanya dialami oleh partai saja, tapi memang ada langkah-langkah hukum yang mau dipakai karena kelompok-kelompok ini ingin menggunakan segala cara agar bisa menunda pemilu,” terangnya.
Kedepan, harus ada perlawanan terhadap upaya penundaan pemilu. Karena isu penundaan pemilu tidak hanya berhenti di PN saja. Bahkan ia mencemaskan putusan di MK soal gugatan sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam pemilu yang hingga kini masih dinantikan banyak pihak.
Kecemasan itu wajar mucul karena demi melihat MK yang belakangan ini mungkin saja nanti dalam putusan itu di bagian pertimbangan hukum disebutkan memberikan waktu kepada DPR dan Presiden untuk membahas ulang Undang-undang pemilu selama satu tahun.
Itu berarti sudah akan melewat tanggal 14 Februari 2024. Simulasi-simulasi semacam layak dipikirkan karena MK sekarang bisa melakukan apapun. Sehingga kedepan agak susah memprediksi langkah mana lagi yang bakal dipakai untuk memuluskan upaya penundaan pemilu.
Seperti gugatan PN ini tidak ada yang menyangka, ia sendiri mengaku kaget dan merasa aneh dengan keputusannya. Sebagai pakar hukum, ia lebih cenderung berusaha mengantisipasinya dengan memberikan pendidikan politik lebih luas dan penolakan-penolakan keras, termasuk untuk mendorong semua institusi, mulai dari presiden sampai MK dan pengadilan punya komitmen yang jelas bahwa Februari 2024 betul-betul sudah harus pemilu.
“Kemungkinan lain upaya penundaan pemilu masih ada, misalnya dari aspek anggaran. Kalau anggaran pemilu distop, coba darimana nanti KPU menyelenggarakan pemilu. Pasti KPU juga diutak atik terus sama yang punya kepentingan,” ungkap Bivitri.
Isu Politik Identitas
Menanggapi isu politik identitas, terutama menjelang pemilu 2024, Bivitri meyakini hal itu pasti ada karena merupakan isu yang paling mudah diolah.
Menurutnya, pengguna isu politik identitas adalah para politisi yang tidak mempunya mutu karena tidak mampu membicarakan substansi bagaimana mengatasi masalah krisis iklim atau ketidaksetaraan. Karena tidak punya substansi untuk itu, maka yang paling mudah untuk diolah adalah politik identitas. Politik identitas itu mudah menyalakan emosi seseorang.
Perihal politik identitas yang sempat digaungkan Penasehat Partai Ummat Amien Rais dalam pidatonya saat rakernas Partai Ummat beberapa waktu lalu di Jakarta, Bivitri justru sangat menyangkan sikap mantan Ketua MPR RI itu.
“Sayang sekali padahal dulu dia guru besarnya ilmu politik. Tapi menurut saya pemahamannya salah karena harus dibedakan antara identitas sebagai bagian dari masyarakat, bagian dari manusia bahkan identitas saya (individu/pribadi) dengan politik identitas,” ujar Bivitri.
Menurutnya, politik identitas itu menggunakan identitas yang bisa menggunakan sentimen-sentimen pribadi untuk tujuan politik. Sehingga menurutnya memang tidak pada tempatnya untuk menggunakan sentiment agama Islam untuk tujuan-tujuan politik. Biarkanlah agama itu dijalankan menjadi urusan masing-masing individu, tapi tidak layak untuk dijadikan alat politik.
Ia juga menegaskan identitas yang dimaksud disini bukan sekedar mengacu atau identik pada agama atau partai Islam semata, tapi apapun yang sifatnya identitas, yang berbeda-beda, misalnya saja ras, sebutan ‘keturunan Cina’, ‘keturunan Papua’, ‘keturunan Jawa’, atau ‘orang Hindu’ dan ‘bukan Islam’.
Jadi apapun bentuknya dan tidak mesti Islam, tapi apapun yang menggunakan identitas didalam masyarakat yang berbeda-beda dieksploitasi untuk tujuan-tujuan politk karena mudah untuk meningkatkan emosi orang dan menjadi pilihan orang untuk berpolitik.
Disinggung apakah kubu calon presiden (capres) Anies Baswedan beserta kelompok pendukungnya juga menggunakan politik identitas, Bivitri menegaskan bahwa Anies Baswedan dulunya sangat kelihatan menggunakan politik identitas karena menggunakan masjid-masjid dan segala macam, dukungan PKS dan lain sebagainya.
Tapi sekarang tidak. Bahwa itu ada sebagai praktik, namun tidak dapat memungkirinya sebagai fakta. Tapi menurutnya itu bukan cara berpolitik yang ideal dan akan menjauhkan diri dari pembicaraan soal-soal yang substantive.
“Jadinya kita tidak kunjung membicarakan persoalan lingkungan atau kesetaraan jender, tapi membicarakan siapa yang Islam, siapa yang Kristen, siapa yang keturunan Cina, dan sebagainya. Peradaban politik kita jadinya tidak maju-maju. Hanya politik identitas melulu. Harusnya kubu Anies Baswedan bisa berusaha lepas dari politik identitas, apalagi didalamnya sekarang karena ada Nasdem dan sebagainya,” saran Bivitri.
Masyarakat harus diberitahu bahwa identitas itu fakta yang memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia dan masyarakat, tapi ketika digunakan sebagai politik harus dijauhkan. Karena masyarakat akan menjadi begitu mudah dimanipulasi untuk membenci orang yang identitasnya berbeda.
“Saya mengimbau kepada parpol dan masyarakat serta individu sebaiknya harus benar-benar fokus pada penawaran program yang sifatnya substantive. Visi mereka apa sih, misi mereka ketika terpilih apa?. Lebih baik membicarakan hal itu, jangan membuat kotak-kotak identitas dimasyarakat dan menggunakannya untuk tujuan politik. Itu rawan karena bisa memicu konflik,” ajak Bivitri.
Isu Penolakan Timnas Israel pada Event U-20
Menyikapi event internasional sepakbola U-20 yang bakal digelar di Indonesia, Bivitri lebih focus pada isu Kanjuruhan. Ia memandang ajang sepak bola U-20 ini bukan perhelatan, meski dirinya ikut merasa senang lantaran anak-anak muda diberikan forum untuk bertanding/berkompetisi olahraga semacam itu.
Tapi menurutnya pemerintah pertama-tama harus berfokus pada penyelesaian Kanjuruhan.
“Keadaan masih kaya begini, sudah mau party-party lagi. Aduh, itu luar biasa menyakitkan untuk korban. Pemerintah belakangan banyak sekali mengadakan kegiatan yang sifatnya perayaan. Saya pernah menulisnya di Kompas berjudul “Bread and Circusess”, pemerintah yang sebenarnya memiliki kapabilitas kurang tapi menyediakan sirkus-sirkus bagi rakyatnya supaya kelihatan megah. Formula E yang di Lombok dan Jakarta, kemudian U20 dan segala macam, yang menurut saya itu bagian dari pertunjukan-pertunjukan yang diberikan kepada kita biar semua terlihat baik-baik saja. Padahal kalau dalam sepak bola ada Kanjuruhan yang harus diselesaikan. Jadi buat saya itu tidak urgent sama sekali. Kalau mau persepakbolaan, selesaikan dulu Kanjuruhan,” saran Bivitri.
Ia juga menilai banyak motif politik didalam dunia persepakbolaan, mulai dari usulan stadion-stadion untuk G20 dan PSSI.
Menurutnya, begitu aneh manakala secara tiba-tiba nama Erick Tohir menjadi ketua PSSI. Bivitri juga mengakui bahwa dirinya memiliki ketidaksukaan terhadap rencana kedatangan Timnas Israel dalam ajang U-20 nanti. Alasan yang lebih ingin disorotinya bukan pada persoalan agama, tapi lebih pada persoalan kemanusiaan.
“Buat saya bukan pada Yahudi vs Islam, tapi ini soal bagaimana orang-orang di Palestina sepertinya ditindas oleh pemerintah Israel. Jadi tidak fair kalau kita mengadakan pertandingan ini juga sebagai pertunjukan belaka tanpa melihat situasi yang disana. Dengan mendatangan mereka, seolah kita memberikan karpet merah buat mereka disini. Kita sekarang bisa bilang boikot Rusia, misalnya begitu. Kenapa kita tidak pernang bicara kejahatan Israel?. Padahal kejahatan kemanusiaanya juga sama beratnya. Berapa puluh tahun orang-orang Palestina dibunuh dan tanahnya diambil?,” tanya Bivitri.
Bivitri juga meyakini penolakan terhadap kedatangan Timnas Israel pasti akan mempengaruhi penilaian internasional. Karena Israel dimata internasional kuat tidak seperti Rusia. Pastinya yang menjadi sorotan adalah masalah agama karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Namun secara pribadi, ia bukan hanya melihat dari aspek agama saja, melainkan sebagai tragedi kemanusiaan.
“Untuk kepentingan mendorong persoalan kemanusian di Palestina. Jadi menurut saya ditolak saja tidak apa,” ulas Bivitri.(Santi)