Kasus Tedi Minahasa Kunci Reformasi Kepolisian dan Kebijakan Narkotika

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika dalam pernyataan sikap bersama, di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/03/2023)/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Menguaknya sejumlah kasus narkoba yang melibatkan aparat kepolisian belum lama ini menjadi perhatian publik.

Tak ketinggalan, sejumlah NGO yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (ICW, ICJR, YLBHI, AJI, KontraS, PBHI, Rumah Cemara, LBHM, PKNI, WHRIN, AKSI, LGN, IPPNI, PPKNP, Womxns Voice, dan FARI) ikut bersuara mendesak adanya kebijakan transparan dalam penanganan masalah narkoba, terutama dalam praktik penjebakan saat pembelian (transaksi).

Bacaan Lainnya

Pada pernyataan sikap bersama yang disampaikan dalam konferensi pers di Gedung YLBHI Jalan P Diponegoro No 74, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/03/2023), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika menyatakan kasus Teddy Minahasa (TM) menjadi salah satu kunci reformasi polisi dan reformasi kebijakan narkotika.

Perang terhadap narkotika dan kebijakan narkotika ditanah air ternyata justru menumbuhsuburkan aparat yang koruptif dan menambah tingginya angka kemiskinan masyarakat.

“Kasus narkoba yang melibatkan kepolisian dan para bandarnya seperti gunung es. Diluar kasus Freddy Budiman, sebenarnya masih banyak kasus serupa dan melibatkan masyarakat miskin,” Divisi Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy Kurniawan Wahid.

Sistem penegakan hukum narkoba ini sampai menyerang pilar-pilar hukum, bahkan sampai ke tingkat peradilan tingkat pertama. Lapas penuh dengan kasus narkoba dan mayoritas melibatkan rakyat miskin.

“Indikasi ada jaminan terhadap pelaku TM dan Freddy Budiman semacam gunung es dan merupakan bom waktu di kepolisian. Sehingga tidak menutup kemungkinan selain TM ada aktor lain didalam yang terlibat,” tutur Edy.

Buruknya penegakan hukum terhadap kasus narkoba yang melibatkan oknum kepolisian dan masyarakat miskin justru menambah daftar kemiskinan.

Hampir semua bandar berstatus DPO, tapi yang ditangkap hanya para pengguna.

“Karena itu kita minta penegakan hukum dalam kasus pemberantasan narkoba benar dilaksanakan”, pinta Edy.

Sebelumnya, kata dia, dalam kasus Freddy Budiman (alm), Freddy pernah mengungkapkan bahwa terdapat keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Culai didalam peredan narkotika yang dilakukannya.

Persidangan kasus TM dan kasus terkait lainnya seolah mengkonfirmasi apa yang pernah disampaikan oleh Freddy Budiman sebelum ia dieksekusi mati pada tahun 2016 lalu.

Setali tiga uang, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Maaruf Bajamal mengaku ada ketidakterbukaan dari kalangan aparat kepolisian dalam melakukan penanganan kasus narkoba. Sebab berdasar pengalaman Yayasan LBHM ketika melakukan pendampingan hukum, banyak masyarakat yang terlibat/ditangkap mengaku dijebak.

“Karena itu, kami minta kepolisian untuk terbuka dalam aturan/kewenangan teknik investigasi dalam proses buying penjebakan tersebut. Tapi kami tidak mendapatkannya. Gugatan kami dikabulkan tapi hanya sebagian,” terang Maaruf.

Dari temuan tersebut, Maaruf menyimpulkan sebenarnya bukan hanya publik yang akan dirugikan tapi siapapun bisa ikut terjebak.

Apalagi barang bukti dijadikan alat untuk menangkap tersangka narkoba sebagai jebakan.

Selain mendorong dan mendesak Polri untuk melakukan tindakan lanjut, YlBHM juga menilai harus ada komitmen penegakan hukum.

“Kita juga mendesak Ombudsman dan Komnasham untuk ikut serta didalamnya. Pemerintah dan parlemen segera melakukan revisi hukum acara terkait masalah narkoba dalam urusan pidana. Begitupun Kompolnas sebagai stakeholder terkait yang bisa mengawasi Polri cenderung diam dan tutup mata dengan seolah-olah tidak terjadi apa-apa,” ungkapnya.

Dengan adanya kasus TM, menurut Maaruf, seharusnya Kompolnas ikut terkejut. Namun yang diharapkan bukan sekedar respon keterkejutan, tapi komitmen untuk perbaikan dan evaluasi kedepan. Terutama dalam SOP pengungkapan kasus narkoba.

Oleh sebab itu, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi dan Jaringan reformasi Kebijakan Narkotika mendesak perlunya Polri untuk melakukan tindak lanjut soal narasi “polisi biasa melakukan ini”, yang harus diiringi dengan adanya komitmen penegakan.

Kedua Komnas HAM, Kompolnas, Ombudsman dan Komisi III DPR RI agar melakukan investigasi dan pengawasan mandiri terhadap kasus ini untuk menekan Polri evaluasi pelaksanaan kebijakan narkotika yang koruptif dan penuh kekerasan.

Kemudian pemerintah dan DPR harus segera memikirkan ulang kebijakan narkotika. Pasar gelap hanya akan dikendalikan aparat koruptif, cita cita dunia tanpa narkotika tidak mungkin terjadi. Sehingga kebijakan narkotika harus dengan dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi, pengguna harus menjadi domain kesehatan bukan aparat, pasar tergulasi narkotika harus dicetuskan. Dekriminalisasi bukan legalisasi tanpa kontrol. Tapi negara mengatur dan mengambil alih.

“Pemerintah dan parlemen segala melakukan revisi hukum acara yang memuat safeguards mechanism pengaturan penanganan perkara narkotika dalam hukum acara pidana, termasuk soal kewenangan teknik investigasi khusus perkara narkotika,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, kasus TM saat ini telah memasuki persidangan dan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Tahapan persidangan kasus TM di PN Jakarta Barat akan memasuki agenda penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Agenda penuntutan tersebut telah dijadwalkan oleh PN Jakarta Barat akan digelar pada tanggal 30 Maret 2023.

Terkait vonis hukuman yang akan dijatuhkan kepada TM, aliansi mengusulkan hukuman seumur hidup. (santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *